Karena saya berkata benar. Semoga tidak termasuk munafik. Ketika saya mengatakan saya akan mendukungmu, maka itulah yang akan terjadi. saya mungkin menukil satu persatu kata
yang terlihat—atau mungkin terdengar—carut marut. Kata-kata yang bahkan saya sendiri saja tidak begitu paham. Karena mungkin terlalu sulit untuk diurai.
Pun ketika
semalam saya bermimpi. Mimpi yang tampak terlalu nyata, meski ternyata setelah
bangun tidur, mimpi itu tak lagi terlalu istimewa. Hanya bercerita tentang
kesetiaan saya, pada seseorang (atau mungkin sesuatu?) yang tetap saya pegang
teguh bahkan dalam kondisi yang amat kritis...
Biarlah,
mungkin mimpi itu hanya ilusi dari otak saya, di sudut yang dinamakan para ahli
sebagai subconcious mind, yang
kelewat lelah menumpuk kecemasan saya. Kecemasan-kecemasan yang tidak berhasil
saya hilangkan sebelum tidur, akhirnya saya tabung di ruang subconcious mind itu, lalu kemudian
tumpukan itu perlahan menjelma urat-urat mimpi yang terkadang menyesakkan. Membuat
jantung saya berpacu lebih cepat, dengan keringat mengucur deras, dan tentu
saja, ketidaknyamanan saat bangun tidur. Lalu beberapa detik setelahnya saya
akan sakit kepala. Migrain yang
biasanya hilang jika ditidurkan, kini malah muncul. Berlebihankah jika
selanjutnya mimpi-mimpi itu saya namai si pemanggil migrain?
Lantas,
kemana saya harus mencari? Apa usaha saya untuk mengurangi kecemasan-kecemasan
itu? Sementara saat saya hendak berbicara, saya terlampau gagap. Akhirnya,
hanya bisa saya simpan dalam hati. Kadang terbawa mimpi (lagi). Atau mengalir
bersama air mata yang kadang saya tak suka. Atau berakhir seperti ini,
tulisan-tulisan di Ms Word yang saya
berikan proteksi di laptop. Atau meng-copy
tulisan berproteksi itu di halaman blogger dan memajangnya di blog sebagai
untaian kata-kata yang tidak bermakna.
Terlepas
dari segala “kecemasan” yang masih sulit saya uraikan bahkan pada telinga
sendiri, saya sadar, kini saatnya saya mencoba menggali. Menggali apa saja. Mungkin
tulisan-tulisan di loakan. Mungkin ayat-ayat suci yang menenangkan. Mungkin ilmu
yang meneduhkan. Mungkin senyum kawan. Entahlah. Yang paling penting adalah,
harus ada tindakan. Karena saya juga bosan berputar-putar di titik yang sama. Seolah
maju berpuluh-puluh langkah, padahal sejatinya, saya hanya berjalan di tempat. Sedang
waktu tetap memacu, memburu.
Sebelum
saya menggali ke tanah-tanah asing yang menanam banyak duri, mungkin sebaiknya
saya mulai dari hati sendiri. saya mulai pencarian dari kenangan mata saya
sendiri. Dalam keranjang-keranjang bias yang sudah setengahnya terpenuhi. Pasti
ada sesuatu di sana.
Tulisan
pagi ini mungkin tanpa esensi. Dan saya tak hendak membaca ulang jejak jemari
saya kali ini. Hanya ingin menulis. Tanpa editing, tanpa mengubahnya agar lebih
enak di baca. Biarlah. Yang penting sudah ada yang mengalir. Dan saya mohon
maaf bila ada yang membaca, lalu merasa bingung, saya bicara apa?
Tapi,
saya yakin. Akan selalu ada yang mengerti ini. Karena saya bicara di balik
kata. Ia akan mengerti, bahkan sebelum kata itu saya bahasakan. Mungkin,
penyemangat terakhir dari murabbi saya kemarin siang, bisa membantu saya memulai
pencarian. “La takhof, wa la tahzan, teh
Siti.”
Di karpet biru usang,
29 Desember 2012
07:05 am