Lautan itu Bernama Sagara

Bismillahirrahmanirrahiim...

Baiklah, kuawali hari ini dengan menulis, sebelum passion menulis itu terbuang hilang seiring waktu yang melayang...
Akhirnya si mungil yang telah bersembunyi 37 minggu 3 hari di dalam rahimku itu sudah bisa kudekap. Bisa kurasakan hangat badan mungilnya. Bisa kutatap matanya.
Aku memanggil memori yang tersangkut pada malam itu, Senin 22 September, pukul sembilan malam. Tepat  5 jam setelah kelahirannya. Dibalutkan dengan kain dua lapis, ia diambil dari bak kaca seukuran akuarium untuk kemudian ditidurkan di sampingku. Asisten bidan yang berjilbab rapi itu meninggalkan kami berdua. Benar benar tinggal berdua. Ayah ibuku sudah pulang, segera setelah tahu bahwa anak dan cucunya sehat. Mungkin dengan perasaan sedikit menyesal karena aku yang tidak diizinkan pulang akibat jahitan terlalu banyak harus menginap semalam, menghabiskan cairan infus yang menyakitkan saat dipasang. Sedang suamiku (sudahkah aku berterima kasih padamu?) juga terpaksa pulang saat aku masih di kamar bersalin karena ternyata kain flanel untuk si bayi sudah keburu habis dipakai alas melahirkan.
Jam sembilan malam itu, aku belajar menyusui untuk pertama kalinya. Tidak nyaman. Untukku, juga bayinya. Tidak ada yang bisa ditelan, tidak ada yang bisa dicerna. Tapi bayi itu begitu baik, tidak menangis, tidak protes. Ia hanya bisa membuka dan menutup mulutnya, dengan mata yang bergerak gerak lemah, entah ia sudah bisa melihat sekitarnya atau tidak. Aku hanya bisa menatapnya. Itukah yang selama ini kamu lakukan di dalam rahim, Nak? Ia begitu kecil, ringkih, dan amat lemah. Manusia macam apa yang bisa melakukan hal hal kejam seperti membuang bayi, apalagi membunuhnya? Astaghfirullah... tidakkah mereka melihat kebesaranNya dan kesempurnaan penciptaanNya dalam setiap inchi makhluk kecil bernama bayi? Saat itu perasaanku campur aduk. Bahagia, khawatir, takjub, penuh harap, dan merasa begitu kecil di hadapanNya.
Proses persalinan memang menyakitkan. Tapi tentu saja sesakit apapun melahirkan, tidak akan membuat seorang wanita kapok. Termasuk saya. Rasanya saya tidak mengalami trauma yang berarti, dengan kata lain masih berharap Sagara punya beberapa adik, tentu saja beberapa tahun yang akan datang. Kebiasaanku mengintip dan menjadi silent reader di sebuah forum ibu hamil memberikan banyak sekali ilmu. Aku jadi tahu apa itu braxton hicks, bagaimana gambaran kontraksi, bagaimana teori melahirkan yang baik, bagaimana cara mengejan dan mengambil napas yang baik, bagaimana IMD yang baik, walaupun, yah, tetap saja saat persalinan berlangsung, semua teori itu tersapu habis. Ingat, memang. Tapi susah sekali mempaktekannya.
Rasa sakit itu bermula dari pukul tiga pagi. Seperti malam malam sebelumnya, keinginan untuk berkemih di malam hari memang sangat menganggu. Tapi hari Senin dini hari itu rasanya ada yang beda. Ada rasa sakit yang tidak biasa. Tapi aku mencoba menghitung usia kandungan, baru 37 minggu lebih 3 hari, perkiraan hari lahir masih satu sampai dua minggu lagi. Mungkin ini yang namanya braxton hicks, si kontraksi palsu yang sering didengungkan di forum. Aku mengabaikan rasa sakit lalu tidur kembali. Tapi ternyata rasa sakit itu tidak juga menghilang sampai selesai sholat subuh. Aku memutuskan untuk rebahan lagi di kamar.
“Kayaknya aku cuti sekarang aja, Yang, gak jadi minggu depan.” Kataku.
“Ya udah.” Suamiku menjawab.
“Kamu mah sekolah aja, gak usah ikutan cuti.”
“Nanti kalau siang mau ngelahirin gimana?”
Aku hanya tertawa, “tinggal SMS aja.”
Percakapan singkat selepas subuh itu ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Suamiku ikut izin juga hari itu, mungkin khawatir karena rasa sakit yang kukira kontraksi palsu itu tak kunjung hilang, walaupun datangnya masih sangat lambat, sekitar sekali tiap setengah jam. Sekitar pukul delapan pagi, aku mengajak suami untuk jalan jalan, mencari  sarapan. Di perjalanan kontraksi itu terasa lagi, sekitar dua kali. Aku teringat lagi ilmu di forum ibu hamil yang sering kuintip, jika sudah kontraksi, paksakan untuk jalan jalan agar pembukaannya cepat.
Setelah sarapan, aku tidak berdaya, hanya tiduran di lantai beralaskan kasur tipis dan  selimut. Aku menyalakan laptop, sekali lagi, mengintip forum diskusi ibu hamil. Aku mengetik keyword “kronologi melahirkan”, dan muncul banyak sekali cerita dari mereka yang telah melahirkan. Aku juga mencari artikel hypnobirthing, mencoba mensugestikan bahwa melahirkan itu bukan sesuatu yang harus ditakuti.
Menjelang sekitar pukul sepuluh, kontraksi itu muncul setiap sepuluh menit. Aku mulai meringis tidak nyaman. Masih berbaring dengan laptop di depan mata, tapi sudah tidak menarik lagi isi diskusi di sana. Rasa sakitnya mulai menuntut perhatian. Suamiku yang sedang mencuci piring sambil bernyanyi  nyanyi kecil sesekali melongokan kepalanya ke arahku, mungkin mulai khawatir aku meringis lebih sering.
“Ke bidan, Yang?” tanyanya.
“Nanti.” Aku menjawab pendek, masih bersikukuh dengan teori yang terbaca di forum, tidak usah terburu buru ke dokter atau bidan, tunggu sampai kontraksinya muncul setiap lima menit sekali.
Masih berguling guling di kasur tipis, sang kontraksi mulai muncul setiap tujuh menit. Semakin intens, tapi dengan mengatur napas, kontraksi itu sedikit mereda. Akhirnya, sekitar pukul sebelas siang, saya memaksakan diri untuk mandi dan siap siap ke bidan.  Saya sempatkan shalat dzuhur dan ashar di jam dua belas siang itu. Pikiran saya nanti kalau harus sholat ashar sambil kontraksi, takut tidak sanggup. Dan berangkatlah kami berdua. Tanpa ada yang tahu bahwa saya sudah mau melahirkan. Kami pamit ke nenek, bilang mau ke bidan. Nenek kira mungkin hanya periksa biasa. Kami berangkat ke bidan naik motor. Tentu saja, sambil meringis ringis. Kontraksinya benar benar sudah muncul setiap lima menit sekali.
Singkat cerita, sampai di bidan dan ternyata bidannya tidak ada. Hanya ada asistennya. Tapi asistennya pun memang sudah mumpuni, saya rasa. Beliau masih muda, gadis, berjilbab rapi, usianya satu tahun lebih muda dari saya.
“Iya Teh, ini mah mau melahirkan. Sudah pembukaan empat.” Begitu ujarnya. Saya mengucap hamdalah. Si asbid segera mengecek detak jantung bayi dan tensi darah.
“Bagus. Tiduran ya Teh, kalau kontraksinya muncul, tarik napas. Tidurnya miring ke kiri.” Saya mengangguk, teori itu sudah saya hapal benar. Setelah yakin saya akan melahirkan, segera saya hubungi keluarga dan teman teman. Minta do’a, semoga dilancarkan. Termasuk orang tua saya di Bandung, juga akhirnya diberi tahu. Berdatanganlah do’a dari teman dan keluarga, memberi motivasi dan semangat.
“Allahumma yasir wa laa tu’asir, Bu Siti, semangat.” Do’a dan motivasi serupa berdatangan, membuat saya senang dan lebih tenang.
Ibu saya datang setengah jam kemudian. Minus Bapak yang masih kerja dan minus adik yang masih sekolah. Si kontraksi masih muncul lima menit sekali. Saya masih bisa bercanda dengan suami dan ibu di ruang bersalin. Tapi lama kelamaan semakin sakit dan saya sudah mulai berteriak. Saat itu pukul tiga, dan Asbid bilang baru pembukaan delapan. Subhanallah, rasanya luar biasa. Ibu saya mengelus pinggang yang rasanya sudah terlepas sendinya. Saya menghadap ke arah kiri, ada suami di sana. Ia selalu mengingatkan untuk menarik napas, yang saya mulai lupa. Tangannya saya cengkeram kuat kuat. Entah, mungkin saja sampai lebam.
Bidan seniorpun datang, tapi hanya menengok sesekali. Asbid juga ada di ruangan lain. Kami ditinggal bertiga. Sesekali ia datang, mengingatkan jangan mengejan, jangan teriak teriak, nanti tenaganya habis. Tapi, subhanallah rasanya semua nasehat itu tidak bisa kulaksanakan. Saya masih berteriak juga, masih mengejan juga. Sampai puncak rasa sakit itu tiba. Rasanya sudah benar benar tidak bisa ditahan lagi. Akhirnya saya menangis.
Sang suami baik hati yang tanganya sudah dicakar cakar itu membungkuk, mendekatkan wajahnya, membisikan kata yang memotivasi. Terus mengingatkan untuk mengatur napas yang sudah sulit sekali dilakukan. Dan saya memeluknya, namun sayang, dipeluk orang yang mau melahirkan itu sesuatu. Karena niat saya hanya ingin memeluknya, tapi yang terjadi malah saya membenamkan kuku dalam dalam di punggungnya. Dan posisi itu tidak berubah sampai bayinya lahir. Pasti sakit sekali... Maaf ya...
Akhirnya pukul empat saya ditengok lagi asbid. Dicek, sudah pembukaan lengkap. Ketuban dipecahkan. Dan rasa sakitnya, hmmm , saya jadi mengetik sambil bergidik.
“jangan mengejan, Teh. Kepalanya belum turun.” Itulah saat yang paling menyakitkan. Ada dorongan di dalam rahim yang membuat saya mengejan secara refleks. Tapi mengejan masih dilarang. Dan saya tahu alasannya. Jika terus mengejan sebelum kepala bayi turun, hal itu membuat kepala rahim bengkak, dan tentunya menghabiskan tenaga sia sia.
Rasanya sudah putus asa. Sambil terus berdo’a, saya mengajak bicara si bayi.
“De, ayo cepet turun...”
Asbid masih di ruangan lain. Juga bidan seniornya. Entah apa yang mereka lakukan. Ibu saya mulai kesal. Beliau pamit untuk sholat ashar. Saya terus refleks mengejan. Dan akhirnya, dengan posisi masih miring ke kiri, di ruangan hanya ada suami, saya merasakan kepala bayi sudah keluar. Saya meminta suami untuk mengecek. Dan ternyata benar, kepala bayinya sudah keluar. Akhirnya Asbid itu datang ke kamar setelah dipanggil. Saya mengubah posisi dari miring ke kiri menjadi telentang. Katanya terdengar robekan, tapi saya tidak sadar. Yang saya tahu, saya ingin segera mengakhiri rasa sakit itu.
Si asbid membetulkan posisi saya, memberi tahu tangan harus dimana, kaki harus bagaimana. Tapi belum lagi ia selesai bicara, bayi sudah meluncur keluar. Ia menangis. Yah, keluar begitu saja. Saya tidak sadar bayinya sudah keluar. Tanpa perlu mengejan, tanpa rasa sakit. bayi  itu keluar begitu saja. Alhamdulillah, saya bersyukur dan berterima kasih pada si bayi yang sudah keluar dengan begitu lancar, dengan pembukaan yang amat cepat, untuk hitungan ibu yang melahirkan pertama kali.
“Subhanallah, cepet banget Teh. Biasanya kalau lahiran anak pertama sampai dua hari dua malam. Ini Cuma tiga jam sudah lahir.” Kata si asbid.
Akhirnya si bayi mungil itu diadzani suami, lalu ditempelkan di dada saya. Masih antara sadar dan tidak, saya hanya bisa terbengong bengong. Suami lalu mencium kening saya.
“Thank you.” Ujarnya pendek.
Saya hanya tersenyum. Teringat cerita cerita di forum. Katanya, saat menunggui melahirkan, ada yang suaminya pingsan, ada yang menangis setelah melihat bayi, ada menunggui isteri melahirkan sambil menangis. tapi walaupun tidak heboh, saya yakin perasaan suami saya juga sama dengan para suami lain yang menunggui isterinya melahirkan. Congrats dear, now you are a father...
Setelah bayi diamankan, saya beristirahat, banyak minum. Lalu bidan mengecek, dan ternyata saya mengalami robekan yang amat parah. Saya bertanya kenapa, kata asbid gara gara tidak ditunggui pas kepalanya keluar. Posisi miring kepalanya sudah keluar, alhasil saat membalikan badan, robekannya jadi besar. Ia juga terlihat merasa bersalah.
“Soalnya ini cepet banget, Teh. Biasanya kalau belum semalaman mah belum mau turun kepalanya.” Saya mencoba mengerti. Ya sudah, mungkin memang takdirnya harus seperti itu. Akhirnya saya dijahit. Tidak tanggung tanggung, oleh empat orang. Bidannya berkata, luka sobekan macam itu harusnya dirujuk ke dokter kandungan dan dibius total. Tapi mungkin karena merasa bersalah juga, akhirnya ditangani di sana.
Jangan tanya bagaimana rasanya dijahit. Bius lokal yang diberikan rasanya tidak begitu terasa. Saya masih bisa merasakan jarum yang keluar masuk, masih merasakan benang yang disimpul. Begitu terus, selama dua jam. Ya, jaitan itu baru selesai setelah dua jam. Dan ditengah tengah proses menjahit itu, saya sudah benar benar lemas, sehingga akhirnya saya diinfus.
Sagara Sunda Al Fadli...
Cerita ini bukan untuk menakut nakuti mereka, para ibu yang akan melahirkan. Karena pada faktanya, rasa bahagia saat melihatmu mengalahkan semua rasa sakit itu.
Cerita ini untuk mengingatkan anak yang mulai lupa pada ibunya.
Cerita ini untuk mengingatkan suami yang mulai lupa pada isterinya.
Cerita ini untukmu, anakku. Mungkin suatu hari nanti, ketika Umi Abi sudah tidak ada di dunia lagi, kamu masih bisa mengenang kami lewat tulisan tulisan kecil ini.
Cerita ini untukmu, anakku. Untuk menghargai hidup, untuk mengingatkanmu bahwa hidup adalah perjuangan dan kamu harus mengisinya dengan kebaikan.
Kenapa kamu diberi nama Sagara?
Abi bilang, Sagara itu lautan. Lautan itu menampung segala macam air. Ia tidak pilih pilih. Air kotor, air bersih, air hujan, semua ditampungnya. Tapi ia mampu membuat semuanya sama. Menjadi jernih dan asin. Kami harap, kamu juga demikian. Jadilah anak yang bisa menampung segala. Segala amanah, segala ilmu, segala pelajaran dari hidup, tampunglah, Nak. Tapi jadikan semua itu satu. Jadikan semua itu jalan menuju ridhaNya. Jadikan semua itu cara untuk menjadi dekat padaNya. Sekonsisten lautan yang mengasinkan air...
Kata Abi lagi, lautan itu tenang dan menyejukkan saat dilihat. Jadilah anak yang lemah lembut pada saudaramu kelak. Jadilah penenang bagi orang di sekitarmu.
Masih Abi yang bilang, laut juga bisa marah dan mengamuk menjadi tsunami. Bersikap tegas dan perangilah orang orang yang menghina agamamu kelak. Jadilah pejuang paling depan dan bersikap keraslah pada musuh musuh Islam.
Itu sebait do’a yang kami selipkan di balik namamu. Jadilah anak yang sholeh, Nak. Dengan segala keterbatasan kita, semoga Rabb yang Maha Segalanya, masih mengizinkan kita berkumpul di JannahNya, kelak...  Aamiin...



Bandung, 6 Oktober 2014
Hujan pertama di musim kemarau, di lima belas hari setelah kelahiranmu
                                                
READ MORE - Lautan itu Bernama Sagara

Read Comments
 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men