ALIFAH


Image source: draxe.com

Namanya Alifah. Cantik bersahaja. Kulitnya pualam, rambutnya pekat malam. Tubuhnya elok serupa puisi, senyumnya memikat. Bibirnya cantik. Cantiknya bertambah-tambah sebab mulutnya lebih sering mengulang hafalan yang sudah lebih dari setengah kitab, daripada sekedar merapal kidung. Badannya langsing macam pelatih senam aerobik walaupun tak kentara, karena senantiasa tertutup baju longgar dan jilbab besar. Singkatnya, ia merupa bidadari dunia yang sering dibidik lelaki shalih. Namun kenyataannya, di usia tiga puluh tiga, ia masih juga sendiri. Belum ada sepasang buku nikah bertengger di laci lemari, tempatnya menyimpan berlembar-lembar ijazah dan surat penting lainnya.

Hari itu terik, kering. Debu-debu menunggangi angin dengan riang gembira. Panas yang menyisakan Alifah bersama dua botol air mineral. Satu botol kosong sempurna, satu lagi nasibnya hampir serupa. Alifah memilih untuk  mengoreksi soal di bangku taman tepat di bawah pohon rimbun. Tampak mulai dirambati kebosanan, kini mata kenarinya beralih dari tumpukan kertas, ke arah jam dua belas. Matanya terpaku pada gerombolan mahasiswa yang baru saja keluar dari kelasnya, murid-muridnya.

“Kamu naksir salah satu mahasiswa di kelasmu, Alifah?” Hanum, sahabatnya semenjak kuliah, menggoda Alifah demi melihat sahabatnya yang begitu fokus pada gerombolan mahasiswa tersebut.

Alifah hanya tersenyum kecut.

Hanum menyeruput jus mangga dinginnya. “Sudahlah, Alifah. Menyerah saja dengan mimpi muliamu itu. Masih banyak pintu menuju surga. Kalaupun kamu mau mencomot salah satu mahasiswa itu, aku yakin dia bakal mau. Kamu masih tampak seumuran mereka.”

“Well, well, well... Ibu Dosen Hanum yang terkenal galak di kampus kita mulai metode ceramah lagi pada temannya yang telat menikah ini.”  Alifah memutar bola matanya jengah.

Hanum terkikik. Lihatlah, sungguh ironi. Sejak kuliah, Alifahlah yang selalu menarik minat  ikhwan untuk mengkhitbahnya. Seorang cumlaude yang cantik jelita nan sholihah. Sedang Hanum? Ia hanyalah bayang-bayang hitam sahabatnya. Ia lebih sering ditanyai tentang Alifah dibandingkan tentang kehidupannya sendiri. Bayangan hitam, bukan hanya ilustrasi, tapi memang juga bayangan hitam secara harfiah. Dengan kasat mata, mungkin Hanum yang badannya gempal berisi dan kurang tinggi itulah yang lebih cocok menjadi perawan tua. Tapi siapalah yang mengetahui perjalanan takdir? Hanum yang tidak pernah mencolok kehadirannya malah diberi rizki  bisa menikah muda, dan sekarang dikaruniai tiga anak.

Ponsel Alifah bergetar. Ia memang tidak suka ponselnya mengeluarkan bebunyian. Keningnya berkerut. Muncul sederet angka yang tidak dikenali ponsel pintar miliknya.

“Assalamu’alaikum.” Sapa Alifah.

Entah apa yang dibicarakan di sebrang sana. Hanum melirik Alifah sebentar. Menerka pembicaraan yang sedang berlangsung di depannya. Alifah tampak tersipu. Tapi jelas ia bukan sedang bicara dengan laki-laki. Suara perempuan bisa terdengar oleh Hanum walau hanya sayup-sayup. Lantas mengapa Alifah harus salah tingkah dan tersipu macam itu?

Setelah sekita lima menit, Alifah menutup teleponnya. Masih tersenyum bahagia. Hanum dirundung beribu tanya. Apakah ada kabar bahagia? Tapi ia tidak berani bertanya, lihat saja, apakah Alifah akan bercerita?

“Jodohku sudah dekat, insya Allah.” Alifah memandang Hanum. Menjelaskan tanpa diminta.

“Benarkah? Wow, aku teramat bahagia. Tapi, tunggu, apakah laki-laki itu ... ?” Hanum membiarkan kalimatnya tergantung di udara.

“Yup. Sudah beristri. Mimpiku untuk menjadi istri kedua, masih tetap ada, Hanum. Dan semoga Allah memudahkan proses selanjutnya.” Alifah menyeruput lagi air mineral di botol keduanya yang nyaris kosong.

Hanum tertegun. Sungguh, ia yakin ada banyak jalan menuju surga. Mengapa sahabatnya begitu teguh pendirian, hanya ingin menikah dengan suami orang?

“Di dunia ini perbandingan perempuan dengan laki-laki sudah begitu jauh. Kalau semua perempuan ingin memonopoli laki-laki, bagaimana nasibnya yang tidak kebagian? Aku akan berbaik hati untuk mengalah.” Itu selalu menjadi jawaban andalan setiap kali Alifah ditanyai mengapa.

Di zaman serba egois ini, Alifah berbeda. Saat di sudut kota ada perempuan bunuh diri karena diselingkuhi pacar atau suaminya, ia malah ingin menobatkan diri menjadi yang kedua. Serupa ratu tanpa mahkota dalam bahtera rumah tangga. Saat setiap wanita saling sikut ingin menjadi permaisuri bagi rajanya, ia begitu keras hati ingin menjadi selir di kerajaannya kelak. Itulah, alasan mengapa selama ini tiap laki-laki yang bertitel single, ditolaknya.

"Siapa laki-laki itu, Alifah?" Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Hanum.

"Kamu mengenalnya, Hanum. Bahkan mengenal dengan sangat baik." Alifah tersenyum penuh arti.Hanum menarik napas berat. Bukan ia yang akan berbagi suami. Harusnya dadanya tidak perlu merasa sesak. Ya, seharusnya...


Bersambung...



#TantanganCerbung



READ MORE - ALIFAH

Read Comments
 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men