PIC : SIBLING RIVALRY




Bismillah.
Berbagi ah. Kuy, kita mulai dari apa itu PIC? Apa itu Sibling Rivalry?
Jadi ceritanya ini Ummi Sagara—si guru literasi tapi malesan nulis ini—sudah masuk tahun ketiga ikut grup CERIA, grup whatsap yang isinya ibu-ibu, kegiatannya berbagi seputar ibu dan anak. Namanya aja grup ceria, kependekan dari “CERita Ibu dan Anak”.
Singkatnya, itu grup untuk berbagi. Isinya komplit, ada Dokter (Walaupun Teh Andin selalu bilang, saya mahasiswa kedokteran, masih Koas, belum dokter) tapi dengan baiknya selalu ngasih diagnosa dan nasehat-nasehat medis saat kami meminta, ada IRT, guru, pekerja kantoran, campur sari. Alhamdulillah, anggota grup ini adalah Ibu-ibu melek jaman now, yang enak banget untuk sharing tentang anak, sholihah pula. Kebanyakan selalu membahas dari sisi islaminya. Lope lope banget deh saya pokoknya.
Setiap bulan, ada yang namanya PIC—Pojok Ilmu Ceria. Biasanya ada grup khusus yang akan dibuat selama diskusi saja, lalu dibubarkan saat diskusinya selesai. Dan pengisi PIC ini biasanya para ahli di bidangnya. Syarat anggota yang mau ikut grup kulwap itu cuma satu: buat catatan, atau gambar, atau apapun tentang kulwap itu dan share di sosmed.
Dan, saya adalah anggota yang bedegong. Jarang nanya, jarang ngeresume. Cuma jadi silent reader, say thanks when discussing is over, then out. Tara ngerjakeun tugasna! Maapkan Baim Ya Allah... untung saya gak di kick out dari grup ceria.
Ehm! Oke. Sekian tentang PIC. Sekarang lanjut ke isi dari PIC-nya. Apa itu sibling rivalry?
Sibling rivalry adalah sebuah kejadian yang tidak diinginkan—ya iyalah—di mana terjadi perkelahian, percekcokan, antara adik dan kakak karena berebut sesuatu (mostly toys in my case). Sibling rivalry ini sejatinya memang pewarna yang paling dominan terjadi di antara kakak beradik.
Sebetulnya, saya seharusnya paham. Sagara (3,5y) dan Agra (1,5y) adalah dua balita yang jaraknya deketan. Cowok pula. Peluang sibling rivalry harus saya akui memang sangat kuat. Jangankan si duo sholih ummi itu, saya sendiri masih ingat kelakuan-kelakuan sibling rivalry saya sama adik. Padahal kami perempuan, dan terpaut selisih delapan tahun. (hey, sista, do you remember when you pulling out all of my stuffs at my cupboard everyyyy time you got angry to me? Semoga kamu ingat karena itu sangat menakutkan, wkwkw). Dan aku tidak pernah melakukan hal sekeji itu padanya, paling hanya jurus kicking you far away from my sight—or.. maybe... worse? hahahha.
Lah ummi sama ateu-nya aja macam itu kalau udah berantem. Gimana anak-anak? Menurut narsum, dan yang sering saya baca juga adalah, jangan selalu menyalahkan kakak. Karena kakak lebih besar, bukan berarti kakak harus selalu mengalah. Saya mulai menerapkan hal itu. Ketika adiknya salah, saya salahkan.
Saya masih ingat tiga tahun silam, ketika pertama kalinya saya membawa ade ke rumah setelah melahirkan di rumah sakit. Selama hamil saya sudah memperkenalkan ade, Cuma karena saat itu usia Aa baru dua tahun, saya yakin dia belum ngerti.
Ketika Aa menjemput kami ke rumah sakit, ia terlihat amat senang. Pun tidak protes saat terlihat saya menggendong Ade. Masalah baru muncul ketika kami sampai rumah,Ade nangis minta disusui. Aa yang baru selesai sapih sekitar lima bulan, terlihat begitu “shock” ketika saya menyusui adiknya. Dia mulai marah, merasa umminya direbut “orang asing.” Kata Narsumnya kemarin, ketika si Kakak punya adik, itu buat dia sama aja rasanya kayak ibu lihat suami pulang bawa istri baru ke rumah. Jleb! Apalagi istri barunya itu langsung jadi primadona, lebih diperhatikan oleh orang sekitar. Double jleb!
“Aa, aduh Aa udah punya Ade ya sekarang.”
“wah, ade nguap tuh, lucu banget.”
“Rambutnya bagus banget, ih bibirnya mungil sekali,” dan lain sebagainya.
Dalam satu hari saja, keprimadonaan Aa menguap, tergantikan adiknya. Wajar toh kalau dia shock?
Akhirnya saya meminta orang-orang di rumah untuk tidak terlalu “memperhatikan” Ade. Kalau Ade dan Aa sama-sama nangis, saya dahulukan dulu Aa. Biar Adenya nangis dulu sebentar. Ketika Ade nangis, saya selalu melibatkan Aa.
“Aa, sini, Ade nangis. Mau main sama Aa.” Perlahan-lahan Aa mulai merasa dibutuhkan.
Ade, jep, jep. Aa mah aya, De.” Lucu sekali ketika Aa menenangkan Ade.
Tapi, itu dulu. Ketika si Adik baru bisa merem melek dan mimi. Sekarang ketika adiknya sudah sama-sama bisa berlari, sama-sama bisa main mobil, dan masing-masing punya keinginan dengan kadar keegoisan yang sama—saya kelabakan.
Sekarang sih sudah mulai kelihatan, Ade yang lebih sering ngalah. Dia tampak takut kalau sedang memainkan mainan Aa, karena Aa selalu spontan teriak “Ade, itu punya Aa!” Dan Ade biasanya langsung nangis sambil melemparkan mainan tersebut.
Intinya, sibling rivalry ini pasti jadi rutinitas. PR kita sebagai orang tua, adalah selalu berusaha untuk seadil mungkin memperlakukan anak-anak. Anak perlu diberi tahu kapan mereka harus mengalah, berbagi, dan kapan mereka perlu mempertahankan hak mereka karena selalu mengalah juga tidak baik. Kita tetap harus menanamkan pentingnya punya self defense. Kalau sedang asyik memainkan mainan sendiri, ada yang rebut, boleh kok bilang tidak.
Itu dulu yang bisa saya share. Maybe someday saya coret-coret lagi kalau ada PIC ya. Maaf no editing jadi tulisannya amburadul.
Anak baru satu? Saya doakan semoga segera nambah, biar jadi saksi asyiknya sibling rivalry :D
Ummu Sagara
Bandung, 30 Maret 2018
#PojokIlmuCeria
#TugasPICMaret



READ MORE - PIC : SIBLING RIVALRY

Read Comments

Badai Berulang

image taken from wapannuri.com

Bismillah.
.
Hari ini tiba-tiba tangan saya gatel, ingin menulis tentang pernikahan. Saya berantem sama suami. As usual, karena hal-hal kecil.
.
Tidak ada rumah tangga yang tidak pernah berantem. Tidak ada pernikahan flat, senyum sepanjang masa, bahagia setiap hari.
.
Seperti hari ini, daaaaan banyak hari sebelumnya. Tahun ini pernikahan saya menginjak usia lima tahun. Baru mau belajar baca, kalau anak. Sedang rewel-rewelnya, sedang ingin dipenuhi segala inginnya.
.
Rumah tangga adalah badai. Ada campur tangan setan di dalamnya. Kenapa pacaran terasa manis? Karena setan membisikkan dua insan yang berpacaran untuk semakin mesra, semakin intens. Setan amat ridha, Allah tidak.
.
Sedang pernikahan, sebaliknya. Setan berbisik pada sepasang kekasih halal itu untuk saling menjauh, membenci, saling mencari kekurangan. Agar terjadi perpisahan, yang Allah tidak suka.
.
Lantas? harus selalu kita ingat bahwa pernikahan adalah ibadah. Ibadah tidak ada yang mudah. Perlu ilmu, visi misi, pengawasan, evaluasi..... Apakah visi yang diusung hanya pernikahan yang melegalkan perempuan dan laki-laki satu atap? Apakah pernikahan hanya bertujuan untuk memiliki keturunan?
.
Atau apakah salah satu sarana agar mendapat ridha Allah, dan ingin kembali berkumpul si syurgaNya kelak?
.
Surga adalah tempat yang sangat mahal. Tiketnya jelas terbatas. Tanpa kita sadari, mungkin pernikahan ini menjadi salah satu tiket yang akan membukakan pintu surga.
.
Badai-badai biarlah tetap menjadi badai. Pertengkaran biarlah terjadi sebagaimana harusnya. Siapkan hati yang lapang, rasa ikhlas, serta terus berdo'a, semogaAllah memudahkan segalanya.
.
Dear Abi, my lovely husband.. bukankah kita amat keren, karena setiap  berantem tiba-tiba kerasukan hantu bule karena tetiba whatsapan kita menjadi bahasa Inggris? 😂
.
Thank you for being my partner..
I promise you, even im very annoying when im angry.. im always loving you... Lets fix everything and pray Allah taking care our togetherness.
.
Sama kamu, iya sama kamu...
Aku ingin berbagi, belajar, berantem, diem-dieman, sampe komunikasi cuma via whatsap, dan merasakan marah yang meledak-ledak sampai gak bisa ngomong...
.
Hold it tight... Until we're getting old.. ya?

Kapan-kapan lah ya... saya share tentang ilmu-ilmu pernikahan yang sering saya dapet.. sekarang curhat aja dulu :p
READ MORE - Badai Berulang

Read Comments

Outing SDIT 2017_Part II


Ini adalah lanjutan postingan outing Damkar-Galeri sains bagian dua. Bagian satunya bisa di baca disini.
           
Setelah berbasah-basah, kami melanjutkan perjalalan ke Science Galery Sabuga. Di perjalanan, hujan menampar-nampar atap bis. Kami jadi agak kesulitan mencari spot untuk makan. Akhirnya kami jadi makan di bis.
Karena hujan tak kunjung reda, akhirnya kami memaksa untuk turun. Sambil iindiaan, kami berlari dari bis ke mushala. Anak-anak dikondisikan untuk shalat. Lalu kami naik lift ke lantai 5. Dan setelah sampai, kami langsung disuguhi dengan benda-benda berbau fisika.


Berbagai macam cermin, bola kristal, dan benda-benda lain yang ada teori fisikanya (yang saya gak tahu) walaupun kami gak faham, tapi tetap bisa menikmati semua kecanggihan itu.
Setelah sekitar tiga puluh menit, kami masuk ke area menonton tiga dimensi. Anak-anak sudah sangat excited tapi sayangnya kami salah memilih film. Kami memilih film bertema “shark” karena dalam ekspektasi kami, shark itu berarti kami berpetualang di laut dan di kejar-kejar hiu. Ternyata ekspektasi kami ketinggian ^^;
Ternyata Shark itu macam nonton discovery channel. Ya memang sih keren efek tiga dimensinya dapet. Tapi ya kalau untuk anak kelas 3 mah, kurang sesuai. Anak-anak sempat bosan, ribut, dan ada beberapa yang mondar-mandir.
Nah, itu yang bisa saya share tentang perjalanan kemarin. Berikut rincian biaya untuk yang mau kesana:
1.       Sewa bis pariwisata 59 sheets                    : 2.300.000
2.       Sewa mobil pemadam kebakaran         : 400.000/mobil (satu mobil untuk 25-30 anak)
3.       Masuk Gallery Science Sabuga                 : 25.000/anak (sudah termasuk nonton 3D)

Welcome to Bandung everyone! Jangan nyampah di sembarang tempat ya! :D


READ MORE - Outing SDIT 2017_Part II

Read Comments

Outing SDIT 2017_part I

What a very late post!
posting yang nyangkut di draft setahun lebih dan gak dipublish-publish! terlupakan... maafkan, judulnya dibuang sayang :(

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bismillah.
Hari ini saya akan berbagi tentang perjalanan kami yang mengasyikkan hari kemarin, 1 Februari 2017. Kami? Siapa sih si “kami” ini? Kami yang dimaksud di sini adalah rombongan kelas 3 SDIT Ibnu Khaldun. Kami berangkat naik bis, ada dua bis yang berangkat kemarin. Kami menyewa bis 59 seat, pas lah ya, buat 60 anak.

Di sekolah kami memang setiap semester ada agenda outing. Outingnya kemana, mangga, itu mah terserah guru. Guru tinggal survey lokasi, dan buat proposal untuk anggarannya. Tujuan outing kami di semester ini adalah mengunjungi Dinas Pemadam Kebakaran dan penanggulangan bencana alam, di daerah Jl Sukabumi dan Galeri IPTEK Sabuga ITB. Kayak gimana serunya perjalanan kami? Yuk cekidot cekidot!

Persiapan keberangkatan
Pukul tujuh, seperti biasa anak-anak shalat dhuha dan mura’jaah di kelas. Namun, tidak ada cerita pagi di hari itu, karena kami ingin berangkat secepatnya, maksimal 07.30. Anak-anak langsung dibariskan di depan kelas dan disiapkan untuk menaiki bis yang terparkir di Rumah Bungan Rizal, tidak jauh dari sekolah kami.
Saya berangkat duluan ke tempat parkir bis karena harus menuntaskan transaksi keuangan sambil menunggu rombongan anak-anak datang. Lalu anak-anak yang sudah semangat ekstra tinggi, masuk ke dalam bis satu persatu dengan tertib. Sebelumnya kami sudah ploting tempat duduk agar tidak terjadi chaos rebutan tempat :D

Perjalanan ke dinas damkar
Dari Lembang, kami berangkat pukul 07.30 dan sampai di Jl Sukabumi (dekat Jl Jakarta, Antapani) sekitar pukul 08.30, cepat yah.. alhamdulillah kami tidak terjebak macet. Anak-anak menikmati perjalanan dengan bernyanyi dan bercanda. Tidak ada yang mabuk perjalanan, alhamdulillah.
Setelah sampai, kami langsung digiring ke lantai tiga. Di sana sudah siap Bapak  Wawan, yang akan memberikan penjelasan seputar tugas-tugas pemadam kebakaran, cara menanggulangi kebakaran, dan lain-lain. Pembawaan beliau asyik banget. Anak-anak terkondisikan, ketawa-ketawa, dan bisa menyerap informasi dengan baik.
“Anak-anak, sayang gak sama bu guru?”
“Sayaaaaang.”
“Bu guru, sayang gak sama anak-anak?”
“Sayang.”
“Coba kalau bu guru  sayang sama anak-anak, berapa nomor telpon pemadam kebakaran?”
Hening.
“tuh, berarti bu guru bilang sayang teh, bohong. Kayaknya kalau ada kebakaran, bu guru yang bakal lari duluan.”
Itu salah satu percakapan yang mengundang tawa kami.
Tim damkar yang keren abis ini, mendemonstrasikan bagaimana cara memadamkan api yang sedang berkobar dari tabung gas LPG. Pakai tangan. Keren banget! Dan yang lebih keren lagi, ternyata, kami (guru dan murid) ditantang langsung untuk memadamkan api seperti yang Beliau ajarkan.
on frame: Bu Raidah (yang sudah resign) T-T

Alhamdulilah ilmu yang didapat banyak sekali. Intinya sih, kalau api terkendali, semuanya pasti aman. Jangan teriak-teriak doang, karena api paling anti diteriakin. Hehehe...
Setelah selesai pemaparan di lantai tiga, kami dibimbing ke lapangan. Di sana disimulasikan langsung mematikan api menggunakan APAR. Bu guru juga mencoba, yah walaupun sambil rada-rada gemeteran dan APARnya rada tidak terkendali (colek Bu Fanny), ahahah tapi asyik banget.

Belum selesai rasa senang kami, puncaknya kami diajak naik mobil damkar ke jalan. Raungan sirine yang membelah jalan, membuat kami serasa jadi orang penting. Sambil dadah-dadah kece, kami merasakan sejuknya angin kota Bandung di atas mobil pemadam kebakaran. (bagian gurunya yang teriak-teriak panik takut anaknya jatuh dari atas mah gak usah dijelaskan lah ya di sini)
Setelah itu, waktunya basah-basahan! Ini bagian yang paling ditunggu. Murid-murid berbekal jas hujan dan langsung disemprot pakai air untuk memadamkan api. Asyik banget. Bu guru juga pengin ikutan kalau gak inget sama umur mah xD


Yang agak ribet adalah ketika mau ganti baju. Singsingkan lengan baju, bu guru!
Kunjungan ke damkar selesai sampai di sini, lanjutan ke Galleri Sains Sabuga ITB, lanjut di  next post ya!



READ MORE - Outing SDIT 2017_part I

Read Comments

Ibu, Peranmu tak Sebatas Dapur dan Sumur

image taken from sayangianak.com 


           Salah satu dosen saya—yang ternyata saya telah  lupa namanya, apalagi gelarnya—pernah memberi kami, mahasiswanya, sebuah nasihat di sela-sela materi kuliah. Nasihat yang masih saya ingat dengan baik sampai sekarang.
            Nasihat itu pendek saja, namun membekas.Tentang peran seorang wanita. Saya yang saat itu masih berstatus jomblo fii sabilillah langsung mencatat baik-baik. Siapa tahu saya bisa jadi idaman para calon mertua, yang punya anak high quality jomblo fii sabilillah juga.
            Dalam nasihat tersebut, peran pertama seorang perempuan adalah sebagai hamba Allah. Saat seorang wanita sudah mampu menjadi hamba Allah yang baik, maka peran selanjutnya adalah mudah saja. Bagaimana tidak, seorang wanita yang cepat lelah, jengah, dan pandai bersilat lidah, tanpa menyandarkan hidupnya pada Allah, akan menjadi pribadi yang amat rapuh dan lemah. Maka tugas pertama seorang wanita adalah tunduk, taat, dan patuh padaRabbnya. “Sami’na wa atho’na, kami mendengar dan kami taat.” Menjadi hamba Allah berarti sudah menerima satu paket penyesuaian diri dengan apa yang Allah suka dan tidak suka. Belajar melebur ego demi meraih ridha-Nya.
            Peran kedua yang tak kalah berat, adalah saat ia sudah sold out, taken by someone. Diambil untuk menjadi penyempurna agama suaminya. Loyalitas, pengabdian, dan segambreng tugas sebagai seorang istri harus siap dipikul pundak seorang wanita. Buku bertema pernikahan yang memenuhi rak-rak toko buku, seminar bernada sama,bahkan sekedar curhat kerabat yang sama-sama sudah menikah, sejatinya bisa menjadi media bagi wanita untuk belajar menjadi istri yang baik.
Badai demi badai, ego yang harus kembali ditekan, keluwesan dalam berpikir dan bertindak, mulai dituntut bahkan sampai ambang batas yang tidak masuk akal, bila ingin bahtera pernikahan tetap ajeg.Karena beratnya peran menjadi seorang isteri inilah, maka ia layak mendapatkan surga. Menjadi pemimpin para bidadari surga,menjadi utama diantara permata. Siapa yang tak menghendakinya? Mari, kita tempuh bersama walau harus sambil merangkak.
            Peran menjadi seorang ibu, adalah tantangan selanjutnya. Benarkah wanita itu sudah siap menjadi madrasah pertama dari anak yang putih jiwanya? Bagai kertas kosong, seorang anak meminta ibunya untuk dilukisi.Lukisan bertemaaqidah yang lurus, keindahan perangai, kepiawaian berbahasa, pemahaman akan adab, dan sederettugas lainnya.
Berat? Sungguh berat. Jikalah menjadi hamba Allah dan seorang istri sudah berat, apatah lagi menjadi seorang ibu.Banyak sekali pengorbanan seorang ibu. Tidak hanya tentang jam tidur dan jatah jajan yang harus siap dicuri anak. Tapi juga kebersamaan dengan suami, bahkan sampai menyita nikmatnya beribadah. Sayapun seringkali salat dalam keadaan resah. karena saat salat sendirian di rumah, dengan lincahnya balita saya naik tangga, atau memanjat bufet di rumah.
Ibu yang terbaik bukanlahsalah satu diantara ibu rumah tangga atau ibu bekerja. Bukan tentang siapa yang memberikan susu formula atau siapa yang jadi pejuang ASI. Karena setiap posisi dan pilihan, mempunyai konsekuensinya tersendiri. Ibu yang terbaik adalah ibu yang bisa optimal di kapasitasnya masing-masing, memenuhi takdir dan menjalankan peran yang digariskan Allah untuknya, dengan sebaik-baiknya. Ilmu menjadi ibu terserak dimana-mana. Tinggal kita membuka mata, lantas memilih apakah mau menerima, atau melewatkannya.
Peran terakhir, dan yang paling besar, adalah peran wanita tersebut dalam masyarakat. Bermanfaat di masyarakat tidak harus menjadi aktivis, dokter, atau guru mengaji. Menjadi ibu yang mencetak anak sebaik mungkin, tidak merampas hak tetangga, juga sudah menjadi wanita yang berperan dalam masyarakat. Bisa jadi wanita yang berkoar-koar menyuarakan keadilan untuk wanita di luar sana, kalah mulia di sisi Allah jika dibandingkan dengan wanita yang hanya sibuk di rumah, bolak-balik antara dapur dan sumur. Walaupun tentu saja, “diam” di sinitetap diam yang berkualitas.
Mari kita menjadi hamba Allah, istri, ibu, dan masyarakat yang berkualitas semaksimal kita. Karena hanya dengan cara itulah, kemuliaan hidup di dunia dan akhirat bisa tercapai. Teriring salam dan sebaik-baik do’a untuk dosen tercinta yang pernah memberi nasihat berharga. Walaupun saya tetap tidak bisa me-recall nama Anda, ada Allah yang tidak akan lupa memberi pahala, dan malaikat yang tidak akan pernah salah mencatat, insya Allah.
***

READ MORE - Ibu, Peranmu tak Sebatas Dapur dan Sumur

Read Comments

Saat Itu

pixabay.com


Saat itu....
Sedu sedan jadi makanan, tangis merupa kebiasaan, gelisah yang betumpuk-tumpuk menjadi beban,namun tetap tidak ada upaya untuk dibenarkan.

Saat itu...
Diam menjelma kawan, dingin malam menjadi santapan.
Belum lagi rasa sepi, kehilangan, dan mimpi-mimpi panjang melelahkan.

Saat itu...
Dia hanya bisa duduk, tersaruk mencari rasa yang berserakan. Mencoba memahami arti dari mimpi, dari tangis yang hilang jeda, juga hati yang kulitnya mengelupas.

Saat itu...
Dia merengkuh duka dalam-dalam, menghirup sesaknya hening fajar dan menelan kembali ratusan kata yang tidak bisa terlahir akibat bidan aksara yang tak hendak membantu persalinan kata.

Saat itu...
Diam.
Dia sakit kepala.
Mungkin akibat dikhianati kata yang terperangkap, hanya berisik di kepala, tanpa ada telinga yang menangkap, menanggapi, atau sekedar menangkap resonansi.

"Jangankan telinga orang," katanya. Bahkan telinganya sendiri saja, yang satu kepala dengannya, tak bisa mendengar apa-apa.

Saat itu...
Pada usangnya sajadah dan mushaf ia kembali.
Ah, ya. Mereka memang selalu bisa jadi andalan di saat sepi.

***

Di bawah langit-langit,
Dibatasi empat dinding yang sudah kuhafal warnanya dengan baik,
6 Mei 2017
READ MORE - Saat Itu

Read Comments
 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men