I'm not the Lucky One

Images by google

IUD!!!
Hahaha, banyak banget blog yang ngasih review tentang pemasangan IUD. Dan saya akan menceburkan diri ke dalam salah satunya.
.
Kenapa IUD?
Karena dua jagoan saya masih kecil. Kami bermaksud untuk memberi jarak untuk (insyaallaah) anak ketiga nanti.
Saya jenis emak-emak korban google. Apa-apa browsing. Tak heran lah saya cariiii info sebanyak-banyaknya tentang kabe.
.
Garis besarnya siih seperti yang sudah beredar secara umum, ada pil, suntik, implan, dan IUD. Berbekal ilmu dari google dan sharing teman-teman, saya akhirnya memutuskan untuk pakai IUD.
.
Saya bukan tipe yang cermat minum obat (mengingat obat dari bidan aja lupa mulu, kadang sampai kunjungan berikutnya, obat masih utuh).
Saya juga gak doyan disuntik. Implan? Big no, saya tidak mau lengan saya disayat.
Baik, berbekal dengan ngumpulin nyali sedikit demi sedikit, akhirnya pagi tadi saya pergi ke puskesmas tempat rujukan BPJS saya aktif.
.
Setelah mengantri satu jam di pendaftaran, akhirnya saya masuk juga ke ruang bidan. Dagdigdugder dimulai dari baru melihat wajah bidan.. #ea.
Apalagi melihat tempat tidur yang ada penyangga kakinya. (Itu belum liat alatnya udah stress kek gitu, payah.. Haha)
.
Begini kira-kira percakapan saya dengan ibu bidan. S (saya), B (bidan).
B : mau kabe bu?
S : iya, saya mau pasang iud (glek! Mulai muncul keringet dingin)
B : Oh, ya. Saya siapkan dulu.
.
Lalu saya duduk sambil ngisi formulir persetujuan, Agra ditidurkan. Setelah selesai mengisi form, saya memperhatikan Bu Bidan yang membuka lemari besi. Mengeluarkan peralatan.
.
Alamakjan!
Peralatannya itu, lho, bikin saya mau nangis. Sampai gak tega buat disertakan di sini gambarnya, hahaha. (Kasian kalau-kalau ada pembaca yang mau pasang IUD)
Saya menguat-nguatkan kaki untuk tetap stay di situ. Suer, rasanya pengin pulang.
.
Dan singkat kata setelah peralatan itu disterilkan, bu bidan siap. Saya pindah ke kasur pesakitan.
B : tahan ya bu, tarik napas. (Si cocor bebek masuk membuka mulut rahim, ada bunyi ngek ngek yang ngilu di telinga)
Saya tenang-tenang aja. Memang rasanya mulas, tapi itsoke. Gak ada apa-apanya dibanding kontraksi melahirkan.
Etapi, kok lama ya, gak selesai-selesai? Bu bidan ngapain aja.. Saya membatin. Katanya pasang IUD gak sampe lima menit?
.
Setelah gatau berapa menit (rasanya lamaaa) bu bidan masih tampak bingung.
B : bu, kemarin secar?
S : engga bu, dua duanya normal anak saya mah.
B : kok mulut rahimnya gini ya, uterusnya juga miring ke atas.
S : (glek! Saya speechless, jendraal... tambah kepengen pulang)
B : bentar ya bu.
.
Si saya ditinggalin begitu aja. Beberapa menit kemudian si bu bidan datang lagi, bawa temennya.
Temennya ikut nguwel-nguwel.
.
Yasalam!
S : (udah mulai nyadar ada yang ga beres) bu, kalau gak bisa pasang, gapapa, saya pulang aja.
B : ih gak apa-apa kok bu, sebentar ya. (Diskusi lagi ama temennya pake bahasa planet)
B1 ke B2 : ini ante gitu yaa? 5 apa 6? 6 kayaknya ya. Duh, gak tega nih nyapitnya, rata banget. Tuh, sedikit aja dah langsung rembes.
.
Hah?
Mereka ngomong apa? Yang rembes apaan? Darah? Kayaknya iya, sakit banget soalnya!
Lalu hening. Berdua asyik di bawah sana. Dan saya asyik menahan mulas, dan stress berat.
.
.
.
Begitulah,.beberapa menit yang menyiksa.
But its already done now!
Alhamdulillah. Legaaa. Yah, sekarang sih perut agak keram, tapi so far so good lah ya. Ga buruk-buruk amat sih pasang IUD. (Apalagi jika mulut rahim anda normal).
.
Maap ya, post begini bukan nakut-nakutin. Hanya berbagi. Bahwa tidak semua yang pasang IUD gak kerasa apa-apa. Jika anda memang termasuk golongan yang tidak merasa apa-apa, congrats then! I'm not the lucky one  (nangis di pojokan)
.
Hhhhm.. Kalau begini sih, nanti kontrol musti ngumpulin nyali lagi!
>.<


#OneDayOnePost
READ MORE - I'm not the Lucky One

Read Comments

Hari Terindah dalam Hidupku

Pixabay.com

"Hari itu adalah hari yang paling membahagiakan dalam hidupku." Pipimu bersemu merah, mungkin, karena di sini terlalu gelap jadi aku tidak bisa melihatnya dengan jelas.
.
Aku ikut tersenyum, merasakan kebahagiaan itu datang kembali. Kenangan itu cukup kuat untuk menghangatkan malam yang dingin ini.
.
Kamu menatap langit di atas kita. Bulan yang indah tiada cela. Bintang yang seakan dilemparkan seenaknya sampai terserak di mana saja. Jalanan yang lengang, dan udara seakan rela dihirup sampai tandas. Karena malam ini, hanya ada kita berdua. Bagaimana tidak? Ini pukul dua dini hari. Dan kita masih berbincang di teras depan rumah. Seakan dua kekasih yang baru bertemu dan akan kembali berpisah esok hari.
.
"Aku kira, mereka akan malu." Kamu tersenyum lagi. Lampu redup teras membasuh wajah teduhmu.
Aku merapatkan retseling jaket sampai tidak bisa ditarik kemana-mana lagi. Angin mulai bertaring rupanya.
"Tapi nyatanya tidak, kan? Mereka bangga memiliki Ayah sepertimu."
Lalu hening. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.
"Terima kasih, kamu telah membesarkan mereka dengan baik."
.
Dan kamu pun menggenggam punggung tanganku. Sebentar saja. Aku tahu kamu memang begitu. Tidak bisa romantis. Tidak pandai mengumbar cinta. Baik verbal ataupun sekedar genggaman tangan di muka umum, jarang sekali aku dapatkan. Tapi sorot matamu, sudah cukup jelas berbicara segalanya. Rasa hangat dengan seketika merambat. Entah sumber panas terbesarnya berasal dari tanganku yang kamu sentuh, ataukah hatiku yang tengah bahagia.
.
Kita tidak lagi muda. Di hitamnya rambutmu kini ada helai-helai putih yang mencuat. Di kekarnya lenganmu kini mulai muncul urat-urat. Dan aku, sama sepertimu. Kita menua bersama.
.
"Kamu ingat saat mereka baru lahir ke dunia? Rasanya baru kemarin." Ada jeda sejenak, sepertinya kamu mulai menahan bulir air di matamu yang akan segera turun.
.
Kamu mereguk sisa kopi yang pasti sudah dingin dengan satu tegukan, lalu melanjutkan, "aku bahkan masih ingat seringai kesakitanmu di hari mereka dilahirkan. Kebahagiaan berganda-ganda karena aku langsung mendapat dua putra yang sehat."
.
"Ya, dan jangan lupa, lenganmu yang membiru karena aku terus menerus mencengkramnya."
Kamu tertawa. Gigi putihmu terlihat kontras dengan pekat malam.
.
"Dan esok salah satu putra kembar kita akan menemukan tulang rusuknya. Ia akan meninggalkan sarang ini, demi membuat sarang baru dengan kekasih hatinya. Betapa waktu begitu tega mencuri anak mungil kita." Kali ini, aku yang menggenggam tanganmu. Saling menguatkan, aku tahu itu yang kita butuhkan.
***
Sepuluh tahun lalu. Seorang lelaki paruh baya tampak berjalan lunglai. Di pundaknya tersampir dua kotak kecil. Entah berisi apa, tidak terlihat. Ia mengenakan baju kumal dan sepatu yang sudah meranggas di sana-sini. Badannya kurus kering, kulitnya hitam, khas kulit yang terlalu sering terpapar matahari.
.
"Sol patu!" Ia berteriak. Berharap pintu-pintu rumah tertutup itu ada yang terbuka untuknya.
Memberi tambahan penghasilan untuk dapurnya.
.
Ia melewati sebuah rumah dengan halaman luas. Tampak lima enam anak berseragam SMA tengah asyik bermain gitar dan tertawa-tawa. Dengan sudut matanya, ia tahu ada kedua putranya di sana. Sepertinya itu rumah salah satu teman mereka.
.
Ia menarik topinya semakin bawah. Berusaha menyembunyikan wajahnya dan berjalan menunduk. Ia berdoa semoga teman-teman putranya tidak ada yang mengenali. Ia takut si kembar merasa malu pada keadaan ayahnya.
.
"Hei, itu Bapak, kan?" Suara si bungsu terdengar olehnya.
"Bapaaaak, sini, Pak!" Sulungnya menimpali. Lalu mereka berdua setengah berlari menujunya. Berebut membuka pagar, mencium tangannya yang kotor dipulas semir sepatu.
"Bro, Bapak gue ikut istirahat boleh ya!" Teriak si bungsu pada kawannya.
"Sekalian minta es teh!" Timpal si sulung.
.
Lelaki yang dipanggil Bapak, mematung. Matanya bersitatap pada teman-teman anaknya yang memandangi mereka bertiga. Ia tersenyum bangga. Seolah ada gumpalan-gumpalan doparmin beterbangan di sekelilingnya. Menggumpal-gumpal, masuk ke kerongkongannya. Menyesakinya dengan rasa bahagia. Bahagia yang dijejalkan paksa, terlalu penuh hingga dadanya terasa berat. Air mata siap merebak, namun ditahannya.
.
Ya, itulah hari paling bahagia dalam hidupnya.

#OneDayOnePost
READ MORE - Hari Terindah dalam Hidupku

Read Comments

Review: A Child Called 'it'

Buku yang paling berkesan?
.
Banyak!
.
Tantangan minggu ini membuat sebuah review tentang buku yang paling berkesan. Saya langsung teringat binder kusam saya. Dulu, saya punya kebiasaan mereview buku. Buku apapun (kecuali komik dan buku kuliah tentunya) selalu saya tulis reviewnya. Tapi setelah ngajar di SD, kebiasaan itu berhenti. Padahal itu hal yang cukup bermanfaat.
.
Awalnya, saya berhenti karena memang tidak ada buku yang harus saya review. Selama hampir dua tahunan saya gak baca buku sama sekali. Lalu, apa yang mau direview? Lalu suami menanyakan apakah ada buku yang tidak terpakai? Lalu si binder itu berpindah tangan. Sudah. Tamat sampai situ usianya.
.
Lalu hari ini tiba-tiba harus membuat review buku. Sebetulnya saya sudah cukup banyak membaca. Dan ada beberapa buku yang cukup berkesan dan saya ingat sampai sekarang. Ada juga buku-buku yang mampir sebentar lalu lupa.
.
Kalau saya review buku-buku best seller tanah air rasanya gak seru. Karena pasti banyak yang sudah baca. Apalagi novelnya Tere Liye, novel sejuta umat itu mah. Gak tau juga ya kalau yang saya review, buku yang agak berat macam karya Ayu Utami. Karena waktu dulu SMA, guru Bahasa Indonesia saya melihat saya membaca Saman karya Ayu Utami lalu berkomentar, "itu mah bacaannya terlalu berat atuh Neng." Dan benar saja, saya memang gak faham. Hahaha. Tapi setelah dibaca yang kedua kali, baru bisa menikmati.
.
Tapi, ya begitulah. Otak saya yang ringan ini, gak bisa review yang berat-berat.
Hmmm, akhirnya saya putuskan untuk membuat review tentang trilogi buku terjemah. Karya Dave Pelzer, seorang pensiunan Angkatan Udara. Buku ini bercerita tentang pengalaman nyata sang penulis, bagaimana ia bertahan hidup ditengah child abuse yang dilakukan ibunya sendiri. Ibu kandung. Dan child abuse yang dialami Dave ini, masuk kategori penyiksaan terparah ketiga di negerinya, California.
.
Apa yang dilakukan Sang Ibu?
Dave dihukum perlahan dari mulai "duduk di pojok", lalu semakin lama, hukuman yang diterimanya semakin tidak masuk akal. Mulai dari tidur di luar rumah. Lalu dipaksa minum cairan kimia macam clorox, cairan pencuci piring, sampai amonia. Bahkan Dave dipaksa makan kotoran adiknya, yang masih bayi.
.
Belum selesai, Dave juga pernah dibakar di atas kompor. Lalu perutnya ditusuk pisau, gara-gara Dave tidak selesai mencuci piring dalam waktu dua puluh menit! Dan luka yang parah itu, tidak diobati, sampai infeksi. Engh!
.
Lalu kemana ayahnya? Ayah dan saudara kandungnya yang lain tidak berbuat apa-apa. Entahlah, ada yang miss dari buku itu. Saya rasa itu nilai minusnya. Tidak diceritakan mengapa ayahya diam saja, atau kenapa perlakuan itu hanya diterima Dave, sedang saudara kandungnya yang lain masih mendapat curahan kasih sayang. Juga tidak diceritakan mengapa ibunya yang berhati malaikat tiba-tiba berubah menjadi sangat kejam.
.
Buku ini dilanjut ke The Lost Boy, dan A Man Named Dave. Tidak perlu saya review ya, karena akan kepanjangan dan saya juga mulai lupa-lupa karena bacanya sudah sangat lama. Tapi over all, its a good book to read, must have!
.
Berikut deskripsi bukunya


Judul: A Child Called 'it'
Penulis : Dave Pelzer
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2003, cetakan kelima
Jumlah halaman:184
Ukuran buku: 21 x 13 cm
.

#OneDayOnePost
#TantanganODOP
READ MORE - Review: A Child Called 'it'

Read Comments

Bukan Tentang Isi

pixabay.com

"Uncle, saya mau tanya. Gimana caranya buat tulisan berisi setiap hari? Saya kok ya bingung.. Kalau dipaksakan nulis dan dipost hari itu. tulisan saya itu kesannya gak berisi. Malah bagusan tulisan saya yang dulu-dulu, karena mengalami masa diendapkan dulu, terus diedit." Curhat saya di suatu malam saat sedang bedah tulisan di grup whatssapp.
.
"Gak usah pikirin tulisan saya bagus atau enggak. Tulis yang ringan-ringan aja. Yang penting nulis." Jawab Uncle Ik.
.
Lalu tiba-tiba sang founder, Bang Syaiha, menimpali, "blog saya juga tulisannya gak berisi, Mbak. Pokoknya tulis aja apapun setiap hari. Kalau nanti mau buat novel, baru mengalami proses diendapkan-diedit-endapkan lagi-edit lagi. Ini saya juga barusan duduk, nulis lima belas menit, gak pake dibaca lagi, langsung publish."
.
Saya terdiam. Dan faham.
Ternyata saya pasang target ketinggian. Sombong kali ya... Barangkali kalau penulis sekelas Tere Iiye baru bisa. Sedangkan saya... Apalah saya ini. Tapi sudah ingin bisa menulis tiap hari dengan tulisan yang cetar. Ujung-ujungnya jadi gak nulis apa-apa karena kebanyakan mikir. Hahaha...
.
Bahkan sekelas founder ODOPnya pun kalau saya intip blognya memang berisi hal-hal sederhana, tentang kejadian di hari itu. Gak melulu tentang tulisan-tulisan berat yang membuat napas tertahan.
.
Dan terbukti tulisan Beliau sebagai orang yang rajin nulis tiap hari, enak dibacanya. Dan sudah berhasil menerbitkan dua novel.
Jadi, lupakan dulu tentang tulisan yang cetar dan meledak. Belajar saja dulu menulis tiap hari.
.
Karena sungguh, hasil tidak akan mengkhianati proses. InshaAllah.
.
#OneDayOnePost
READ MORE - Bukan Tentang Isi

Read Comments

Me Time Ala Ummi

www.pixabay.com

 “Mi, kopinya jangan yang gitu lah.” Suami saya mengerutkan keningnya. Mulai gerah dengan saya yang intens menyeduh kopi saban pagi.

“Kopi itu warnanya hitam, ada ampasnya. Bukan yang begituan” Saya hanya nyengir. Mengiyakan. Setuju. Tapi belum tentu mau nurut.

Entah kenapa kebiasaan buruk ini kembali. Dulu, waktu kuliah di awal-awal semester, saya doyan ngopi—juga yang jenisnya begini—coklat tanpa ampas, tidak sehat. Sekarang terulang lagi. Padahal tidak mudah melepaskan diri dari jeratan kafein.

Mungkin, awalnya dari rasa lelah saya saat sedang hamil besar. Mengajar di kelas yang super aktif dengan badan berat, itu luar biasa melelahkan. Belum lagi kondisi guru kelas sebelah yang tiba-tiba resign, membuat saya kerap harus mengajar juga di jam yang seharusnya kosong. Bayangkan saja, seorang ibu hamil mengajar dari jam tujuh sampai setengah tiga. Tanpa jam kosong. Dan keadaan kelas saya sekarang, keren-keren banget dah anaknya, menuntut mobilitas tinggi.

Satu autis, dua slow learner, dan satu hyperaktif. See? Seorang helper di kelas, tidak cukup. Kami masih kewalahan. Nah si akang hyperaktif ini—yang ternyata sekarang bikin kangen—kasus terbarunya adalah melorotin celana Pak Guru SMP, duh! Ia kerap kabur dari kelas. Sekembalinya “berkelana” keliling sekolah, ada saja barang yang ia bawa. Mulai dari kardus bekas, sapu dan pengki yang diambil dari gudang, corong lengkap dengan selang buat ngisi bensin—jangan nanya dapet darimana, saya juga gagal paham—sampai sikat toilet. Sing sholeh nya bageur! Hapunten Ibu curhat didieu.

Dan kondisi hamil itu juga membuat saya kerap tertidur ketika mengajar Al-Qur’an. Pukul 09.30, selepas istirahat, saya duduk manis melingkar dengan sembilan belas anak yang bacaan Qur’annya sudah bagus. Kelompok yang saya pegang adalah kelompok yang paling bagus bacaannya. Disaat yang lain masih belajar membaca tartil, kelompok saya sudah belajar Gharib. Tiga puluh menit menyimak satu persatu bacaan anak yang sudah tartil—dan nikmat didengar—kerap membuat Al-Qur’an yang saya pegang, terjatuh. Yah, menggelincir begitu saja karena saya ketiduran.

Alhasil, saya rajin ngopi di jam istirahat. Berharap sedikit tamparan kafein mampu membuat saya jadi guru Al-Qur’an yang baik. Khusyuk menyimak dan bukan guru yang doyang ketiduran. Jadilah kebiasaan ngopi itu terbawa sampai sekarang. Pusing kepala rasanya kalau belum menghirup kafein pagi hari. Me time with caffeine, sounds not too bad, isnt it?

Celakanya ternyata beberapa hari ini segelas kopi itu nambah dosis. Haha, malam-malam seringnya ngopi lagi. Semakin bawel lah sang suami tercinta.

Melenceng jauh dari judul nih...

Di tulisan ini, intinya saya hanya ingin kembali mengingatkan, me time itu tetap harus kita punya. Terigat tulisan Mbak Kiki Barkiah yang kece abis, tentang menjaga kewarasan sebagai ibu rumah tangga. Saya sekarang Ibu Rumah Tangga, dan menjaga diri tetap waras, memang sulit. Well, waras di sini adalah waras yang sebenar-benarnya waras. Menjaga kewarasan intonasi suara, sikap tubuh, menghindari hukuman fisik, omelan-omelan tidak perlu, hal-hal seperti itu. Karena sungguh, anak kecil itu memang sangat pandai mendongkrak emosi.

Me time saya sederhana. Tidak perlu meni-pedi atau creambath di salon. Cukup turun ke dapur, menyeduh kopi, membaca novel, menulis, atau nonton film di laptop, selesai. Hal itu sudah membuat saya bahagia. Tapi sungguh, bahkan kadang hal sepele seperti itu pun sulit untuk dilakukan. Kadang dalam satu hari,  me time saya hanyalah sedikit berlama-lama saat mandi. Hahaha...

Sungguh perjuangan menjadi seorang ibu. Seperti semalam, si bungsu yang oek-oek dari jam satu malam, dan baru bisa tidur lagi jam setengah empat pagi. Padahal saya baru lelap tertidur pukul dua belas. Saat mata sudah nyaman menutup, eh, si sulung bangun. “Ummi... Ummi... gugah.” Begitu katanya. Pening lah kepala saya.

Ah, tidak ada salahnya kopi renceng murahan ini saya seduh. Karena di setiap sesapannya, saya kembali mendapat energi menghadapi hari-hari sebagai Ibu Rumah Tangga yang akan berakhir satu bulan lagi.

Rabbi habli minash sholihiin...

#OneDayOnePost

READ MORE - Me Time Ala Ummi

Read Comments

Si Penggosok Kuali

Comberan, matahari, galau, kalajengking.
Whats wrong with those words?

Itu tantangan minggu ketiga ngODOP. Membuat sebuah tulisan yang di dalamnya ada kata tersebut. Dan saya sudah utang tulisan banyaaaak sekali. Hahaha, menulis setiap hari itu tidak semudah memandikan dua balita. Dan rasa malas untuk memulai ini memang sangat mempengaruhi selesainya sebuah tulisan.

“Biarlah malas, asal jangan sampai hiatus.” kata seorang suhu di ODOP. So, here we go, sebelum saya naik level dari malas ke hiatus (padahal gak ngerti juga hiatus itu apaan, ikut-ikutan aja) ini sebuah cerita kecil yang kubuat grasa-grusu (demi tidak sampai ditendang dari kelas ODOP).

***

www.pixabay.com

“Kau memang hebat, sudah kuduga kau yang akan jadi pemenang! Selamat, selamat!” Seorang koki senior, merangkap juri, menepuk-nepuk pundaknya. Rasa bangga jelas terdengar dari nada suaranya.

Wartawan langsung sigap membidik. Lampu blitz berkilat-kilat indah, mengabadikan memori.

“Aku hanya beruntung.” Ia tersipu malu-malu.

Ah, seharusnya ia tidak perlu merasa malu. Bukankah ia telah meraih segalanya? Karirnya yang diawali dari seorang jongos penggosok kuali berjelaga di sebuah warung makan. Dan lihatlah kini! Ia menjadi seorang chef ternama. Bakat? Rasanya hanya sedikit bakat yang ia punya. Karena porsi terbesar kesuksesannya adalah tekad. Dan do’a.

Bagai menelan coklat berpuluh batang, otaknya kini banjir dopharmine. Rasa senang mengerubuti dirinya dari kepala hingga kaki. Lampu blitz menyambar dari setiap sudut. Para wartawan berebut mencari angle yang paling tepat untuk media mereka. Sodoran microphone terasa bagaikan buah-buah yang ranum. Begitu menggoda.

Ajang mencari bakat bagi para penggiat kuliner, telah ia menangkan dengan penuh intrik dan drama. Ia mampu memuaskan penonton yang memang tidak mau acara monoton. Berkatnya, acara kompetisi masak memasak itu naik rating. Membuat ibu-ibu mau beralih dari nonton film India. Kerja kerasnya selama tiga bulan ini membuahkan hasil. Dari audisi sampai jadi pemenang, sungguh bukan perkara mudah. Bisa melahirkan satu novel rasanya.

Kini namanya bisa disejajarkan dengan chef ternama nusantara. Berbagai menu dari lima benua telah khatam ia buat. Padahal dulu, menyebutkan namanya saja, lidahnya keseleo. Lihatlah bagaimana cara kerja Tuhan! Sungguh apik dan ciamik! Rasanya ia lebih hebat dari sekedar super hero. Bukan lagi pemuda miskin harapan yang rumahnya bau comberan. Sungguh perjuangannya patut dianugerahi ratusan piala.

Esok, pasti wajahnya membanjiri aneka media. Muncul di koran, majalah, televisi. Senyum manis dan tulus terlahir dari wajahnya. Hangat, sehangat matahari. Tak akan nampak lagi wajah lunglai versi galau. Ia lupa pada kesedihan, seketika saat gelar juara itu tersemat untuknya.

Ia masih ingin tersenyum pada semua wartawan yang mengerumuninya ketika tiba-tiba matanya tertuju pada kaos merah bergambar kalajengking yang kini ada persis di depan matanya.

“Hoi! Ngelamun mulu!” Ujar si pemilik kaos kalajengking.

“Ah, lu ngagetin gue!” ia terkesiap. Kembali mendapati kenyataan bahwa dirinya begitu kumal. Tengah berjongkok di antara tumpukan piring kotor, sabun pencuci piring, spons basah yang sudah meranggas tepiannya, dan tentu saja, kuali berjelaga yang menyebalkan.

“Ya abis lu nape, nyuci piring kagak beres-beres. Gosok kuali yang bener, ga usah sambil cengengesan gitu, ngeri gue! Tuh, pembeli ude nguler, bantuin gue!” lelaki itu melenggang, sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mulutnya masih merapalkan sesuatu. Ia bingung mendapati teman kerjanya bisa santai cengengesan di tengah sibuk-sibuknya rumah makan tempat mereka bekerja.

Sial! Ternyata khayalan pemuda itu sudah bergerak terlalu jauh, mengkhianati kenyataan. Satu-satunya yang benar dari mimpi itu adalah ia adalah seorang jongos di rumah makan. Ah, tidak ada waktu untuk memunguti mimpi yang kadung terserak. Ia menggosok-gosok ujung hidungnya. Saatnya kembali ke kuali-kuali berjelaga yang selama ini telah menghidupinya.

#OneDayOnePost
#TantanganODOP
READ MORE - Si Penggosok Kuali

Read Comments

Tujuh Tahun yang Tergadaikan

Sakit! Hatiku sakit, hancur. Layaknya mainan kaca yang kau lempar sekenanya ke batu. Hancur berkeping-keping. Kemana memori tujuh tahun itu kau gadaikan? Kepadanya yang terlihat lebih indah? Atau pada berlembar rupiah yang tak seberapa? 
.
Kukira kamu perempuan yang berbeda.
Memori itu kupeluk erat. Kuingat-ingat aroma parfum di badanmu. Kukristalkan senyum dan rona wajahmu. Kukunci erat perubahan ekspresimu. Tujuh tahun, menurutku adalah angka yang fantastis. 
.
Berapa kali kau murka padaku? Berapa kali juga kau membuatku membuang waktu, demi menungguimu. Pernahkah aku mengeluh?
.
Rasanya akan abadi. Saat kita berdua menelikung mimpi. Menyusuri jalan-jalan lengang di malam hari. Menikmati siraman lampu jalan di kota yang tak pernah mati. Kau dan aku, selayaknya mereka yang berbahagia, terasa begitu sempurna.
.
"Aduh, maaf banget ya.. Kamu pasti kedinginan." Aku tersedot ke ingatan, entah kapan. Karena aku alpa akan segala, terutama penamaan waktu. Tapi tentang kamu, tak ada yang luput dari ingatanku.
.
Aku memperhatikan baju toscamu yang mulai terkena tempias hujan. Rinai yang menyebar di anak rambutmu, membuat dirimu tampak semakin indah.
"Tidak apa, aku sudah terbiasa menunggumu. Mari kita pulang." Aku berkata pelan. Terbatuk sebentar, lalu bergandengan, menemanimu. Lagi, membelah jalan yang mulai lengang.
.
"Hari ini melelahkan sekali. Pekerjaan tak kunjung habis." Seperti biasa, kau mulai meracau. Tapi sederet keluhan dari bibir mungilmu masih lebih indah dari nuansa senja. Mungkin aku terlalu cinta. Kamu menumpahkan segala penatmu di hari itu. Dan aku, bagai danau yang menampung hujan, tak pernah menolak untuk jadi penampung segalamu.
.
"Aku lelaaaaah... Antarkan aku ke cafe itu dulu, ya sayang. Segelas kopi mungkin bisa membuatku lebih berdamai dengan penat ini." Lalu senja itu kita habiskan berdua. Aku turut menikmati kebersamaan itu bersamamu. Mengamini setiap ucapmu.
.
Tujuh tahun kebersamaan kita yang tergadaikan. Sepertinya do'aku pada Tuhan kurang kencang. Hingga sekarang ternyata kau harus pergi, menggelincir dari pelukanku. Bolehkah aku berunjuk rasa padamu, Tuhan?
.
"Maafkan segala salahku padamu, sayang. Semoga kamu bisa menemukan yang lebih baik dariku." Jemari halusmu menggurat punggungku. Mungkin penyesalan itu ada juga padamu, walau tak sebesar penyesalan milikku.
.
Hari terakhir membersamaimu. Ternyata harus tiba. Aku mencoba untuk menikmati sesaknya melepaskan. Tidak akan mudah, aku tahu. Tapi mungkin bahagiamu, juga adalah citaku. Saat ini udara terasa menipis. Paru-paruku terasa sempit.
Kamu terlihat cantik dengan baju coklat muda hari ini. Ah, mengapa aku masih harus terpesona padamu yang akan mencampakkan aku.
.
Kamu berusaha membuka percakapan. Tapi aku tak sudi mengucap kata pisah.
"Terima kasih untuk tujuh tahun kita yang penuh cerita. Sepertinya kesehatanmu semakin memburuk, Sayang." Bukannya menjawab, aku malah terbatuk. Lagi, dan lagi.
.
Kamu mengelusku pelan, lalu kembali menggandeng tanganku. Kita kembali menelusuri jalanan yang sama. Lantas kamu meninggalkanku sendiri di parkiran kantormu, seperti yang sudah-sudah.
.
"Hari terakhirmu bertugas, sayang. Nanti baik-baik ya sama pemilik barumu." Aku tergugu, mencermati puluhan motor baru yang lebih mentereng di sekitarku. Kira-kira, yang rupanya seperti apa nanti pengganti diriku? 
.
Ah, aku tak mau membayangkannya. Sudahlah. Hari ini, dengan takzim aku akan kembali bertugas. Hari terakhir aku membersaimu setelah tujuh tahun, yang pasti akan kurindu.

Bandung, 13 Oktober 2016

#OneDayOnePost
#Fiksi

READ MORE - Tujuh Tahun yang Tergadaikan

Read Comments

Your Call

"Your Call"

Waiting for your call, I'm sick, call I'm angry
Call I'm desperate for your voice
Listening to the song we used to sing
In the car, do you remember
Butterfly, Early Summer
It's playing on repeat, Just like when we would meet
Like when we would meet

I was born to tell you I love you
And I am torn to do what I have to, to make you mine
Stay with me tonight

Stripped and polished, I am new, I am fresh
I am feeling so ambitious, you and me, flesh to flesh
Cause every breath that you will take
When you are sitting next to me
Will bring life into my deepest hopes,
What's your fantasy?
(What's your, what's your...)

I was born to tell you I love you
And I am torn to do what I have to, to make you mine
Stay with me tonight

And I'm tired of being all alone, and this solitary moment makes me want to come back home
[4x]
(I know everything you wanted isn't anything you have)

I was born to tell you I love you
And I am torn to do what I have to

And I was born to tell you I love you
And I am torn to do what I have to, to make you mine
Stay with me tonight
(I know everything you wanted isn't anything you have)

***

"Lagu apa?"
Itu yang pertama kali saya tanyakan padanya saat mendengar lagu itu.

Sekali dengar, langsung jatuh cinta. Lagunya enak, cucok lah buat yang lagi galau. Yah, saya kan dulu sebelum nikahmah emang sering banget galaunya. Hahaha.

"Your call." Jawabnya.

"Yang nyanyi siapa?"

"Secondhand serenade."

"Mau lah, liriknya njleb banget."

Dan berlangsunglah sharing itu, via flash disk, karena lagu itu saya dengar di komputer kamarnya, bukan dari HP. Karena saat itu masih zamannya HP poly ponic, dengan tool share pakai blue tooth. Itu sudah paling yahud. Kalau tidak salah, HP saya saat itu baru ada fasilitas radionya. Gak bisa play musik.

"Lagu cinta-cintaan kayak gini teh lebay banget ya." Katanya dengan lengan yang lincah memindahkan data. Saya mengangguk. Antara menanggapi dan tidak.

"Gak ada manfaatnya." Ujarnya lagi, menyerahkan flashdisk berukuran 1 GB berwarna biru tua milik saya.

Lah, terus kenapa didengerin mulu daritadi kalau gak ada manfaatnya? Saya membatin.

"Nana mah suka diganti. Itu yang pas "I was born to tell you i love you," You-nya tuh diganti sama Allah. Ya gitulah beb, setiap lagu-lagu cinta yang lebay gini, Nana suka ganti, ditunjukkan ke Allah. Jadinya gak lebay kan, da emang kuduna kitu. Cuma buat Allah cinta-cintaan mah."

Saya tersenyum. Orang sholih(ah) selalu punya caraya sendiri untuk mengungkapkan rasa cinta padaNya.

(Cerita nyata, dulu pas zaman kita masih gadis2 belia berbaju putih abu)

Bandung, 12 Oktober 2016
#OneDayOnePost
#MingguKeDua
#UtangSatuPostLagi

READ MORE - Your Call

Read Comments

Saat Kamu Pulang Terlalu Cepat



Haly Syahrastani sayang...
Mamah tidak mau mengingat kapan kamu lahir dan kapan kamu kembali pada
Rabb-Mu
Mamah juga tidak mau mengingat hari-hari kebersamaan kita selama 8 bulan lebih di kandungan dan selama 3 hari di dunia ini

Haly Syahrastani sayang...
Mamah hanya mau mengingat bahwa kau, mamah, dan abimu... Kelak kita akan berkumpul kembali di syurga

Haly Syahrastani sayang...
Sekarang kau sudah ada di syurgaNya Allah...
Menjadi kunang-kunang mungil yang bertebaran di sana... tunggu mamah sama abimu di pintu syurga itu ya...

Allah...
Engkaulah Rabbku
Cintaku, pengabdianku akan selalu untuk-Mu

Allah...
Engkau telah memilihku diantara hamba-Mu yang sabar
Engkau telah menjanjukanku sebuah rumah di syurgaMu kelak
Tetapkan aku agar selalu setia pada-Mu. Agar selalu ikhlas dan sabar menghamba
padaMu
Agar selalu ingat bahwa cepat atau lambat hamba akan menghadap-Nya juga

Allah...
Hamba mohon agar Engkau berkenan
Memanjangkan usiaku dan suamiku di dunia ini
Dalam kesehatan dan keberkahan
Agar hamba dan suami hamba bisa beramal sholeh sekemampuan hamba
Karena...
Di akhirat kelak...
Hamba ingin berkumpul dengan suami, Haly, para shiddiqin, shalihin, mujahiddin, dan para nabiyyin, di syurgaMu

Ya... di tempat kembali yang terakhir
Dimana kebahagiaan akan kekal di sana

24 Maret 2016
Neneng Siti Zakiyah

***



Tanyakan saja pada setiap wanita, yang sudah merasa. “Bagaimanakah rasanya menjadi seorang ibu hamil?”
Sungguh, hamil itu adalah “nikmat”!

Nikmat saat kau begitu ingin makan, tapi tidak ada satu suap pun yang meluncur mulus ke dalam perutmu. Karena saat mencium baunya saja, kamu sudah mual dan hilang selera.

Nikmat karena badanmu yang singset itu tetiba terasa amat beratnya. Beban yang tidak bisa dilepaskan barang sebentar. Tidur miring salah, telentang pun bukan. Kedua kaki rasanya sudah lelah menopang. Jalan sakit rasanya.

Serba salah! Belum lagi rasa gerah yang tidak bisa berpindah. Baju pendek pun masih tetap saja basah. Dingin pegunungan pun tidak ada rasanya. Lalu teman setia, malam-malam panjang yang membuat lelah. Night watcher menjadi sandangannya.

Saat mata mulai bisa diajak berdamai untuk terpejam, tiba-tiba si janin bermain dengan kantung kemih ibunya. Lantas harus kembali terbangun untuk berkemih, jangan harap bisa ditunda-tunda. Hampir sepuluh bulan menanggungnya.

Suami yang tidak peka pasti jadi masalah. Nada bicara keras sedikit, menusuk hatinya. Ingin mengeluh, ingin dimanja, namun kadang tidak ada yang bisa diajak kerja sama. Lagi-lagi, harus ditelan sendiri saja. Begitulah, nikmat hamil yang dirindu banyak wanita.

Lalu perjuangan melahirkan ke dunia. Ah, itu butuh satu postingan tersendiri rasanya. Tapi, tidak ada yang menyesal menjadi seorang ibu. Mana yang ingin anaknya satu? Coba tunjuk tangannya!  Saat si kecil membuka mata untuk pertama kalinya, segala lelah itu sirna. Terlahirlah cinta tanpa pretensi, yang begitu murni.

Namun, jika ternyata si kecil yang sudah begitu didamba harus kembali pulang ke pangkuanNya? Rasanya terlalu cepat... Belum kita puas menatap kerling matanya, belum lagi kita sempat memeluk hangat tubuhnya... Bagaimana rasanya?

Kawan saya tahu rasanya. Seorang perempuan yang semoga surga merindunya. Seorang hafidzah, sholihah, cantik parasnya. Predikat sempurna yang dirindu semua wanita. Beliau harus kehilangan buah hatinya di hari ketiga.

Betapa Allah mencintaimu, kawan! Padahal predikat hafidzah pun sudah digaransikan dengan ketinggian derajatmu di hadapan-Nya. Lalu, sekarang tabunganmu bertambah. Seorang anak yang telah kau lahirkan, lalu dipanggilNya, ia akan kembali menjemputmu di pintu surga-Nya, Insya Allah.
Bergembiralah! Lukamu hari ini, akan lunas terbayar indah, suatu hari nanti.
Seharusnya saya iri, bukan? Saat kedua buah hatiku begitu sehat dan sempurna, buah hatimu telah dijadikan tabungan besar tak terkira. Saat hafalanku yang tidak juga bertambah, bibirmu selalu basah dengan murajaah...

(Terima kasih sudah mengizinkan saya berbagi cerita, walaupun postingan ini sudah amat terlambat)

Bandung, 12 Oktober 2016

#OneDayOnePost
#MingguKeDua
#MasihUtang
READ MORE - Saat Kamu Pulang Terlalu Cepat

Read Comments

Akhwat, Kok Berenang?

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Segala sesuatu yang di dalamnya tidak mengandung dzikrullah merupakan perbuatan sia-sia, senda gurau, dan permainan, kecuali empat perkara, yaitu senda gurau suami dengan istrinya, melatih kuda, berlatih memanah, dan mengajarkan renang.” (HR. An-Nasa’i)
Nah, hadits di atas sudah sering kita dengar, bukan? Mana diantara keempat hal tersebut yang sudah sering kita lakukan? Berangkat dari hadits di atas, jadi muncul sebuah pertanyaan, nah kalau kita-kita yang berstatus akhwat bagaimana? Ribet banget ya kalau akhwat harus berkuda? Memanah? Berenang?
Hmm, sebenarnya posting ini terinspirasi dari anak-anak didik saya yang hari ini berenang di Sampoerna. Wah, senangnya! Saya yang sedang cuti tentu saja tidak bisa ikut. Berbekal pengalaman yang sudah-sudah, sekolah saya biasanya membagi sesi renang menjadi dua kali. Satu hari yang berenang anak ikhwan, hari besoknya akhwat. Sengaja dipisah, agar mereka diajarkan untuk tidak ber-ikhtilat sejak kecil.
Sudah dari sononya kalau guru SD biasanya perempuan, kan? Demikian juga di tempat saya mengajar. Guru laki-lakinya minoritas. Jadi sebuah kendala ketika mau berenang, guru akhwatnya pada gak mau ikut nyemplung!  Padahal pendampingan anak di kolam itu penting. Minimal kalau ada yang tenggelam, guru bisa segera membantu. (Kalau saya sih paling ikut main aja, udah Alhamdulillah bukan saya yang tenggelam!) Berbagai alasan biasanya dikemukakan sang Ibu Guru. Mulai dari tidak bisa, ribet ganti bajunya, dan yang paling sulit untuk disangkal adalah masalah kostum untuk berenang itu, sungguh tidak sedap dipandang!
Saya yang tingkat kecuekannya sedikit lebih besar dari beliau-beliau ini, sering kesulitan mencari teman untuk ikut nyemplung. Bagaimana tidak, mereka adalah guru yang sangat menjaga auratnya. Setiap hari berkerudung lebar, lengkap dengan rok dan kaos kaki. Masa iya saya harus turun ke kolam sendirian?
Nah, berikut beberapa tips yang bisa dipraktekkan bagi para akhwat yang gemar berenang (atau sekedar basah-basahan main air kayak saya). Semoga dengan ini para akhwat sholihah jadi tetap semangat berenang (terutama teman-teman saya di sekolah, hehehe)

1. Pakai baju yang tidak menjiplak
Baju renang, biasanya langsung menjiplak begitu kita naik dari kolam. Risih? Iya! Makanya, pilih baju yang tidak terlalu mengikuti lekuk tubuh walaupun basah.

2. Baju tetap nyaman, tidak menggembung
Ini masalah kedua. Kalau berenang pakai kaos, biasanya pas kita nyelam, air langsung masuk, lalu membuat baju kita menggelembung macam ikan buntal. Duh, enggak banget deh, ya?

3. jilbab tidak terbang-terbang
Ini juga problem banget! Seorang akhwat, tidak akan memakai kerudung pendek macam penutup kepala doang saat berenang. Kerudung yang tetap menutup dada, wajib hukumnya. Nah, masalahnya, kerudung yang panjang itu kerap ikut menggembung saat berenang. Jadi, pilihan jilbab bertali di belakang, bisa jadi solusi. Ada juga lho, kerudung khusus buat berenang. Jadi ada tali yang bisa dikaitkan ke lengan. Jadinya aman, tidak ada acara jilbab terbang-terbang mengembang di air
.
4. Kaos kaki? Tetap pakai dong!
Berenang pakai kaos kaki? Iya! Saya biasanya tetap memakai kaos kaki walaupun berenang. Tidak mengganggu kok, hanya harus lebih hati-hati saja, karena sedikit lebih licin.

5. Kain tidak berat
Ini juga penting. Baju yang tidak menjiplak, bukan berati harus berat ya... karena kenyamanan berenang juga penting. Bahan parasut cocok banget nih buat dipakai berenang.

6. Pilih timing yang tepat
Tips yang terakhir, kita juga harus pintar memilih timing yang pas. Berenang hari Minggu? Hari libur? Big No! Biasanya, itu family time. Otomatis kolam bakalan rame, dan banyak bapak-bapaknya. Saya biasanya memilih hari Jum’at untuk berenang, karena kolam lebih steril dari Bapak-Bapak. Bagiaman tidak, wong mereka pada Jum’atan. Walaupun kostum kita tetap menutup aurat, ketidakhadiran Bapak-Bapak di kolam, bisa menambah nyaman saat berenang.

BTW, kalau teman-teman masih bingung ngubek lemari untuk mencari kriteria yang cocok untuk dipakai berenang, ada lho baju renang yang nyaman untuk muslimah. InsyaAllah tetap bisa sporty sesuai Syar’i. Dimana belinya? Saya jual? Iyaaa! Hahaha, ujung-ujungnya jadi promosi. Kayak gini penampakannya. (Bukan foto saya, kebetulan aja nyomot dari Google. Maaf ya Mbak, saya comot fotonya). Saya punya tuh yang warna hijau, sama persis!



Nah, itu sekedar tips dari saya. Yuk, berenang! Sehat dan sangat menyenangkan! Happy swimming, muslimah!


READ MORE - Akhwat, Kok Berenang?

Read Comments

Tentang Matamu yang Teduh

“Ummi, mana ODOP teh?”
Ups. Satu kata singkat yang diucapkan suami semalam, menjelang tidur.  Dan saya hanya bisa tertawa. Hahaha, benaaar. Baru dua hari dan saya sudah bolos menulis. Ergh! Menulis itu tidak mudah, Jenderal! Apalagi harus setiap hari.

Lalu, saya kan seorang Ibu yang baru  saja melahirkan. Anak kedua dengan anak pertama yang masih dua tahun (No excuse, please!)

Sepertinya saya harus belajar me-manage waktu lebih baik, kalau ingin lulus di ODOP Batch 3 ini.
Ikut tantangan menulis setiap hari (Senin sampai Jum’at) selama empat bulan.
Dan sampai saat ini, saya juga belum punya ide mau menulis apa.
Saya mulai garuk-garuk kepala, lalu berpikir sesuatu....

Akhirnya puisi jadi pilihan saya.
Hahaha, ahhh maafkan saya yang sedikit aneh ini ^_^
Mohon do’anya teman-teman biar saya tidak dieliminasi

Tentang matamu yang teduh

Bukan hanya hari ini
Aku jatuh hati padamu
Cahaya matamu mengingatkanku pada kasih-Nya
Tentang surga yang tak terjamah
Tentang kasih yang tak pernah memilih
Bukan hanya pada hari ini
Aku masih saja merindumu
Saat denyut nadimu bahkan masih terasa hangat di dekapanku
Pun bukan hanya hari ini
Saat setiap senyumanmu
Meledakkan magma penat dalam dadaku
Tahukah kamu,
 sepertinya hatiku telah terikat terlalu kuat
kisah ini hanya tentang seorang ibu
yang nyaman berteduh di cerlang caya matamu



READ MORE - Tentang Matamu yang Teduh

Read Comments

Hujan dan Kopi

Secangkir kopi tidak mengepul sore ini. Bukan karena aku alfa menyeduhnya. Tapi karena aku lebih memilih kopi dingin. Padahal hujan sedang bernyanyi di luar sana. Tapi kopi dingin masih terasa nikmatnya.

Hujan sore ini mengingatkanku pada masa lalu.

Saat sepatuku yang hanya satu-satunya, basah. Aku berlari mencipratkan air ke kanan dan ke kiri. Rambut hitamku yang belum tertutup jilbab, basah sempurna. Tas gendong berupa boneka beruang, juga hilang keringnya. Tapi aku masih tetap bisa tertawa.

Satu dua kawan seperjalanan habis di beberapa belokan. Saling melambai, mengucapkan salam atau sekedar mengingatkan kembali lelucon tadi siang. Puas kami tertawa di hari itu. Menertawakan apa saja. Seperti yang sudah-sudah.

Baju merah putihku juga basah. Tapi aku tak peduli. Masalah dimarahi, itu bisa dipikirkan nanti. Yang penting, sekarang aku senang. Buku pelajaran basah, juga tak apa. Biar nanti Mama yang cari cara untuk mengeringkannya. Takut masuk angin? Itu daftar paling akhir. Anak kecil tak pernah peduli dengan kesehatannya.

Hujan dan kopi.

Dua hal yang selalu nikmat untuk diresapi. Hujan selalu berhasil membuatku rindu. Rindu masa lalu, rindu keluarga, rindu berbuat baik, rindu apa saja.

Hujan mereda, dan perlahan aku kembali pada masa kini. Tanpa kusadari baju-baju merah putih itu telah berganti pemilik. Bukan menempel pada badanku lagi. Tapi pada mereka, puluhan pasang mata yang siap menerima ceramahku saban pagi. Kini aku gurunya. Kini mereka penerus estafet dakwah.

Ah, dunia sepertinya terlalu cepat berputar.
Berapa ratus bahkan ribu hujan telah kulewati, tapi diri ini belum juga selesai kuperbaiki.



#OneDayOnePost

Edisi nulis lima menit tanpa edit. Gak jelas, nulis we pokonamah!


READ MORE - Hujan dan Kopi

Read Comments

Duh, Mana Ya?

Grasak, grusuk, duh!
Tangannya bergerak liar. Matanya juga. Diobrak abrik isi laci di meja belajarnya. Tapi tanganya hanya menemukan beberapa pulpen, pensil, kertas-kertas yang entah berisi apa. Matanya kembali menelusuri seisi kamar. Mana benda itu?

Hap! Ia naik ke atas meja belajar. Tangannya menggapai-gapai bagian atas lemari. Nihil. Yang ia temui hanya debu, tumpukan buku usang, dan sarang laba-laba. Hih! Ia mendengus semakin kesal.

Detik berikutnya, ia lompat lagi. Kasur dijungkirbalikkan, berharap barangkali benda itu ada di baliknya. Sayang, yang ia temukan juga hanya asosiasi debu menebal tak terkendali.

"Euh, kesiangan berat ini mah!" Ia panik. Teringat dosen killernya yang pasti sukses menjadikannya objek penderita jika hari itu datang terlambat. Pupus sudah harapannya menjadi bintang di hari itu.

Padahal, ia sudah membuat slide persentasi yang amat ciamik. Sampai begadang membuatnya. Ia ingin mencuri perhatian si dosen killer. Syukur-syukur perhatian si lelaki pojok juga ikut tercuri. Ehem! Seisi kelas akan terkagum-kagum dengan presentasi yang akan dibawakannya hari itu. Amboi, indahnya!

Baju, jilbab, tas, sepatu, sudah oke. Tinggal berangkat. Tapi, tanpa benda itu, ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia melirik jam tangan. Sia-sia, walau terus mengintip, jam tangan itu tak akan mau berhenti barang sebentar, apalagi bergerak mundur.

"Kamar mandi kali ya?" Ia teringat suatu tempat. Mungkin ia lupa, meletakkan benda itu di sana. Lalu ia berlari, terantuk handuk yang melingkar di lantai.
"Aish! Kenapa juga ini handuk ada di sini!"
Ia lanjutkan pencarian ke kamar mandi. Mencari sesuatu dengan diburu waktu, adalah hal yang menyebalkan.

Seorang pelupa, ia akui itu. Kerap ia lupa dimana menaruh Handphone, kunci motor, dan benda urgen lainnya. Tapi biasanya, dengan segera benda-benda itu bisa ditemukan di suatu tempat di rumah.  Tidak pernah sesulit ini menemukannya. Apakah masih adatl tempat yang belum diperiksa? Rasanya sudah seluruh sudut rumah tersapu pandangannya.

Rasanya ia ingin marah. Andai ia bisa mengatur waktunya lebih baik... Tidak harus begadang, tidak harus ketiduran menjelang shubuh, tidak harus...

"Cari apa sih Kak, kamar sampe awut-awutan?"
Adik laki-lakinya bertanya sambil mengerutkan kening, mengagetkannya.

"Kamu liat kacamata Kakak? Kakak mau presentasi nih! Mana bisa presentasi tanpa kacamata. Muka kamu aja remang-remang!"

Si adik menatapnya penuh arti. Antara bingung, kasihan, prihatin, ah entahlah.

Lalu, tanpa bicara, sang adik menariknya ke depan cermin besar depan lemari.

"Noh." Katanya pendek.
Menunjuk kacamata yang bertengger manis di atas kepalanya. Ia hanya bisa nyengir, lebar sekali.

#OneDayOnePost
#TantanganHariKesatu

READ MORE - Duh, Mana Ya?

Read Comments
 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men