Si Bungsu

Dimuat Annida Online, 15 Mei 2013


Si Bungsu
Oleh: Fulki

Aku masih malas menyapanya, menyapa Ayah. Bagaimana mungkin Ayah bisa mempunyai pikiran untuk menikah lagi? Apa Ayah tidak sadar bahwa usianya sudah tak lagi muda? Aku bukan tipikal orang yang takut pada Ibu tiri atau sejenisnya. Tapi aku tidak rela jika Ayah menikah lagi, karena aku tidak mau ada orang yang menggantikan posisi Ibu. Aku sekarang kuliah semester dua. Sejak Ibu meninggal, aku sudah mencoba untuk mandiri. Aku memasak untuk Ayah, untuk Kakak-kakakku yang sudah lebih sibuk. Seminggu sekali aku mengantarkan pakaian mereka ke laundry. Pekerjaan rumah aku kerjakan semuanya. Aku usahakan mengurus rumah dengan sebaik-baiknya, karena aku benar-benar tidak mau Ayah menikah lagi.
            Beberapa bulan setelah Ibu tiada, aku meminta Ayah berjanji untuk tidak menikah lagi. Dan Beliau setuju. Tidak ada tanda-tanda Ayah hendak memperistri seseorang sampai bertahun-tahun setelahnya. Namun kedekatannya dengan tetangga sebelah yang baru pindah rumah itu, membuat janjinya terhisap. Aku tidak suka. Aku tidak suka!
*
Anak bungsuku itu duduk manis di depan laptopnya. Aku perhatikan, sekali-kali keningnya berkerut-kerut, lalu meledaklah tawanya. Suara yang terdengar dari laptop itu sungguh tidak familiar dengan telingaku. Entah bahasa Jepang, Korea, China, pokoknya aku tak tahu. Gadis bungsuku itu  tidak tahu aku memperhatikannya.
Aku beranjak, membuat langkah-langkah kecil ke dapur. Ingin rasanya membuatkan sesuatu untuknya. Mungkin pisang goreng, mungkin tempe goreng, atau hanya segelas teh pahit kesukaannya. Sebagai seorang Ayah yang tidak lihai dengan peralatan dapur, aku perlu usaha ekstra untuk memasak.
Saat pekerjaanku selesai, tawanya yang renyah masih terdengar dari ruangan tempatnya duduk. Namun ketika kudekati, ia langsung diam. Memasang wajah masam.
“Vili, Ayah buatkan minum dan sedikit makanan.”
Dia hanya mengangguk, tanpa menyentuh nampan yang kubawa. Tanpa memandangku. Aku merasa serba salah dan tidak nyaman. Sepertinya, sekarang memang bukan saatnya untuk dibicarakan.
*
Hujan masih enggan berhenti. Untung saja tidak ada  kilat yang menyambar. Aku melambatkan laju sepeda motorku. Jalanan desa yang licin sangat memungkinkan motorku terjungkal kapan saja. Jas hujan biru usangku sudah tak fit lagi menahan derasnya air. Pasti bajuku ikut basah, pikirku dalam hati.
Kuparkirkan motor bebek itu di depan rumah kecil yang asri. Seorang perempuan berjilbab tampak sedang asyik membersihkan lantai teras rumahnya yang kebasahan. Melihatku datang, ia segera menghentikan aktivitas. Berlari membukakan pagar, berbasah-basah.
“Ayah, kenapa datang sekarang, tidak menunggu dulu sampai hujannya reda?” dengan cekatan ia segera menyiapkan segalanya untukku. Mengambil jas hujan basah dari tanganku, menyodorkan segelas kopi panas, handuk, lengkap dengan baju ganti. Itu pasti baju suaminya. Ia berteriak memanggil anak-anaknya, yang praktis merangkap cucu-cucuku.
“Kakak, Adik, ayo kemari...  Ada Kakek datang!”
“Kakeeek!” bocah-bocah yang dipanggil itu berlompatan dari penjuru rumah secara tiba-tiba. Mereka berebut mencium tanganku. Serentetan pertanyaan memburu. Bocah itu menggelayuti lengan kanan-kiriku. Membuatku merasa menjadi orang yang paling bahagia bahkan saat kedinginan dan tidak punya apa-apa seperti sekarang.
Tapi itu tidak berlangsung lama. Seperti saat datang, mereka juga pergi dengan tiba-tiba. Mungkin melanjutkan permainan yang baru setengahnya mereka lalui. Mungkin kembali menonton animasi-animasi di TV. Lalu tersisalah aku dengan anak sulungku di ruang kecil yang terasa hangat ini.
“Bagaimana, Yah? Sudah bicara dengan Vili?” mata berbingkai kaca itu menatapku penuh rasa ingin tahu.
“Belum, Ren. Rasanya sulit sekali bicara padanya.”
Rena menatapku lama. Mungkin ia sedang menyusun kata dalam benaknya. Agar tak menyakiti hati tuaku.
Perlahan ia berkata, “Maaf, Yah. Tapi Rena sudah bicara pada Vili. Reaksinya... Seperti yang kita duga, tidak begitu baik. Ia bilang tidak akan percaya, sampai Ayah bicara sendiri padanya.”
“Bagaimana dengan yang lain? Zahra? Salwa?” Aku balas menatap Rena. Ada harapan, ada kecemasan. Mungkin hal itu terlalu kentara, tersirat di mataku. Anak sulungku ini memang anak yang paling dewasa, paling bisa menjadi tempatku mencurahkan segala hal. Tempatku menjembatani komunikasi dengan tiga anak lainnya. Yang kesemuanya perempuan.
Rena tersenyum dikulum. “Ayah adalah orang tua kami. Kenapa Ayah tampak takut untuk berbicara dengan kami? Rena sudah membicarakan hal ini dengan adik-adik. Dan dua dari tiga adik Rena, sudah setuju Ayah menikah lagi.”
Aku menarik napas lega. Seorang duda yang tak lagi muda, dengan empat orang anak perempuan, kadang rasanya sangat sulit menjalani kehidupan seperti itu. Aku yang satu-satunya lak-laki kerap merasa terasing di rumah sendiri. keempat gadisku tampak asyik membicarakan sesuatu, dan aku tak pernah bisa benar-benar masuk ke dalamnya. Andai istriku tidak meninggalkan keluarga kami secepat itu, mungkin keadaannya akan sedikit berbeda.
“Rena, Zahra, dan Salwa, sudah setuju Ayah menikah lagi. Kami senang jika pada akhirnya akan ada yang kembali menemani Ayah. Apalagi sekarang Ayah hanya tinggal berdua dengan Vili. Kami juga khawatir jika pada akhirnya Vili bekerja di luar kota seperti Zahra dan Salwa, atau tiba-tiba menikah, bagaimana dengan Ayah? Menikah lagi bukan sebuah kesalahan, Yah. Apalagi Ayah sudah lama hidup sendiri. Ayah juga belum terlalu tua. Masih ganteng dan gagah.”
Kalimat panjangnya diakhiri dengan guyonan seperti biasa.
“Ayah bukannya takut untuk bicara, Nak. Ayah hanya... malu. Apa kata orang-orang? Ayah sudah tua.” Ujarku pelan.
Rena hanya tersenyum. “Ayah belum tua. Sudah kubilang, Ayah masih gagah dan ganteng. Kalaupun ada yang berkata Ayah sudah terlalu tua untuk menikah lagi, katakan saja, orang tua juga butuh kasih sayang.”
Aku tertawa menanggapi guyonan Rena. Tapi tetap saja, rasa itu masih ada. Rasa malu, yang semakin besar saat aku membicarakannya. Benarkah usia 46 tahun tidak terlalu tua untuk menikah lagi? Jika anak bungsuku saja sulit menerima, bagaimana dengan keluarga besarku? Bagaimana dengan rekan kerjaku? Bagaimana dengan tetangga-tetanggaku?
“Ayah tahu kan yang diberitakan di TV? Tidak sedikit orang-orang itu diberitakan menikah di bawah tangan, atau bahkan selingkuh dibelakang isterinya. Padahal usianya diatas Ayah. Sudahlah Yah, disegerakan saja. Menikah itu ibadah. Dan calon Ibu yang Ayah pilih, Rena juga kenal baik.  Jangan ragu lagi. Kalau Vili belum bisa menerima, biarkan saja. Ia hanya anak-anak yang belum cukup dewasa untuk mengerti.”
*
           
            Beberapa hari setelah kepulanganku dari rumah Rena, Vili semakin menghindariku. Matanya kudapati kadang-kadang terlihat sembab. Apakah ia menangis gara-gara aku? Aku belum sempat berbicara langsung dengannya. Entah kenapa, padahal tiga anak perempuanku yang lain, sudah mengetahui keinginanku, pun sudah mendukungnya. Tapi anak bungsu yang satu atap denganku ini, rasanya malah yang paling sulit kudapatkan dukungannya.
            Dari kecil, Vili memang anak yang paling dekat dengan Ibunya. Saat Ibunya meninggal, ia yang masih kelas tiga SMP adalah yang paling histeris. Berbulan-bulan ia murung. Sempat tidak masuk sekolah karena sakit. Aku sangat khawatir ia melakukan hal-hal yang tidak perlu saat Ibunya meninggal. Mungkin karena itu, ia sulit memberiku izin untuk menikah. Tapi bukankah semuanya memang harus dibicarakan?
            “Vili mau bicara.” Ujarnya tiba-tiba.
            Aku mendadak diam. Setelah sekian lama terasa sulit untuk membuat kesempatan bicara, akhirnya ia yang mencoba untuk memulai.
            “Ya?” aku menjawab sewajar mungkin.
            “Kak Rena bilang, Ayah mau menikah lagi, benar?” ucapannya terbata. Ia pasti memberanikan diri untuk bertanya secara lugas. Sudut matanya berair. Bibirnya gemetar. Hatiku mencelos. Tak tega rasanya aku menciptakan suasana yang tidak nyaman seperti itu.
            Melihatnya menangis, aku jadi teringat wajah almarhumah isteriku saat menangis. Rupanya sama persis. Ketiga kakaknya mewarisi rupaku, sedang si bungsu mirip sekali Ibunya. Melihat ia menangis seperti itu, aku merasa seperti isteriku yang bertanya. Seperti isteriku yang berbicara.
            “Kamu tidak setuju, Nak?” Entah mengapa hanya kalimat sependek yang keluar dari mulutku.
            Ia menggeleng. Menggeleng kuat-kuat. Air matanya kini menuruni sudut matanya.
            “Vili tidak mau ada yang menggantikan Ibu. Orang asing. Yang akan tidur di kamar Ibu. Yang akan memasak di dapur Ibu. Yang juga menggantikan posisi Ibu di hati Bapak. Di hati kita semua.”
            Ia terisak semakin menjadi. Rasa rindu pada isteriku kini membesar. Aku ikut menangis. Mungkin aku seorang Ayah yang tidak cukup baik untuk puteri-puteriku. Kutatap anak bungsuku itu penuh kasih.
            “Maafkan Ayah, Vili....” Aku mengusap kepalanya pelan, lalu beranjak. Aku tinggalkan Vili sendiri. Biar ia bisa menangis puas. Biar ia bisa lega. Biar ia bisa nyaman. Dan aku merasakan hal yang sama.
            Entah mulai kapan persisnya, saat aku merasa rumah ini terlalu lapang untukku dan Vili. Ketika akan tidur di malam hari, rasanya tiba-tiba merindukan sosok perempuan yang akan membangunkanku esok paginya. Aku merindukan pandangan sayang dari seorang isteri. Aku ingin shalat berjama’ah dengan isteri. Seperti kata Rena, aku juga mengkhawatirkan masa tuaku. Bagaimana jika akhirnya Vili tak lagi mengurusiku? Dia pergi seperti kakak-kakaknya, Salwa dan Zahra?
            Malam beranjak perlahan. Menyeretku dalam detik-detik yang penuh dengan kebimbangan. Aku sungguh ingin menikah lagi. Tapi mana mungkin aku menikah tanpa restu anak bungsuku?
*
            Jilbab merah jambu yang kukenakan kini basah sempurna. Aku memutuskan untuk berteduh. Duduk di shelter bus. Hujan membasahi atap halte. Beberapa bagian yang berlubang meneruskan hujan sampai ke tempatku berpijak. Membasahi kursi, membasahi tanah.
Pikiranku masih mengawang pada kejadian beberapa hari yang lalu. Aku hendak membicarakan penolakan pernikahan Ayah dengan Kak Rena. Aku berharap Kak Rena bisa mengerti. Namun ternyata, yang aku dapat hanyalah bentakan. Dibilangnya aku keras kepala. Dibilangnya nanti jika aku bekerja jauh dari rumah, atau menikah, siapa yang mengurus Ayah?
Memangnya siapa yang mau pergi keluar kota? Siapa yang mau menikah cepat-cepat? Aku bisa saja mensyaratkan calon suamiku kelak, untuk tetap tinggal bersama Ayah. Gampang kan?
Hujan ini, rasanya seperti ingin memadamkan bara api di ruang-ruang hatiku. Ya, hatiku yang memanas. Dikatakan Kak Rena lagi, bahwa aku amat kekanakan. Dibilangnya aku hanya mementingkan perasaan sendiri. Padahal aku hanya ingin Ibu tetap di hati kami seperti sekarang. Mengapa tidak ada yang mau mengerti?
            Penjelasan panjang lebar Kak Zahra di telepon juga tidak cukup untuk meyakinkanku. Katanya, Ayah menikah lagi, bukan berarti melupakan Ibu. Bukan berarti ada yang menggantikan Ibu. Entahlah...
            Aku hanya bisa menengadah. Mencari jawaban yang mungkin terpeta di langit. Aku rindu sekali pada Ibu. Apakah Ibu akan rela Ayah berbagi lagi cintanya pada wanita selain dirinya? Apakah nama ibu tidak akan semakin memudar di rumah? Apa benar aku hanya mementingkan ego sendiri? Apa benar aku tidak memikirkan perasaan Ayah?  Tapi, Ayah kan sudah punya aku yang mengurusnya? Ah, hatiku berkecamuk.
“Maaf Teh, ikut berteduh, ya.” Seorang lelaki tua membuyarkan lamunanku. Aku menatapnya. Memperkirakan, sepertinya usia laki-laki itu lebih tua beberapa tahun dari Ayah. Aku jadi teringat Ayah. Apa Ayah juga punya rambut putih sebanyak laki-laki ini, ya?
Laki-laki itu memarkirkan motor bebek yang tak kalah tua dengan usianya. Lalu, seorang perempuan, yang juga tua, tampak mengikuti si lelaki. Kutebak, mereka pasangan suami isteri.
Bu, calik heula didieu. Ngantosan hujanna alit heula 1 Ujarnya lembut. Kursi plastik yang ditunjuk Si Bapak itu sebenarnya basah, terkena cipratan hujan. Namun ia segera membersihkan kursi itu, dengan tangannya.
Lelaki itu menatap isterinya sebentar. Dengan pandangan yang membuatku bernapas tertahan. Padangannya begitu... damai. Sepersekian detik saja, dan lelaki itu berdiri menjauh, menatap jalanan lengang yang basah. Memunggungi kami yang duduk di shelter kecil nan kotor. Aku menoleh pada si Ibu tua. Tampak ia memandangi punggung suaminya. Dengan tatapan yang penuh cinta. Mereka tak berkata. Mereka tak bicara. Tapi aku tahu mereka saling mencinta. Mereka saling menjaga.
Tanpa terasa air mataku merebak menyaksikan hal sederhana itu. Aku teringat Ayah.  Kapan terakhir kali Ayah memiliki sorot mata setenang lelaki tadi? Aku mungkin memang mengurusnya dengan baik. Tapi cinta yang kuberikan, tentu saja beda dengan cinta seorang isteri pada suaminya.
Mungkin aku berdosa padanya. Sudah dua bulan aku bersikap amat dingin padanya. Namun Ayah tetap bersikap lembut padaku. Tetap tersenyum ramah. Mengajakku mengobrol seolah-olah tidak menyadari perang dingin yang kukobarkan. Tidak pernah sedikitpun Beliau mengucapkan kata-kata menikah, seakan sama sekali lupa dengan niatnya.
Kemudian ada keinginan mendesak yang bertalu-talu. Dari hati, merambat turun ke kaki. Membuatku refleks berlari. Menerobos hujan. Mencari pangkalan ojeg yang tidak terlalu jauh dari situ. Aku ingin secepatnya menuju Ayah. Aku ingin Ayah memiliki sorot mata lelaki itu, yang memancarkan kedamaian, dan merasa segalanya telah cukup. Sorot mata itu, yang dulu mungkin sempat Ayah miliki, bertahun yang lalu.
***
1Bu, calik heula didieu. Ngantosan hujan alit heula: Bu, duduk dulu di sini. Tunggu hujannya agak reda.


READ MORE - Si Bungsu

Read Comments

Yang Mereka Sebut Kerendahan Hati


Kalau engkau tak mampu menjadi beringin yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, yang tumbuh di tepi danau

Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar, jadilah saja rumput,
Tetapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan

Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya, jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang membawa orang ke mata air

Tidaklah semua menjadi kapten, tentu harus ada awak kapalnya

Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu

Jadilah saja dirimu

Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri

(Taufiq Ismail – Kerendahan Hati)

            Puisi itu sudah saya baca berkali-kali, karena puisi itu ada di belakang buku penghubung di sekolah. Buku yang mengabarkan aktivitas anak setiap hari kepada orang tuanya. Dan saya, hari ini tiba-tiba merasa puisi itu memiliki bobot lebih, mengandung makna yang semakin dalam, manakala saya memang merasa saya tidak bisa menjadi seorang kapten—pun masih terseok-seok sebagai awak kapal.
            Lagi, katanya jangan pernah menyalahkan siapapun. Kenapa  hujan  datangnya dari awan. Kenapa gajah mempunyai gading. Kenapa jari kelingking lebih kecil dari jari  telunjuk. Semuanya mungkin mengandung harmoni. Yang jika hilang salah satunya, akan membuat dunia  ini tak lagi asyik.
            Mungkin Anda pernah mendengar, “apa yang akan terjadi  jika di dunia ini hujan uang?” sebuah lelucon yang sering diputar ulang. Saya mendapat pertanyaan itu sudah amat lama, mungkin saat saya masih berponi dan memakai seragam merah putih.
Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menemukan jawabannya. Karena sudah pasti saya akan senang. Saya akan membeli cokelat, permen, es krim, sebanyak yang saya mau. Saya juga mau berikan uang kepada orang tua saya, untuk membeli ini dan itu.
            Lalu pertanyaan kedua dari lelucon itu adalah, “memangnya siapa yang mau jual cokelat? Es krim? Kan pedangangnya juga sudah punya uang banyak. mereka tidak perlu kerja lagi.” Tiba-tiba saya terdiam. Lalu pikiran saya berlari ke pasar yang kadang saya datangi bersama Ibu saya. Saya ingat tukang majalah bekas—tempat saya membeli majalah bobo yang sudah usang dengan harga murah. Saya ingat tukang kangkung, sayuran favorit saya. Saya ingat tukang jepit rambut yang membuat saya selalu berhenti sejenak dan merengek pada Ibu, minta dibelikan model baru.
            Oh, iya ya? Kalau semua orang jadi kaya, siapa yang mau gantikan mereka jualan?
            Dari situ, mungkin ada nilai-nilai filosofis yang ditanamkan. Ada pembelajaran yang tidak disadari masuk ke dalam hati saya. Yang mungkin baru saya sadari setelah saya sebesar ini. Bahwa Allah, telah merancang kehidupan sedemikian rupa untuk mengindahkan dunia yang diciptakan-Nya. Banyak orang kaya, banyak juga yang kurang kaya. Yang cantik, dan kurang cantik. Yang pintar, dan kurang pintar. Yang putih, dan kurang putih.
            Esensinya adalah, bagaimana mungkin kita merasa lebih dari orang lain, sedang orang lain itu adalah indikator dari kelebihan yang kita miliki. Katakanlah saya kaya. Kenapa saya harus menghina orang miskin? Sedang saya dikatakan kaya, karena ada orang-orang miskin.  Atau contoh lain yang memang hanya berisikan antonim-antonim yang saru.
            Sekali lagi, dunia ini butuh penghuni yang akan meramaikan. Dunia ini butuh “letupan-letupan kecil” yang sengaja dirancang oleh-Nya agar lebih ramai. Tidak semua orang harus jadi kapten. Tidak semua orang harus jadi presiden direktur. Tidak semua orang harus pintar. Kita dilahirkan sudah sepaket dengan segala watak, dengan segala sifat, dengan segala aksesoris yang telah dipatenkan oleh buku-Nya.
            Tugas kita selanjutnya adalah, bagaimana kita bisa memaksimalkan “jatah” yang telah diberikan itu. Bagaimana kita bisa mengoptimalkan modal yang dipinjamkan pada kita sebelum  Sang Pemberi Modal, mengambil kembali semua titipannya.
            Saya adalah orang yang tidak bisa menjadi beringin di puncak bukit. Saya mungkin juga bukan belukar di tepi danau. Atau rumput yang memperkuat tanggul. Bukan pula jalan kecil yang membawa orang kepada mata air.
            Saya hanya seorang perempuan, sulung  yang mempunyai adik yang baik, orang tua yang luar biasa. InsyaAllah seorang calon istri, seorang calon ibu, seorang guru, merangkap seorang murid. Saya yang ingin memperbaiki diri. Yang ingin belajar, yang ingin berjalan, dan berlari bersama, menuju suatu proses pendewasaan, yang memang tidak mudah. Anda mau berjalan dan berlari, sekali lagi, bersama saya?
            Although they plan, Alloh also plans.And Alloh is the best of planners.(Q.S Al-anfal:30)
READ MORE - Yang Mereka Sebut Kerendahan Hati

Read Comments

When I'm Telling About Me to Myself


Dari dulu, sebab akibat sebagai makhluk sosial sudah digembar-gemborkan. Tidak bisa hidup tanpa orang lain. Tapi kadang, ada orang lain yang membuat kita benar-benar merasa tidak nyaman. Saya orang yang sensitif, amat mudah tersinggung, peka, penakut, dan lain sebagainya. Mungkin kalau saya membuka google dan mengetik kata “ciri-ciri orang melankolis-plegmatis” saya akan menemukan sederet sifat yang “gue banget”—itu kalau kata ABG.
Susah memang, menjadi orang yang mudah tersinggung, mudah menangis. Saya kadang iri dengan orang yang bisa ceplas ceplos, pada orang yang bisa bergaul dengan mudah, adaptasi dengan teramat cepat... karena saya benar-benar bukan tipe orang yang seperti itu. Tapi, lagi-lagi Alloh itu maha adil. Dengan sifat seperti itu, tentu saya juga punya keuntungan. Saya kerap memikirkan perasaan orang, cepat menyadari situasi. Juga cepat menyadari perubahan yang terjadi. Kalaulah ada orang yang sedang marah, kesal, atau senang, biasanya saya segera tahu.
Kembali ke masalah makhluk sosial. Orang seperti saya, ketika dihadapkan dengan kondisi yang harus berinteraksi dengan banyak orang, beragam karakter, biasanya sudah malas duluan. Kalaulah ada sekelompok orang bergerombol di suatu tempat, saya hendak lewat, saya akan memilih jalan memutar—yang lebih sepi.
Seperti itu juga saya menjalani hidup. Saya lebih senang menghindari sesuatu, cenderung tidak mau terlibat orang banyak... satu penyakit sosial yang harus diberantas lekas-lekas. Dan ketika saya harus memberikan semangat kepada orang lain, yang mungkin tingkat ke”plegmatis-melankolis”annya lebih tinggi dari saya... itu membuat beban saya lebih berat lagi. Bagaimana bisa? Logikanya, saya orang yang masih belajar jalan, tapi sudah harus menggendong. Berat, amat berat.
Tapi itu pembelajaran namanya. Dengan hal itu, mungkin bisa membuat saya lebih cepat belajar berjalan. Membuat saya harus lebih semangat mengejar ketertinggalan. Membuat saya, membuat saya, membuat saya. Hal ini bisa membuat saya enggan belajar, menyerah sepasrah-pasrahnya. Atau pilihan lain, membuat saya belajar lebih banyak, lebih lama melihat, lebih lama mendengar, lebih banyak berpikir...yang tentunya akan amat sulit.
Saya hanya ingin berbagi. Tentang beban yang kini ada di pundak saya. Tentang sesuatu yang tampaknya sedikit mengganggu hari-hari saya. Si anti sosial yang kelewat sensitif. Tapi, lagi-lagi saya harus memotivasi diri. Jika bukan saya yang membuat nyaman hidup saya sendiri, lalu siapa? Bukankah rasa takut, rasa tidak percaya diri, dan tektek bengek si melankolis-plegmatis itu, bukan pesanan saya pada Allah?
Seandainya bisa memesan, dulu sebelum lahir, mungkin saya akan pesan karakter yang kuat, keimanan yang kokoh, hati yang bersih, fisik menarik, kekayaan melimpah plus barokah. Saya yakin saya akan memesan hal-hal sejenis itu. Tapi karena saya dilahirkan seperti ini, titik ridha Allah pada saya seperti ini, maka ini saatnya untuk mengoptimalkan. Saya bicara optimal, bukan lagi bicara di ranah maksimal.
Hmmm... Ada jeda sekian menit dari penulisan paragraf ini, dengan paragraf sebelumnya. Ada kelegaan yang mengalir. Ada beban yang dikeluarkan sedikit demi sedikit. Itulah mengapa saya suka menulis. Segalanya terasa lebih ringan sekarang. Biarlah cerpen saya tak berkembang lagi, biarlah buku saya tak bertambah lagi. Biarlah blog saya mati suri. Tapi dengan menulis, minimal saya bisa lebih berdamai dengan diri sendiri. minimal saya lebih mencintai hidup, dengan berbagai macam hiasan di dalamnya. Yang paling penting, mudah-mudahan dengan menulis, saya bisa lebih dekat dengan-Nya.

Saatnya mengedikkan bahu dan terus menjalani hidup. 
Saya bukan tidak peduli, tapi saya menikmati.
Ada yang mau ikut berlari?




READ MORE - When I'm Telling About Me to Myself

Read Comments

Untukmu: Yang Bernapas Hari Ini



Mungkin bilangan bulan sudah tak lagi muat di jemarimu. Saat segala proses menua, hingga tak mudah lagi kau temukan ujungnya. Mungkin buram, mungkin kusam. Tapi sudah layak waktu yang kau nantikan.
Ketika jemariku sudah enggan menulis sesuatu, kadang kamu melecutnya. Tapi mungkin lecutan-lecutan itu tidak cukup kuat untuk menggerakkan roda kemalasan. Tapi hari ini, setelah satu tulisanku selesai,  dan sepertinya aku masih harus menuliskan sesuatu, untukmu yang bernapas hari ini.
Tadi pagi (aku rasa kamu masih mau mendengar cerita-cerita remeh tentang hidupku) di perjalanan sekian belas kilometer yang kusesap setiap pagi dan petang, aku menemukan sesuatu yang istimewa. Membuatku ingin terhenti sejenak. Namun air hujan masih menampar-nampar, tidak mengizinkanku berhenti walau untuk sebentar. Di sebelah kanan sana, aku melihat awan gelap bergulung-gulung. Namun yang tidak biasa, di tengah-tengah awan gelap itu, ada sebagian kecil langit yang tidak berawan. Benar-benar bersih, terang. Ada cahaya menyusup diantaranya. Satu lagi paradoks, bila boleh kubilang begitu.
Cahaya itu jatuh memandikan gundukan-gundukan tanah di bawahnya. Tanah yang dari kejauhan nampak seperti lukisan. Beberapa rumah terlihat dari tempatku menatap saat itu. Warnanya keemasan. Rasanya aku cukup beruntung menyaksikan momen indah seperti itu.
Untukmu yang bernapas hari ini, sudah kudengar bisikanmu beribu jam yang lalu, bahwa kamu meminta izin agar bisa menjadi bagian dari diriku—mata. Masih ingatkah saat kamu berkata, “let me be your eyes.” Saat kamu berkesempatan menikmati suguhan indah alam, dan aku hanya bisa menatap empat dinding di kamar rumah. Kamu bilang biar kamu saja yang lihat, dan biar kamu menjadi mataku, sehingga walau aku masih di rumah, aku bisa tetap melihat keindahan alam yang kamu cecap.
Entah berapa banyak kata darimu yang ingin aku rekam dan simpan di otak kanan. Tapi sungguh, kata itu yang tersimpan paling baik di kepalaku. Kau tahu mengapa?
Hari ini, mungkin aku merusak harimu. Entah kamu yang merusak hariku. Seperti yang sudah-sudah. Kadang kita terlihat seperti minyak dan air dalam beberapa hal. Entah aku atau kamu yang keras kepala. Mungkin dua-duanya. Kadang orang dengan golongan darah sama memiliki kepribadian yang nyaris sama dalam berbagai hal. Tapi ternyata, itu saja tidak cukup bagi kita untuk saling mengerti.
Jika usia seseorang dihitung sejak tanggal kelahirannya, maka berubah lagi usia yang kamu miliki. Sudah tidak termasuk remaja lagi, mungkin. Tapi aku berjanji, hidupmu tidak akan jauh berbeda. Apalah beda hari ini dan kemarin. Nikmati hidupmu. Isilah lembar-lembar putih buku hidupmu dengan segala yang bertitel kebaikan. Karena dengan kebaikan, maka hidupmu menjadi baik. Kamu memang manusia paradoks, sudah kubilang. Kamu bisa sangat berani untuk satu hal, melebihi tingkat keberanian orang lain. Tapi kadang kamu begitu takut menghadapi sesuatu yang menurut orang lain bukan apa-apa. Tapi itulah kamu. Dan aku menyukai sifatmu yang seperti itu. Jangan khawatir. Keberanianmu itu, pakailah untuk melindungi orang lain. Dan ketakutanmu, biarlah Tuhan, dan orang lain yang ada di sekitarmu ,menjadi penenang bagimu.
Hari ini, kita tidak bicara banyak. dan aku sama sekali tidak ingat dengan hari ini. Mungkin karena ada tanggal yang lebih sering kupikirkan akhir-akhir ini. Tapi itu bukan sebuah excuse untuk membenarkan sebuah kesalahan. Kamu muslim. Yang berkata, “kita bukan orang urban yang harus mengingat dan memperingati ulang tahun.” Tapi rasanya tetap tidak adil, jika hari ini, aku yang begitu lupa—dan tidak hanya lupa,malah menjadi minyak dalam airmu—tidak lekas minta maaf dan mendo’akanmu hari ini.
Aku sudah tahu banyak tentang mimpimu. Jadi rasanya tidak perlu kudikte satu demi satu. Hanya sebuah do’a semoga segalanya dimudahkan untukmu, “Allahumma yassir wa laa tu’assir.” Semoga kisah minyak dan air hari ini, segera selesai, secepat yang sudah-sudah...

Di ruang kamar yang tak lagi berdinding merah,
 3 Mei 2013
19:31





READ MORE - Untukmu: Yang Bernapas Hari Ini

Read Comments
 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men