Dimuat Majalah Annida, tanggal 14 April 2012. Yuk mampir ke Annida, banyak bacaan bergizi di sana (www.annida-online.com)
Pencuri
Mimpi
Dan
akhirnya akupun tetap berlari. Menembus pembatas-pembatas mimpi, yang
sebetulnya kuciptakan sendiri. Aku berlari, menyongsong mimpi, menjemput
kebahagiaan. Tak peduli jika akhirnya sepatuku rusak. Tak berhenti walaupun aku terjatuh dan merasa sakit.
Mataku hanya tertuju pada gumpalan-gumpalan harapan yang ada di depan. Aku
harus berlari. Aku hanya bisa berlari. Sayup-sayup terdengar denting-denting
melodi merdu. Melodi yang kekal, namun hadir tanpa lantun.
Pria berkumis
yang belakangan kuketahui bernama Pak Salim di depanku itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Aku menunggu dengan dada berdebar. Beberapa bulir keringat
berjatuhan. Mungkin akumulasi dari panasnya cuaca dan juga ketegangan yang kurasakan. Detik-detik terbuang. Menyisakan
partikel-partikel hampa yang saling bertabrakan di rongga-rongga tanya.
“Saya suka.
Ini buku pertama Anda?” Katanya sambil mengetuk-ngetukkan naskah ke meja
kerjanya yang mengilap.
“Benar, pak.
Itu novel saya yang pertama.” Secercah harapan menghiasi sudut-sudut hatiku.
“Belum coba
ke penerbit lain?”
“Sudah, Pak.
Ini penerbit kelima yang saya coba. Tentu saja setelah saya perbaiki
kekurangan-kekurangannya.”
“Baik. Buku
Anda akan kami terbitkan. Nanti hal-hal mengenai persyaratan dan royalti
menyusul. Tunggu telepon dari kami saja.
Silakan tuliskan nomor Hp Anda. Dan, maaf, siapa tadi namanya? Saya lupa,”
“Mayang, Pak.
Mayang Nurmalasari.”
Akupun
melangkah keluar dari ruangan itu. Segala benda yang terlihat mataku terlihat
lebih semarak, lebih berwarna. Langkahku ringan sekali, seperti melayang.
Rasanya aku ingin memeluk semua orang.
*
“Ayah
sarankan kamu masuk ITB. Ambil saja teknik kimia. Ayah perhatikan nilai kimia kamu selalu lebih
tinggi dibandingkan matematika atau fisika.”
Aku hanya
diam.
“Atau mau
farmasi UNPAD? Tapi jangan ambil kedokteran, ya. Kuliahnya lama. Kasian kamu.”
Akupun
mengangguk pasrah. Aku takut untuk mengutarakan isi hatiku. Padahal ingin
sekali aku berkata pada Ayahku, bahwa tidak hanya kimia yang nilainya tinggi di
rapot. Bahasa Indonesiaku juga nyaris
sempurna. Kenapa hal itu bisa luput dari perhatian Ayah?
Aku terlalu
takut untuk melawan. Teringat kejadian saat aku masih kelas 2 SMA. Aku memaksa
untuk masuk kelas bahasa. Aku mencintai sastra. Tapi Ayahku tetap memaksa, aku
harus masuk kelas IPA. Saat itu keberanianku lebih tinggi beberapa tingkat dari saat ini,
mungkin karena pengaruh hormon yang belum stabil, sehingga aku meledak-ledak.
Akibatnya, aku ditampar keras sekali. Kata Ayah, aku anak yang keras kepala.
“Jadi mau
yang mana? Kok diam saja?”
“Terserah
Ayah. Yang mana saja boleh, Yah.” Aku mencoba tersenyum.
“Nah, bagus
bagus. Itu baru anak Ayah. Nanti Ayah belikan ya formulir tesnya.”
*
Semester
demi semester selanjutnya kuhabiskan
dengan belajar. Berusaha menekuni apa yang menjadi beban belajarku tiap
semester. Aku memang bukan peraih IPK tertinggi di jurusan, tapi tetap saja
lulus dengan sangat memuaskan.
Ayahku bisa
berbangga-bangga pada sahabatnya. Bahwa anak gadisnya sangat pintar. Berhasil masuk ITB dan kuliah teknik.
Aku senang-senang saja bisa dibanggakan Ayah. Namun tetap saja, kadang ada
kehampaan yang tidak bisa ku jelaskan.
Hari
berkumpul menjadi minggu, minggu berbuah bulan, dan bulan melahirkan tahun.
Masa-masa kuliah yang beratpun berakhir. Aku bisa menjauhkan diri dari segala
hal yang berbau reaksi kimia. Bayangan akan kebebasan terpeta jelas. Aku
berharap Ayahku sudah menganggapku cukup dewasa untuk mengambil langkah
sendiri.
“Ayah lihat
banyak teman kamu yang dikontrak kerja bahkan sebelum mereka lulus. Kamu
bagaimana, Mayang?”
“Mayang masih
letih, Yah. Boleh kan kalau santai dulu barang beberapa bulan?”
“Oh jadi anak
Ayah ini mau jadi pengangguran dulu ya? Iya gak apa-apa. Santai saja, Nak.
Nanti kalau sudah cukup istirahatnya, bilang Ayah. Nanti ayah carikan lowongan
yang pas buat kamu.”
Akupun
mengangguk pasrah. Apa memang aku masih harus dipapah dalam setiap langkah
hidupku? Apakah semua nasib anak tunggal seperti aku? Apakah masih harus
ditunjukkan setiap lubang di jalan, setiap tikungan, setiap tanjakan? Kapan aku
dianggap dewasa?
Akupun lalu
membuka laptop. Aku ingin menuliskan semua yang kurasakan. Sampai
sedetail-detailnya. Tanganku menari dengan lincah. Tapi tetap saja tidak bisa
mengimbangi kecepatan kata-kata yang meluncur deras. Semuanya berebutan untuk
dituangkan. Seperti air bah, akupun kesulitan mengendalikan luapan emosiku.
*
“Mayang, kamu
masih belum mau bekerja, Nak?” Ibuku menyodorkan segelas teh manis padaku yang
sedang asyik membaca novel.
“Ayah nanya
ya, Bun?” Ibu mengangguk.
“Iya.
Bukankah kamu sudah 6 bulan di rumah saja. Membaca bertumpuk-tumpuk novel.
Tidak bosan?”
Aku
menyelipkan pembatas buku di halaman yang sedang ku lahap, lantas menutup
bukunya.
“Mayang tidak
mau kerja, Bunda. Mayang sudah lelah mengikuti kemauan Ayah. Mayang mau jadi
penulis. Dengan atau tanpa persetujuan Ayah.”
Ibuku
terdiam. Matanya bergerak-gerak gelisah. Siapa lagi yang paling mengetahui
karakter Ayah selain ibuku ini?
“Mayang...
Ijazah teknik kamu itu mau diapakan? Sayang, kan? Kamu bisa menulis di
sela-sela pekerjaan kamu. Dengan begitu, kamu masih bisa punya penghasilan
besar, juga bisa menekuni hobi kamu. Bagaimana?”
Aku
menggelengkan kepala kuat-kuat. Ini hidupku. Biarkan aku yang mengisinya,
tekadku dalam hati.
*
Naskah itu telah ku selesaikan. Kumpulan
alfabetis yang sudah mulai kuguratkan saat masih kelas 1 SMA. Aku sudah
bertekad bahwa aku akan menjadi penulis. Aku ingin mengisi hidupku dengan
impian-impian yang kutuangkan dalam bentuk cerita. Dalam bentuk artikel, puisi,
cerpen, novel, prosa, apa saja.
Akan kusentuh
orang tua yang kurang memperhatikan anaknya. Akan kusindir
pemerintah-pemerintah yang lupa pada rakyatnya. Akan kupacu semangat mereka,
orang-orang yang berkutat dengan peluh dan luka untuk bisa mengisi perutnya.
Semuanya akan aku sapa. Dimulai dari laptop kecil yang ada ditangaku, dengan
jemari sebagai pedangnya, aku tidak hanya menulis, tapi juga membangun
peradaban. Ya, mimpiku telah mulai mewujud bentuknya.
Sudah
kuputuskan karya pertamaku adalah karya yang sudah mengendap di laptopku selama
bertahun-tahun. Karya iseng yang kutulis saat aku kelas 1 SMA itu kini sudah
rampung. Tidak bisa dipungkiri dalam penulisan novel pertamaku itu latar
belakang pendidikanku yang berbau kimia ikut muncul. Ternyata memang hal yang
paling mudah adalah menuliskan apa yang setiap hari kita jumpai. Dengan penuh
harapan akupun langsung mengirimkan naskah ke penerbit mayor.
“Mau kamu apa
sih?”
Masih
terngiang bentakan dari Ayah beberapa bulan yang lalu. Tapi aku tidak gentar.
Gemetar-gemetar yang menyelusup kucoba sembunyikan rapat-rapat.
“Mayang ingin
menulis. Mayang ingin membangunkan orang-orang yang saat ini sedang tidur.” Aku
memberanikan diri untuk menatap matanya. Berusaha menunjukkan bahwa aku tidak
sedang main-main.
“Hah? Kamu
harusnya ngaca dulu mau bicara kayak gitu! Yang tidur itu kamu! Sarjana teknik
milih jadi pengangguran? Dimana otak kamu, Mayang?”
Untunglah
saat itu aku bisa mengendalikan diri dan tidak ikut emosi. Akhirnya muncul
kesepakatan. Jika pada tahun ini, yang berarti tersisa enam bulan lagi, bukuku
berhasil terbit, Ayah akan mengizinkan aku menjadi penulis. Tapi jika tidak,
maka aku harus bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikanku itu.
Aku yakin
bahwa aku mampu. Seyakin menunggu mentari esok yang pasti terbit.
*
“Ayah...
Novelku sedang dalam proses penerbitan!” Aku berteriak senang.
“Benarkah?”
Alisnya naik sebelah.
“Tepati janji
Ayah, ya! Mayang tidak harus kerja, kan?”
“Sesukamu
sajalah.” Katanya sambil masuk ke kamar.
Akupun merasa
menang. Setelah ditolak empat kali, penerbit kelima mau menerima karyaku. Mulai
sekarang aku bisa melukis macam-macam mimpi, di kanvasku sendiri. Mimpi yang
kemudian bisa kubagikan pada banyak orang.
Handphoneku
bergetar, lalu menyanyikan lagu favoritku. Sederet nomor tak dikenal
berkedip-kedip di layar.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum
salam. Ini dengan Mbak Mayang, ya? Saya Asti. Saya editor yang akan mengedit
novel Mbak Mayang.”
“Oh iya, Mbak. Terima kasih. Ada yang bisa saya
bantu?”
“Naskah hardcopy Mbak Mayang yang kemarin masih
di Pak Salim. Beliau sedang ke luar kota dan tidak akan kembali dalam waktu
dekat. Katanya naskah Mbak Mayang terbawa. Bisa Mbak kirim ulang? Via e-mail
saja.”
“Baik, Mbak.
Terima kasih. Saya akan segera kirim.”
Setelah
mencatat alamat e-mail yang dimaksud, akupun berjalan menuju garasi. Laptopku
ada di dalam mobil. Namun sampai di garasi aku mengerutkan kening. Lalu
menepuknya pelan.
“Oh iya ya. Tadi kan aku parkir di luar
rumah.” Aku lupa, mobil memang belum dimasukkan ke garasi, masih kuparkir di
pinggir jalan dekat rumah. Tadi saat pulang, sudah diklakson berkali-kali tidak
ada yang membukakan pagar, apalagi pintu garasi.
Aku melihat
mobilku masih terparkir di tempat yang sama. Namun tiba-tiba kepanikan dan rasa
takut berebut mendominasi perasaanku. Kaca di bagian pinggir mobilku pecah.
Serpihan-serpihan kaca bertebaran di mana-mana. Aku berlari, memaksa kakiku
untuk bergerak walau rasanya tulang-tulang di kakiku mendadak hilang. Rasa
takutku terbukti. Laptop yang tadi kusimpan di kursi depan sudah tidak ada. Aku
teringat pada mimpiku yang sebentar lagi mewujud. Haruskah ia pergi tanpa
pernah benar-benar datang? Mimpiku dicuri!***