Lautan itu Bernama Sagara

Bismillahirrahmanirrahiim...

Baiklah, kuawali hari ini dengan menulis, sebelum passion menulis itu terbuang hilang seiring waktu yang melayang...
Akhirnya si mungil yang telah bersembunyi 37 minggu 3 hari di dalam rahimku itu sudah bisa kudekap. Bisa kurasakan hangat badan mungilnya. Bisa kutatap matanya.
Aku memanggil memori yang tersangkut pada malam itu, Senin 22 September, pukul sembilan malam. Tepat  5 jam setelah kelahirannya. Dibalutkan dengan kain dua lapis, ia diambil dari bak kaca seukuran akuarium untuk kemudian ditidurkan di sampingku. Asisten bidan yang berjilbab rapi itu meninggalkan kami berdua. Benar benar tinggal berdua. Ayah ibuku sudah pulang, segera setelah tahu bahwa anak dan cucunya sehat. Mungkin dengan perasaan sedikit menyesal karena aku yang tidak diizinkan pulang akibat jahitan terlalu banyak harus menginap semalam, menghabiskan cairan infus yang menyakitkan saat dipasang. Sedang suamiku (sudahkah aku berterima kasih padamu?) juga terpaksa pulang saat aku masih di kamar bersalin karena ternyata kain flanel untuk si bayi sudah keburu habis dipakai alas melahirkan.
Jam sembilan malam itu, aku belajar menyusui untuk pertama kalinya. Tidak nyaman. Untukku, juga bayinya. Tidak ada yang bisa ditelan, tidak ada yang bisa dicerna. Tapi bayi itu begitu baik, tidak menangis, tidak protes. Ia hanya bisa membuka dan menutup mulutnya, dengan mata yang bergerak gerak lemah, entah ia sudah bisa melihat sekitarnya atau tidak. Aku hanya bisa menatapnya. Itukah yang selama ini kamu lakukan di dalam rahim, Nak? Ia begitu kecil, ringkih, dan amat lemah. Manusia macam apa yang bisa melakukan hal hal kejam seperti membuang bayi, apalagi membunuhnya? Astaghfirullah... tidakkah mereka melihat kebesaranNya dan kesempurnaan penciptaanNya dalam setiap inchi makhluk kecil bernama bayi? Saat itu perasaanku campur aduk. Bahagia, khawatir, takjub, penuh harap, dan merasa begitu kecil di hadapanNya.
Proses persalinan memang menyakitkan. Tapi tentu saja sesakit apapun melahirkan, tidak akan membuat seorang wanita kapok. Termasuk saya. Rasanya saya tidak mengalami trauma yang berarti, dengan kata lain masih berharap Sagara punya beberapa adik, tentu saja beberapa tahun yang akan datang. Kebiasaanku mengintip dan menjadi silent reader di sebuah forum ibu hamil memberikan banyak sekali ilmu. Aku jadi tahu apa itu braxton hicks, bagaimana gambaran kontraksi, bagaimana teori melahirkan yang baik, bagaimana cara mengejan dan mengambil napas yang baik, bagaimana IMD yang baik, walaupun, yah, tetap saja saat persalinan berlangsung, semua teori itu tersapu habis. Ingat, memang. Tapi susah sekali mempaktekannya.
Rasa sakit itu bermula dari pukul tiga pagi. Seperti malam malam sebelumnya, keinginan untuk berkemih di malam hari memang sangat menganggu. Tapi hari Senin dini hari itu rasanya ada yang beda. Ada rasa sakit yang tidak biasa. Tapi aku mencoba menghitung usia kandungan, baru 37 minggu lebih 3 hari, perkiraan hari lahir masih satu sampai dua minggu lagi. Mungkin ini yang namanya braxton hicks, si kontraksi palsu yang sering didengungkan di forum. Aku mengabaikan rasa sakit lalu tidur kembali. Tapi ternyata rasa sakit itu tidak juga menghilang sampai selesai sholat subuh. Aku memutuskan untuk rebahan lagi di kamar.
“Kayaknya aku cuti sekarang aja, Yang, gak jadi minggu depan.” Kataku.
“Ya udah.” Suamiku menjawab.
“Kamu mah sekolah aja, gak usah ikutan cuti.”
“Nanti kalau siang mau ngelahirin gimana?”
Aku hanya tertawa, “tinggal SMS aja.”
Percakapan singkat selepas subuh itu ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Suamiku ikut izin juga hari itu, mungkin khawatir karena rasa sakit yang kukira kontraksi palsu itu tak kunjung hilang, walaupun datangnya masih sangat lambat, sekitar sekali tiap setengah jam. Sekitar pukul delapan pagi, aku mengajak suami untuk jalan jalan, mencari  sarapan. Di perjalanan kontraksi itu terasa lagi, sekitar dua kali. Aku teringat lagi ilmu di forum ibu hamil yang sering kuintip, jika sudah kontraksi, paksakan untuk jalan jalan agar pembukaannya cepat.
Setelah sarapan, aku tidak berdaya, hanya tiduran di lantai beralaskan kasur tipis dan  selimut. Aku menyalakan laptop, sekali lagi, mengintip forum diskusi ibu hamil. Aku mengetik keyword “kronologi melahirkan”, dan muncul banyak sekali cerita dari mereka yang telah melahirkan. Aku juga mencari artikel hypnobirthing, mencoba mensugestikan bahwa melahirkan itu bukan sesuatu yang harus ditakuti.
Menjelang sekitar pukul sepuluh, kontraksi itu muncul setiap sepuluh menit. Aku mulai meringis tidak nyaman. Masih berbaring dengan laptop di depan mata, tapi sudah tidak menarik lagi isi diskusi di sana. Rasa sakitnya mulai menuntut perhatian. Suamiku yang sedang mencuci piring sambil bernyanyi  nyanyi kecil sesekali melongokan kepalanya ke arahku, mungkin mulai khawatir aku meringis lebih sering.
“Ke bidan, Yang?” tanyanya.
“Nanti.” Aku menjawab pendek, masih bersikukuh dengan teori yang terbaca di forum, tidak usah terburu buru ke dokter atau bidan, tunggu sampai kontraksinya muncul setiap lima menit sekali.
Masih berguling guling di kasur tipis, sang kontraksi mulai muncul setiap tujuh menit. Semakin intens, tapi dengan mengatur napas, kontraksi itu sedikit mereda. Akhirnya, sekitar pukul sebelas siang, saya memaksakan diri untuk mandi dan siap siap ke bidan.  Saya sempatkan shalat dzuhur dan ashar di jam dua belas siang itu. Pikiran saya nanti kalau harus sholat ashar sambil kontraksi, takut tidak sanggup. Dan berangkatlah kami berdua. Tanpa ada yang tahu bahwa saya sudah mau melahirkan. Kami pamit ke nenek, bilang mau ke bidan. Nenek kira mungkin hanya periksa biasa. Kami berangkat ke bidan naik motor. Tentu saja, sambil meringis ringis. Kontraksinya benar benar sudah muncul setiap lima menit sekali.
Singkat cerita, sampai di bidan dan ternyata bidannya tidak ada. Hanya ada asistennya. Tapi asistennya pun memang sudah mumpuni, saya rasa. Beliau masih muda, gadis, berjilbab rapi, usianya satu tahun lebih muda dari saya.
“Iya Teh, ini mah mau melahirkan. Sudah pembukaan empat.” Begitu ujarnya. Saya mengucap hamdalah. Si asbid segera mengecek detak jantung bayi dan tensi darah.
“Bagus. Tiduran ya Teh, kalau kontraksinya muncul, tarik napas. Tidurnya miring ke kiri.” Saya mengangguk, teori itu sudah saya hapal benar. Setelah yakin saya akan melahirkan, segera saya hubungi keluarga dan teman teman. Minta do’a, semoga dilancarkan. Termasuk orang tua saya di Bandung, juga akhirnya diberi tahu. Berdatanganlah do’a dari teman dan keluarga, memberi motivasi dan semangat.
“Allahumma yasir wa laa tu’asir, Bu Siti, semangat.” Do’a dan motivasi serupa berdatangan, membuat saya senang dan lebih tenang.
Ibu saya datang setengah jam kemudian. Minus Bapak yang masih kerja dan minus adik yang masih sekolah. Si kontraksi masih muncul lima menit sekali. Saya masih bisa bercanda dengan suami dan ibu di ruang bersalin. Tapi lama kelamaan semakin sakit dan saya sudah mulai berteriak. Saat itu pukul tiga, dan Asbid bilang baru pembukaan delapan. Subhanallah, rasanya luar biasa. Ibu saya mengelus pinggang yang rasanya sudah terlepas sendinya. Saya menghadap ke arah kiri, ada suami di sana. Ia selalu mengingatkan untuk menarik napas, yang saya mulai lupa. Tangannya saya cengkeram kuat kuat. Entah, mungkin saja sampai lebam.
Bidan seniorpun datang, tapi hanya menengok sesekali. Asbid juga ada di ruangan lain. Kami ditinggal bertiga. Sesekali ia datang, mengingatkan jangan mengejan, jangan teriak teriak, nanti tenaganya habis. Tapi, subhanallah rasanya semua nasehat itu tidak bisa kulaksanakan. Saya masih berteriak juga, masih mengejan juga. Sampai puncak rasa sakit itu tiba. Rasanya sudah benar benar tidak bisa ditahan lagi. Akhirnya saya menangis.
Sang suami baik hati yang tanganya sudah dicakar cakar itu membungkuk, mendekatkan wajahnya, membisikan kata yang memotivasi. Terus mengingatkan untuk mengatur napas yang sudah sulit sekali dilakukan. Dan saya memeluknya, namun sayang, dipeluk orang yang mau melahirkan itu sesuatu. Karena niat saya hanya ingin memeluknya, tapi yang terjadi malah saya membenamkan kuku dalam dalam di punggungnya. Dan posisi itu tidak berubah sampai bayinya lahir. Pasti sakit sekali... Maaf ya...
Akhirnya pukul empat saya ditengok lagi asbid. Dicek, sudah pembukaan lengkap. Ketuban dipecahkan. Dan rasa sakitnya, hmmm , saya jadi mengetik sambil bergidik.
“jangan mengejan, Teh. Kepalanya belum turun.” Itulah saat yang paling menyakitkan. Ada dorongan di dalam rahim yang membuat saya mengejan secara refleks. Tapi mengejan masih dilarang. Dan saya tahu alasannya. Jika terus mengejan sebelum kepala bayi turun, hal itu membuat kepala rahim bengkak, dan tentunya menghabiskan tenaga sia sia.
Rasanya sudah putus asa. Sambil terus berdo’a, saya mengajak bicara si bayi.
“De, ayo cepet turun...”
Asbid masih di ruangan lain. Juga bidan seniornya. Entah apa yang mereka lakukan. Ibu saya mulai kesal. Beliau pamit untuk sholat ashar. Saya terus refleks mengejan. Dan akhirnya, dengan posisi masih miring ke kiri, di ruangan hanya ada suami, saya merasakan kepala bayi sudah keluar. Saya meminta suami untuk mengecek. Dan ternyata benar, kepala bayinya sudah keluar. Akhirnya Asbid itu datang ke kamar setelah dipanggil. Saya mengubah posisi dari miring ke kiri menjadi telentang. Katanya terdengar robekan, tapi saya tidak sadar. Yang saya tahu, saya ingin segera mengakhiri rasa sakit itu.
Si asbid membetulkan posisi saya, memberi tahu tangan harus dimana, kaki harus bagaimana. Tapi belum lagi ia selesai bicara, bayi sudah meluncur keluar. Ia menangis. Yah, keluar begitu saja. Saya tidak sadar bayinya sudah keluar. Tanpa perlu mengejan, tanpa rasa sakit. bayi  itu keluar begitu saja. Alhamdulillah, saya bersyukur dan berterima kasih pada si bayi yang sudah keluar dengan begitu lancar, dengan pembukaan yang amat cepat, untuk hitungan ibu yang melahirkan pertama kali.
“Subhanallah, cepet banget Teh. Biasanya kalau lahiran anak pertama sampai dua hari dua malam. Ini Cuma tiga jam sudah lahir.” Kata si asbid.
Akhirnya si bayi mungil itu diadzani suami, lalu ditempelkan di dada saya. Masih antara sadar dan tidak, saya hanya bisa terbengong bengong. Suami lalu mencium kening saya.
“Thank you.” Ujarnya pendek.
Saya hanya tersenyum. Teringat cerita cerita di forum. Katanya, saat menunggui melahirkan, ada yang suaminya pingsan, ada yang menangis setelah melihat bayi, ada menunggui isteri melahirkan sambil menangis. tapi walaupun tidak heboh, saya yakin perasaan suami saya juga sama dengan para suami lain yang menunggui isterinya melahirkan. Congrats dear, now you are a father...
Setelah bayi diamankan, saya beristirahat, banyak minum. Lalu bidan mengecek, dan ternyata saya mengalami robekan yang amat parah. Saya bertanya kenapa, kata asbid gara gara tidak ditunggui pas kepalanya keluar. Posisi miring kepalanya sudah keluar, alhasil saat membalikan badan, robekannya jadi besar. Ia juga terlihat merasa bersalah.
“Soalnya ini cepet banget, Teh. Biasanya kalau belum semalaman mah belum mau turun kepalanya.” Saya mencoba mengerti. Ya sudah, mungkin memang takdirnya harus seperti itu. Akhirnya saya dijahit. Tidak tanggung tanggung, oleh empat orang. Bidannya berkata, luka sobekan macam itu harusnya dirujuk ke dokter kandungan dan dibius total. Tapi mungkin karena merasa bersalah juga, akhirnya ditangani di sana.
Jangan tanya bagaimana rasanya dijahit. Bius lokal yang diberikan rasanya tidak begitu terasa. Saya masih bisa merasakan jarum yang keluar masuk, masih merasakan benang yang disimpul. Begitu terus, selama dua jam. Ya, jaitan itu baru selesai setelah dua jam. Dan ditengah tengah proses menjahit itu, saya sudah benar benar lemas, sehingga akhirnya saya diinfus.
Sagara Sunda Al Fadli...
Cerita ini bukan untuk menakut nakuti mereka, para ibu yang akan melahirkan. Karena pada faktanya, rasa bahagia saat melihatmu mengalahkan semua rasa sakit itu.
Cerita ini untuk mengingatkan anak yang mulai lupa pada ibunya.
Cerita ini untuk mengingatkan suami yang mulai lupa pada isterinya.
Cerita ini untukmu, anakku. Mungkin suatu hari nanti, ketika Umi Abi sudah tidak ada di dunia lagi, kamu masih bisa mengenang kami lewat tulisan tulisan kecil ini.
Cerita ini untukmu, anakku. Untuk menghargai hidup, untuk mengingatkanmu bahwa hidup adalah perjuangan dan kamu harus mengisinya dengan kebaikan.
Kenapa kamu diberi nama Sagara?
Abi bilang, Sagara itu lautan. Lautan itu menampung segala macam air. Ia tidak pilih pilih. Air kotor, air bersih, air hujan, semua ditampungnya. Tapi ia mampu membuat semuanya sama. Menjadi jernih dan asin. Kami harap, kamu juga demikian. Jadilah anak yang bisa menampung segala. Segala amanah, segala ilmu, segala pelajaran dari hidup, tampunglah, Nak. Tapi jadikan semua itu satu. Jadikan semua itu jalan menuju ridhaNya. Jadikan semua itu cara untuk menjadi dekat padaNya. Sekonsisten lautan yang mengasinkan air...
Kata Abi lagi, lautan itu tenang dan menyejukkan saat dilihat. Jadilah anak yang lemah lembut pada saudaramu kelak. Jadilah penenang bagi orang di sekitarmu.
Masih Abi yang bilang, laut juga bisa marah dan mengamuk menjadi tsunami. Bersikap tegas dan perangilah orang orang yang menghina agamamu kelak. Jadilah pejuang paling depan dan bersikap keraslah pada musuh musuh Islam.
Itu sebait do’a yang kami selipkan di balik namamu. Jadilah anak yang sholeh, Nak. Dengan segala keterbatasan kita, semoga Rabb yang Maha Segalanya, masih mengizinkan kita berkumpul di JannahNya, kelak...  Aamiin...



Bandung, 6 Oktober 2014
Hujan pertama di musim kemarau, di lima belas hari setelah kelahiranmu
                                                
READ MORE - Lautan itu Bernama Sagara

Read Comments

Mari Berceloteh

Akhirnya menulis lagi ^^
Akhir akhir ini lebih sering main spider solitaire sama suami. Setiap buka laptop pasti keranjingan. Hehe, aneh juga sebetulnya. Itu kan game garing yang membingungkan, tapi kami sama sama keranjingan. Spider solitaire yang 4 daun, lumayan membuat kening kami berkerut kerut. Btw,  ada yang nyadar ga yah kalau saya gak bisa menulis karakter strip yang harusnya nangkring di kata yang diulang? Macet brader karakter itu gak mau keluar, halah...
Andaikan blog ini adalah sebuah rumah, pasti ia sudah menjelma menjadi rumah yang menyeramkan. Minimal macam rumahnya keluarga Ravenwood di film Beautiful Creatures yang semalam ditonton. Saatnya kembali ke rumah dan memastikan bahwa saya si empunya blog masih sehat wal afiat dan masih bisa menulis ^^
Hmmm, sebetulnya saya ingin menulis yang agak agak nyastra gimanaaa gitu. Tapi kayaknya lagi tidak bisa bermelow melow ria. Akhirnya jadi menulis diary ringan saja, yipppy... hari ini di Lembang angin nya guedeee bangget. Aku sampai tidur lagi setelah sarapan>>nah lo, gak nyambung.
Hari hari masih kujalani sebagai seorang istri merangkap guru di Sekolah Dasar Islam Terpadu. Pluuus sebagai ibu hamil pula. Banyak banget yang ingin di share selama hamil, tapi ya begitu lah, sudah pada menguap ceritanya. Paling sekarang yang terasa adalah badan berat semua, kaki bengkak, mau bangun setelah duduk susahnya minta ampun. Harus ngulet  ngulet dulu nyari posisi yang pas, atau cara termudah nyodorin tangan ke suami minta ditarikin biar bisa berdiri, hehehe. Berat badan naik drastiiiiis, sebelum hamil masih 50 Kg, sekarang jadi 65 Kg. Gak tahu tapi sih, kayaknya masih bisa naik lagi sampai lahiran entar, hohoho.
Rasanya menyenangkan sekali akan menjadi ibu. Kadang suka senyum senyum sendiri. amanah terbesar itu akan segera datang, dan aku harap bisa menjaga amanah itu dengan baik. Persiapan untuk menyambut sang buah hati yang sekarang sudah berat banget di perut ini sudah lumayan cukup. Sempat beli kasur, baju, celana, flanel. Dan ternyata ada telepon dari Teteh di Bogor kalau di sana mau maketin perlengkapan bayi yang subhanallah kemarin di bbm in fotonya, banyak banget. Sampai bingung ngirimnya gimana, via JNE pasti mahal banget ^^
Alhamdulillah, rizkinya Si Ujang.
Ujang? Iya, kata dokter yang USG kemarin di RS Salamun sih katanya bayinya laki laki. Wah suamiku seneng banget, termasuk ibuku juga seneng banget, secara gak pernah ngurusin bayi laki laki. Yang kurang seneng adalah adikku, katanya sih gak asyik, gak bisa dipakein bando katanya, hehe. Aku pribadi juga lebih cenderung ingin punya anak laki laki, gak tau kenapa. Mungkin karena gak pernah punya adik laki laki. Tapi itu baru hasil monitoring alat buatan manusia saja, wallahu a’lam, sangat mungkin sebetulnya si debay ini perempuan.
Kondisi terakhir katanya sih bagus. Sehat, normal. Ketuban cukup, kepala sudah turun, ari ari di atas, berat janinnya 3 Kg. Usia kandungan kalau dihitung dari Haid terakhir baru 36 minggu, tapi menurut USG sudah 38 minggu. Jadi kata sang dokter yang baik hati itu bayinya seharusnya sudah lahir 2 minggu lagi. Hihi, bentar lagi yaa...
Gak tau bisa apa enggak entar ngelahirinnya, apalagi mengurus setelah lahirnya. Tapi, bisimillah saja. Cuma bisa berdo’a semoga persalinan lancar, akunya kuat, bayinya sehat, dan jadi bayi yang sholeh setelah lahir nanti, aamiin...
Kami sudah menyiapkan nama, rasanya sudah fix kalau laki  laki mau dikasih nama itu. Dan jujur saja, kalau untuk perempuan, kami belum tahu. Memang feeling dari awal anaknya laki laki sih, hihi. Stay safe on my belly, baby... see you very soon. ^^
Lembang, 14 September 2014

Mengetik sambil merasa heran, ada cowok ganteng tidur jam 12 siang pakai selimut tebal :p
READ MORE - Mari Berceloteh

Read Comments

Sekaleng Permen

#sedikit cerita di balik layar
Saat sedang giat-giatnya ikut lomba menulis, saya ikut serta juga dalam lomba ini. sebuah tema yang tidak begitu saya suka, diusung di lomba ini. Lomba ini temanya "katakan cinta". Sudah jelas apa isinya. tentang orang yang suka--dan menyatakan perasaannya. Sebetulnya saya kurang srek menulis yang begituan, rasanya sayang, menulis cerpen itu tidak mudah, lho. Mengetik 5-10 halaman itu capek, dan menguras tenaga. Rasanya sayang saja, menulis capek-capek tapi tidak ada pahalanya, tidak ada nilai kebaikan di dalamnya (mungkin). 
Tapi, terlepas dari itu, saya tertarik dengan peserta lomba yang sudah mencapai tiga ratus-an. cerita yang dipilih hanya kurang lebih dua puluh--saya lupa. Nah, berangkat dari keinginan untuk menjajal kemampuan menulis, saya tertarik.
Dan jadilah cerpen ini. Cerpen cinta monyet saya yang pertama (dan mudah-mudahan yang terakhir, hehe). Tapi, alhamdulillah cerita ini masuk menjadi salah satu cerita yang dibukukan. Teman-teman bisa cari bukunya dengan judul "Katakan Cinta" Karya Penerbit Harfeey. Selamat menikmati.
***
Sekaleng Permen

Kaleng permen bening ini membuatku bertanya-tanya. Hampir lima tahun aku menunggu. Jujur saja, aku mengharapkan sesuatu yang lebih. Bukan mahal, bukan mewah. Tapi pantaskah jika penanatianku selama lima tahun ini hanya dihargai dengan sekaleng kecil permen? Aku mendesah gundah. Ujung jariku mempermainkan tutup kaleng plastik yang sudah tidak tersegel lagi. Mungkin benar, aku memang tak begitu berarti untuknya. Caraku menatapnya, tak pernah sama dengan caranya menatapku. Perih ini terasa membesar. Hatiku remuk, seperti mainan kaca yang dilemparkan ke batu, pecah berkeping-keping.
***
Cinta pertama tak mudah untuk dilupakan. Itu perkataan yang keabsahannya hampir diakui semua orang, termasuk olehku. Awan, lirih aku menggumam. Namanya membuatku memiliki kebiasaan menengadah ke langit biru setiap kali aku rindu. Asyik mencari bentuk-bentuk unik yang bisa menghiburku. Kubayangkan kamu di sini, menemaniku berkejaran dengan imaji yang dilatarbelakangi negeri awan nan tinggi. Melalui awan, pintu hatiku terketuk. Memandangi awan, aku damai.
Mataku selalu terpaku pada awan, kupandangi lama sekali. Aku tak peduli apakah hari itu awan berwarna putih seputih kapas, yang kontras dengan latar biru. Atau bahkan menghitam, siap untuk menangis. Karena awan yang bertebaran di langit lepas mengingatkanku padamu, Awan Surya Nugraha, teman kecilku yang sudah lama kucintai.
Jika seandainya kamu awan yang diciptakan Tuhan untuk memenuhi langit, maka aku ingin menjadi hujan. Aku berkumpul dalam dirimu. Aku memenuhi seluruh kekosongan yang ada padamu. Lantas saat kamu tak sanggup lagi menampungku, maka aku rela terjatuh ke bumi. Mengalir menelusuri tiap lekuk tanah, membagikan kehidupan. Lalu aku mengumpul di lautan. Terkikis dan menguap oleh matahari. Namun aku akan tetap kembali menjangkaumu. Aku tak peduli sesakit apa menggasak akar tanaman. Aku mengabaikan diriku yang akhirnya kotor bercampur lumpur. Aku hanya ingin menuju lautan. Aku mengabaikan panas terik terpanggang matahari di laut lepas. Tujuanku hanya satu, kembali padamu, Awan.
***
            Menanti selama lima tahun tidak membuatku jera. Kenangan kita semasa kecil yang menguatkanku. Kamu selalu melindungiku, seumpama kakak yang sayang pada adiknya. Bukankah itu yang selalu kamu katakan padaku, Awan? Bahwa kamu ingin menjadi kakak yang baik untukku. Tapi tahukah kamu, apa yang kurasakan seiring dengan pertumbuhanku, aku mulai memandangmu sebagai laki-laki yang utuh. Yang lebih dari layak untuk kucintai. Aku menunjukkan gelagat itu, agar kamu mengerti. Agar kamu bisa menangkap sinyal-sinyal yang aku kirimkan. Aku ingin menjadi wanitamu. Tapi kamu tak pernah mengerti.
            “Lily... Aku lulus PMDK di Jogja.” Hampir lima tahun lalu kamu mengucapkan itu. Namun aku masih bisa mengenangnya dengan jelas.
            “Aku turut gembira.” Bohong! Saat itu aku bohong padamu, Awan. Kebohonganku yang pertama.
            “Kamu tidak sedih? Kamu mau kuliah di sini? gak coba ikut tes Universitasku?” kamu mengerling, tersenyum nakal. Aku tahu kamu hanya menggoda. Kamu tahu persis, aku anak tunggal sakit-sakitan yang tidak mungkin diizinkan keluar kota.
            “Asal saat kamu kembali masih jomblo, dan siap melamarku, aku bisa menunggu. Lima tahun itu sebentar kok...” aku mengucapkannya, setengah berguyon. Padahal aku tegang sekali. Menanti jawaban yang akan keluar dari mulutmu.
            “Hahaha...” Kamu hanya tertawa. Gigi gingsulmu yang manis pamer pesona. Kamu menepuk pelan kepalaku. Hal yang selalu kamu lakukan. Aku kecewa, Awan. Kecewa sekali.
            Perbincangan kita berakhir sampai di situ. Kamu melanjutkan kehidupanmu di luar kota. Menyabet berbagai prestasi dan piala. Aku selalu mengikuti perkembanganmu di jejaring sosial. Tersenyum melihat tingkahmu. Bangga padamu. Cemburu padamu. Iri pada wanita-wanita yang turut tersenyum di fotomu. Mereka berkomentar ini itu. Aku hanya mengamati dari jauh. Tak  pernah aku ikut andil dalam canda tawamu di jejaring sosial itu. Karena kamu pun tak pernah peduli padaku.
            Aku dibakar cemburu. Wanita cantik mana yang kini mengisi hatimu? Aku menelusuri jejak teman wanitamu satu persatu. Dengan dada bergemuruh aku mencermati profil mereka, status mereka, kalau-kalau ada yang memiliki gelagat aneh, menyukaimu. Siapa yang tidak tertarik padamu, Awan? Lelaki pintar yang ramah. Dengan gigi gingsul yang sulit diabaikan saat kamu tertawa.
            Jika pulang pun, kamu hanya menyapaku lewat telepon. Mengajak bertemu tapi tak pernah benar-benar serius meminta. Aku selalu berkelit, mengatakan banyak tugas, acara keluarga, atau sedang tidak enak badan. Aku ingin kamu memaksa, Awan. Aku ingin melihat kesungguhanmu mengajakku bertemu. Tapi aku tak pernah mendapatkan itu.
            Setahun sekali aku bertemu denganmu. Saat hari raya tiba, kamu dan keluargamu selalu datang ke rumahku. Bersilaturahmi. Tapi hanya sebatas itu. Kamu tidak pernah mendatangiku secara khusus. Lupakah kamu padaku, Awan? Sebaik itukah Jogja memberimu kenyamanan, hingga lupa padaku? Aku rindu, rindu sekali, Awan!
***
            Waktu merambat naik. Usiaku kini 23 tahun. Sama denganmu, bukan? Aku, masih mengikuti perkembanganmu dari jauh. Status terakhirmu mengatakan kamu diterima bekerja di Jakarta. Sarjana muda yang tidak merasakan jadi pengangguran. Aku sendiri masih belum lulus. Berkutat di skripsi yang tak kunjung mendapat restu dari Dosen. Aku mengutuk. Mungkin aku harus berhenti bermimpi menjadi hujan. Hujan yang terlahir dari pelukan awan.
            “Lily... Aku pulang besok. Kamu harus menemuiku.” Telepon  Awan di pagi buta. Bahkan aku belum terjaga sepenuhnya.
            “Hmm?” aku menggumam tidak jelas.
            “Aku pulang, Lily. aku sudah bisa meninggalkan Jogja. Sebelum ke Jakarta, aku ingin menemuimu besok. Gak ada alasan untuk menolak. Ada kabar yang sangat menggembirakan!”
            “Ah, iya. Selamat ya, Awan.” Aku menebak-nebak apa yang akan dikatakannya besok. Kabar bahagiakah? Kabar burukkah? Apakah sama kabar bahagia menurutnya dan menurutku?
            “Juga ada hadiah spesial untukmu. Hadiah telah menungguku selama lima tahun. Kamu pasti tidak akan lupa seumur hidup.” Alisku bertaut, bingung.
***
            “Aku akan segera menikah. Kamu orang pertama yang aku kasih tahu.” Awan menatap mataku.
            Aku balas menatapnya. Inikah kabar bahagia yang ingin dia sampaikan? Wanita yang mana yang jadi pilihanmu, Awan? Aku terdiam.
            “Kamu tidak memberiku selamat?” awan menatapku curiga.
            “Aku... Aku... Selamat yah. Aku cuma kaget. Ternyata kamu mendahuluiku.” Aku berusaha tersenyum. Tapi suaraku yang bergetar membuat Awan menatapku heran.
            “Kamu kok kelihatan pucat? Kamu sakit? Atau jangan-jangan... Kamu suka padaku, Lily?” perkataannya menyentak kesadaranku. Aku terhempas. Jatuh, hancur.
            Aku mengangguk, lemah.
            “Astaga... Benarkah? Maafkan aku, Lily. Tapi aku tidak tahu. Aku benar-benar minta maaf. Tapi keputusanku sudah bulat. Aku sudah memilih wanita itu.” Suara Awan pun kini bergetar. Rasa bersalah muncul kentara di setiap lekuk wajahnya.
            Sejam kemudian aku sudah di rumah. Perasaanku berkecamuk. Aku memegang sekaleng permen yang tadi diberikan Awan. Permen-permen itu pipih, dibungkus plastik yang dipelintir kedua ujungnya. Permen ini adalah permen favoritku semasa kecil. Ternyata Awan masih mengingatnya. Tapi aku sudah besar. Sudah jarang membeli permen. Dan rasa sesak ini, membuatku tak mampu untuk memakannya. Cintaku yang teramat besar, hanya dihargai dengan sekaleng permen. Aku kecewa, Awan. Sangat kecewa.
            Perlahan kubuka tutup kalengnya. Iseng, aku mengaduk-aduk puluhan permen berwarna-warni itu. Sampai aku menemukan ada satu bungkusan yang lain. Permen itu dibungkus dengan kertas. Tersimpan di dasar kaleng. Aku menariknya hati-hati. Bungkus itu agak besar, beda dengan permen-permen lainnya.
            Perlahan aku membuka lintingan ujungnya. Sebuah cincin perak terjatuh ke pangkuanku. Di kertas yang sudah ringsek itu, kubaca tulisan tangan Awan. Tulisan yang sudah sangat kuhafal.

Will you marry me?

Aku menganga. Astaga, Awan! Untuk hal seserius ini, dia masih sempat mempermainkanku! Air mata menetes satu-persatu. Segala perih yang kurasakan, menguap seketika. Hatiku terasa penuh, diisi bahagia yang tak bisa kujelaskan. Kaleng permen itu, kupeluk erat-erat.
***

            
READ MORE - Sekaleng Permen

Read Comments

Tentara dan Monyet

Percakapan itu menggali ingatanku. Percakapan di suatu malam. Malam persis seperti yang sudah-sudah. Yaitu ketika badan sudah terasa letih dan menuntut haknya untuk diistirahatkan. Lampu kamar sudah mati. Hanya ada cahaya bulan menerobos masuk dari dua jendela besar kamar kami di lantai dua yang sengaja tidak ditutupi tirai. Tinggal di desa yang halamannya adalah kebun dan gunung, membuat telingaku disapa suara-suara serangga malam.
“Iya, ada banyak sekali ceritanya.” Aku berujar pada suami yang tampaknya masih belum mau tertidur.
Suamiku tampak interest. Ia senang sekali dengan budaya Sunda. Termasuk dongeng-dongeng berbahasa Sunda. Tertarik bahkan pada dongeng sekelas dongeng dari Bapakku, yang entah dapat sumber darimana.
“contohnya?”
“Hmmm.. “ aku mengingat-ingat. Menggali sedikit-sedikit memori yang sudah terendapkan lama sekali.
“Si Bongkok dan Si Buta, Rusa dan kerbau yang tertukar kulit saat mandi, lalu masih ada Si Kabayan, Penganten yang... Ah lupa lagi.”
“Nanti minta Bapak ngedongeng buat cucunya, ya.”
Aku senyum tiga jari dalam gelap.
“Ah, ada dongeng yang masih kuingat dengan baik. Karena setiap diceritakan, aku menangis.”
“Tentang apa?”
“Tentara yang menikah dengan monyet.”
Lalu ia memintaku menceritakannya. Tapi aku tidak mau. Aku takut menangis lagi. Perasaan mellow dan amat mudah menangis ini rupanya sudah kupelihara sejak masih kecil. Ya, sungguh. Aku adalah orang yang amat mudah dibuat terharu. Baca buku yang sedih, nangis. Nonton film sekelas kuch-kuch hota hai, nangis. Dengar cerita/dongeng sedih, nangis. Liat orang nangis, rasanya ingin ikut nangis juga, hehe.
Akhirnya aku tergerak untuk menulis di sini. Aku akan ceritakan dongeng yang bersumber dari Bapakku, dan Bapakku bersumber dari entah. Dongeng saat aku masih belum bisa membaca dan masih amat kecilnya.
*
Cerita itu sederhana saja. Ada tentara yang terjun payung dan ternyata ianya malah tersangkut di hutan. Ia terjerat di pohon yang amat tinggi dan tidak bisa turun. Beberapa hari kemudian setelah ia putus asa, datanglah seekor monyet betina yang amat besar.
Tentara itu merasa takut. Namun ternyata monyet itu malah membawakan makanan dan minuman. Sang tentara pun tidak merasa takut lagi dan akhirnya berterima kasih.
Si tentara meminta bantuan monyet untuk membebaskannya dari pohon yang amat tinggi itu, namun si monyet tidak pernah mau membantu. Apa yang terjadi? Ternyata si monyet betina itu jatuh cinta pada si tentara. Si monyet mengungkapkan perasaannya.
Tentara itu jatuh cinta juga kah? Tentu saja tidak. Tapi si tentara merasa takut jika ia menolak cinta si monyet, dia akan dibiarkan dan tidak ada yang memberinya makanan. Akhirnya si tentara berpura-pura mencintai monyet itu. Sampai akhirnya mereka mempunyai anak. (aku selalu membayangkan bagaimana rupanya).
Setiap hari, si tentara meminta monyet untuk membawakannya kelapa. Monyet itu merasa heran mengapa si tentara  amat senang memakan kelapa. Diperhatikannya dari bekas kelapa itu si tentara membuat semacam tangga—atau tali---atau apa, saya lupa. Yang jelas nampak seperti tangga untuk turun. Tapi sayang, si monyet tidak cukup cerdas untuk membaca pikiran sang tentara.
Pernah monyet itu bertanya, apa yang sedang diperbuatnya dengan kelapa-kelapa itu. Sang tentara hanya menjawab ia sedang iseng dan monyet itu percaya dengan amat mudahnya. Waktu berlalu dan si tentara merasa sudah mempunyai peluang untuk kabur. Ia sudah sangat merindukan dunianya bersama manusia. Ia sudah muak tinggal dengan monyet dan juga anaknya yang mengerikan.
Suatu hari, sang tentara meminta monyet mengambilkan makanan yang amat jauh di hutan. Si monyet, seperti biasa, akan memenuhi permintaan sang tentara. Anak mereka tidur di pohon ketika itu. Setelah memastikan monyet itu pergi menjauh, sang tentara turun perlahan menuruni pohon. Ia tahu ada sungai tidak jauh dari hutan itu. Ia segera berlari menuju sungai itu.
Sesampainya di sungai, ia segera menaiki rakit yang juga telah disiapkan sebelumnya. Ia membuat perencanaan yang amat matang. Hingga tiba-tiba setelah beberapa kayuhan, ia mendengar si monyet betina memanggil-manggilnya dari tepi sungai.
“kembali...kembali.. kamu mau kemana?” monyet itu berlari-lari gelisah di pinggir sungai.
“maaf, aku harus kembali ke duniaku. Tempatku bukan di sini.” Jawab si tentara sambil berteriak.
Monyet itu merasa frustasi. Ia amat mencintai si tentara dan merasa takut sekali kehilangan.
“bagaimana dengan anakmu?” ia mencari ide agar si tentara mau kembali.
“aku tidak menyayanginya. Dia monyet sepertimu!”
Si monyet betina amatlah terluka hatinya. Dengan tanpa pikir panjang, ia merobek anaknya menjadi dua bagian. Satu dipegangnya, satu dilemparkan ke sungai.
“Bawa dia, dia anakmu. Biar sebagian untukku, dan sebagian untukmu.”
*
Sudah, selesai.
Garing?
Entahlah. Bisa jadi ceritanya memang garing. Atau bisa jadi, gaya bercerita Bapakku itu lebih seru dan dramatis dari gaya menulisku. Tapi aku selalu menangis setiap diperdengarkan dongeng itu. Yah, walaupun menangis sambil sembunyi-sembunyi karena aku malu jika ketahuan. Tidak tahu bagaimana kelanjutannya. Apakah si tentara pulang sambil membawa sebagian tubuh anaknya, atau dibiarkan terombang-ambing begitu saja.
Ya, pokoknya begitu lah intinya. Saat aku masih kecil, aku sudah menyadari cinta suci si monyet. Aku merasa tidak rela ia dibohongi manusia yang lebih pintar darinya. Aku merasa tidak rela monyet yang begitu tulus itu ditinggalkan. Tapi, di sisi lain, aku juga merasa kasihan pada tentara itu. Ia juga pasti merindukan keluarganya. Complicated, isn’t it?
Nah, untuk suamiku yang menanyakan cerita tentara dan monyet malam itu, inilah ceritanya. Tentu saja, dari awal sampai akhir diceritakan dengan bahasa sunda. Kamu tertarik menceritakannya kembali pada anakmu, Yang?
Hihi.. boleh sih. Tapi rasanya masih ada cerita Thariq Bin Ziyad, Ikrimah, Khalid Bin Walid, dan Salahudin Al-Ayubi deh. Mereka tentara yang jauuuuuh lebih baik.

So, selamat mengumpulkan cerita!

Lembang, 11 April 2014 
READ MORE - Tentara dan Monyet

Read Comments

Jangan Katakan, Sebuah Rahasia

#puisi lama

jangan katakan, sebuah rahasia
maret 2010

terbangun dari mimpi-mimpi panjang yang melelahkan
tersadar untuk luangkan waktu sejenak
sekedar untuk menengok hati
yang sudah lama tak ku cermati

sebuah nama kutemukan,
entah untuk kali yang keberapa
diam terselip diantara segala mimpi dan harapan
tanpa kusadari nama itu membangun tempatnya sendiri
dalam hatiku yang sudah sempit

nama yang tak kusadari mulai menjalar mengendalikan aliran darah
memasuki lingkar jantung berdetak
menghampiri otak yang satu.
namamu, ya namamu!

nama
yang akhirnya mampu membuka ruang sepi
beserta debu yang menebal tak terkendali

nama
yang tak akan kubiarkan mataku mencuri untuk melihatnya
atau sekedar mengintip dari celah
biarkan saja ia buta dalam tanya

nama
yang akan kusebutkan perlahan
takut telingaku mendengarnya
biarkan ia tuli dalam diam

nama
yang tidak akan pernah aku tuliskan
cemas tanganku ikut menghapal setiap lekuk huruf yang merangkainya

biarkan nama itu disana
kusimpan dalam do'a
terbawa dalam sujud pertama
mencul dalam bunga tidur tanpa sengaja

biarlah
karena dalam hatiku
dalam riang khayalku
kau dan aku ada

sempurna
READ MORE - Jangan Katakan, Sebuah Rahasia

Read Comments

Menjamu Senja

Aku tidak pernah suka senja, Sayang
Biru yang kutunggu ditiupnya menjadi jingga
Dengan tangan angkuhnya ia lukisi mega
Senja meraja

Biar aku berkawan malam
Ia anggun, pucat
Bercahaya redup di jalan-jalan
Di tiang-tiang
Di jendela-jendela, bersahutan
Malam menyimpan kelam di kantung-kantung hujan
Dengan wewanginya ia lubangi langit
Hingga menghitam

Biar hina
Biar tak suka
Aku tetap menjamu senja
Kuselipkan rona di pembatas halaman waktu
Biarkan senja tetap bertamu

Meski sudah kujamu
Tahukah kamu
Senja masih menghisap waktu
Karena aku masih menemu ajal
Dicemerlangnya matamu




Bandung. 13 mei 2012
READ MORE - Menjamu Senja

Read Comments

Sebagian yang Tertuliskan

Rasanya berdebar-debar. Untuk kemudian menuliskan sesuatu tentangmu. Tentangmu yang kelak akan kucintai, dan mencintaiku—semoga.
Rasanya jadi malu sendiri. menatap diri yang begitu tidak tahu apa-apa. Tapi sudah terlalu berani. Sudah berani mengharapkanmu. Sudah berani menunggu kehadiranmu. Apa jadinya nanti?
Usiamu 14 minggu kini. Aku tidak tahu apakah kamu baik-baik saja di dalam sana. apakah kamu nyaman. Apakah kamu sudah bisa merasakan dan mendengar?
Rasanya terlalu ajaib. Hingga aku kadang lupa. Ada mukjizat amat besar yang kini tumbuh. Dalam diriku.
***
Ternyata padamulah anakku kelak akan memanggil Ayah. Atau mungkin Abi? Abah? Rama?
Sayang, kukatakan kini. Aku bahagia menjadi istrimu. Menjadi orang yang pertama kali akan kau cari. Menjadi orang yang pertama kali akan kau bagi.
Mungkin aku bukan cinta pertamamu. Karena kamupun, bagiku adalah begitu. Tapi semoga aku dan kamu menjadi cinta terakhir, hingga cinta itu sendiri menjadi sesuatu yang tidak bisa terdefinisi.
***
Dan ternyata padakulah anakmu kelak akan memanggil Ibu. Atau mungkin Ummi?
Aku mungkin bukan perpustakaan dan sekolah pertama yang baik untuk anakmu kelak. Tapi, mungkin, sebisaku, akan kujadikan ia lebih sholih/sholihah dari Ayah dan Ibunya. Kalaulah aksi dan ucapanku tidak terlalu berpengaruh pada pembentukan pribadinya kelak, mungkin do’aku (dan kamu) akan menjadi senjata terakhir kita untuk menjadikannya pribadi yang baik. Tapi aku harap tidak begitu. Semoga kita bisa menjadi contoh yang baik untuknya kelak.
Tak terlalu banyak yang bisa kukatakan. Biarlah sebagian kutuliskan dan sebagian lagi kusimpan.
I love you.

Bandung, 9 April 2014
10:35
Hey, laptop putihku berlumuran tinta pemilu yang berasal dari kelingking :)






READ MORE - Sebagian yang Tertuliskan

Read Comments

Posting yang Amat Terlambat :D

Well, well, well... rasanya ingin sekali menargetkan bisa menulis. Jauh di dalam hati, saya mengakui saya senang sekali menulis. Tapi malasnya itu ya ampun... lama banget nget nget, baru bisa membuka laptop dengan niat “menulis”. Tentu saja bukan menulis RPP, soal formatif, atau laporan nilai. Menulis yang tidak ada tendensi apapun. Juga bukan menulis karena sedang galau atau sedih. Saya ingin sekali bisa berkomitmen untuk menulis. Tapi, ya sudahlah. Haha. Mudah-mudahan ke depannya saya bisa lebih rajin. aamiin. (dulu sempet niat banget nulisin laporan perjalan liburan Lembang-Bandung-Merak-Lampung-Banten-Jakarta-Bogor-Bandung-Lembang, tapi ya begitulah, terlalu dinanti-nanti sampai akhirnya semangat bercerita itu padam sendiri).

Kabar tulisanku kali ini mungkin akan mencakup beberapa kejadian, dari jeda tulisan-tulisan terakhir sampai sekarang. Mulai dari menikah, mengontrak yang kamarnya Cuma satu, pindah ke kontrakan yang kamarnya ada dua, sampai sekarang pindah lagi ke rumah sendiri. ahemm. Rumah mungil yang unik, bisa dibilang begitu. Yah, nanti kita lihat saja ceritanya.

Selain tentang rumah yang lumyan menguras tenaga, pikiran, waktu dan materi, juga ada perkembangan lain yang membuat keluarga kami begitu bahagia. Karena akhirnya, setelah menikah sekian lama—dan mulai BT kalau ada yang nanya, “udah isi belum?”—akhirnya bisa menjadi calon ibu. Rasanya percaya percaya tidak percaya. Bagaimana mungkin si saya yang masih menclak menclok tidak jelas ini bisa jadi seorang ibu—bagaimana bisa membesarkan anak?

Well, mungkin itu sebuah misteri dan anugerah yang amat besar. Perjalanan dari menikah sampai bisa hamil ini mungkin harus dijadikan satu post tersendiri. Yang jelas, akan menjadi makhluk yang amat berdosalah saya jika saya masih tidak mau bersyukur atas semua yang telah saya dapatkan.

Yah, mungkin begitu saja. Semoga dalam waktu dekat saya bisa segera bercerita. Menuangkan cerita-cerita yang sepertinya akan begitu panjang. Tentang liburan pertamaku yang begitu jauh meninggalkan pulau jawa, tentang bagaimana Allah mempermudah kami mempunyai rumah, (rumah saja pokoknya, mau segede kandang merpati atau segede kandang sapi, kami menyebutnya our sweet home), atau tentang proses menjadi ibu yang sedang kutapaki perlahan-lahan kini.

Alhamdulillahirabbil ‘alamiin. Terima kasih ya Rabb untuk nikmat hidup yang telah kau cecapkan padaku....
Masih berseragam sekolah
Cikole, 21 Februari 2014
15:34


READ MORE - Posting yang Amat Terlambat :D

Read Comments
 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men