Pencarian?


Karena saya berkata benar. Semoga tidak termasuk munafik. Ketika saya mengatakan saya akan mendukungmu, maka itulah yang akan terjadi. saya mungkin menukil satu persatu kata yang terlihat—atau mungkin terdengar—carut marut. Kata-kata yang bahkan saya sendiri saja tidak begitu paham. Karena mungkin terlalu sulit untuk diurai.
Pun ketika semalam saya bermimpi. Mimpi yang tampak terlalu nyata, meski ternyata setelah bangun tidur, mimpi itu tak lagi terlalu istimewa. Hanya bercerita tentang kesetiaan saya, pada seseorang (atau mungkin sesuatu?) yang tetap saya pegang teguh bahkan dalam kondisi yang amat kritis...
Biarlah, mungkin mimpi itu hanya ilusi dari otak saya, di sudut yang dinamakan para ahli sebagai subconcious mind, yang kelewat lelah menumpuk kecemasan saya. Kecemasan-kecemasan yang tidak berhasil saya hilangkan sebelum tidur, akhirnya saya tabung di ruang subconcious mind itu, lalu kemudian tumpukan itu perlahan menjelma urat-urat mimpi yang terkadang menyesakkan. Membuat jantung saya berpacu lebih cepat, dengan keringat mengucur deras, dan tentu saja, ketidaknyamanan saat bangun tidur. Lalu beberapa detik setelahnya saya akan sakit kepala. Migrain yang biasanya hilang jika ditidurkan, kini malah muncul. Berlebihankah jika selanjutnya mimpi-mimpi itu saya namai si pemanggil migrain?
Lantas, kemana saya harus mencari? Apa usaha saya untuk mengurangi kecemasan-kecemasan itu? Sementara saat saya hendak berbicara, saya terlampau gagap. Akhirnya, hanya bisa saya simpan dalam hati. Kadang terbawa mimpi (lagi). Atau mengalir bersama air mata yang kadang saya tak suka. Atau berakhir seperti ini, tulisan-tulisan di Ms Word yang saya berikan proteksi di laptop. Atau meng-copy tulisan berproteksi itu di halaman blogger dan memajangnya di blog sebagai untaian kata-kata yang tidak bermakna.
Terlepas dari segala “kecemasan” yang masih sulit saya uraikan bahkan pada telinga sendiri, saya sadar, kini saatnya saya mencoba menggali. Menggali apa saja. Mungkin tulisan-tulisan di loakan. Mungkin ayat-ayat suci yang menenangkan. Mungkin ilmu yang meneduhkan. Mungkin senyum kawan. Entahlah. Yang paling penting adalah, harus ada tindakan. Karena saya juga bosan berputar-putar di titik yang sama. Seolah maju berpuluh-puluh langkah, padahal sejatinya, saya hanya berjalan di tempat. Sedang waktu tetap memacu, memburu.
Sebelum saya menggali ke tanah-tanah asing yang menanam banyak duri, mungkin sebaiknya saya mulai dari hati sendiri. saya mulai pencarian dari kenangan mata saya sendiri. Dalam keranjang-keranjang bias yang sudah setengahnya terpenuhi. Pasti ada sesuatu di sana.
Tulisan pagi ini mungkin tanpa esensi. Dan saya tak hendak membaca ulang jejak jemari saya kali ini. Hanya ingin menulis. Tanpa editing, tanpa mengubahnya agar lebih enak di baca. Biarlah. Yang penting sudah ada yang mengalir. Dan saya mohon maaf bila ada yang membaca, lalu merasa bingung, saya bicara apa?
Tapi, saya yakin. Akan selalu ada yang mengerti ini. Karena saya bicara di balik kata. Ia akan mengerti, bahkan sebelum kata itu saya bahasakan. Mungkin, penyemangat terakhir dari murabbi saya kemarin siang, bisa membantu saya memulai pencarian. “La takhof, wa la tahzan, teh Siti.”


Di karpet biru usang,
29 Desember 2012
07:05 am


READ MORE - Pencarian?

Read Comments

Sandal Jepit Putus

Dulu, pas lagi getol-getolnya ikut lomba nulis, saya sempat ikutan lomba penulisan FF (cerita pendek yang maksimal 500 kata). Banyaaak banget yang saya ikuti, ada yang berhasil lolos dan berhadiah pulsa, ada yang dimasukkan buku antologi, lebih banyak lagi yang ditolak. Ini salah satu yang ditolak. Pas dibaca lagi sekarang, memang rada aneh.. pasti biknnya buru-buru.. keliatan banget ngetik ceritanya dipersingkat, takut lebih dari 500 karakter kali, ya? Hehehe... Lumayan lah FF-nya buat penuh-penuhin blog sendiri ^_^

Sandal Jepit Putus

“Kenapa sih, sandal jelek kayak gitu masih kamu pake juga?” Sri memandang heran pada Kia.     
“Kesayangan, Sri.” Jawab Kia cuek, mulutnya penuh oleh bakso, membuat pipi putihnya menggembung.
“Kan malu, Ki. Sendal kamu itu, aduh...” Sri menggelengkan kepalanya. Yang diceramahi malah melotot. Bukan marah, tapi sepertinya bakso yang dimakan kelewat pedas. Lantas ia meraih gelas berisi air putih, nasib air itu tamat dalam sekali tenggak.
“Udah gak usah bawel. Ini sendal keramat pokoknya. Tak tergantikan. “
Kurang lebih sudah dua bulan Kia memakai sandal butut itu. Sandal jepit karet yang sudah putus. Mungkin, dulu warna dasarnya putih. Tapi sekarang sudah cokelat kusam. Dasarnya sudah sangat tipis, dengan banyak sekali baret.  Sandal sebelah kanan kondisinya lebih kritis dari yang kiri. Talinya yang putus disambung paksa, direkat oleh tali. Mending kalau warnanya merah, senada dengan warna tali sendalnya, lha ini, kuning! Kia nyaris memakai sandal ini seharian penuh. Tak peduli pergi kemana, dengan siapa. Namun untungnya Kia masih cukup waras untuk tetap memakai sepatu hitam ke sekolah. Jika ditanyai sejarah sandal itu, Kia tetap bungkam. Ia tidak mau bercerita, bahkan pada Mamanya sendiri.
*
“Mama, liat sandal jepit Kia enggak?”
“Yang putus itu? Tadi Mama buang ke tempat sampah.”
Kia langsung berlari ke luar. Membuka pintu pagar dan segera memeriksa bak sampah. Dengan kaki, ia mencari sendal jepit kesayangannya. Kakinya bergerak lincah, berharap menemukan sandal yang ia cari. Namun ternyata sandal itu tak bisa ditemukan. Akhirnya tanpa ragu, tangan Kia turun ke medan tempur. Diabaikannya bau tidak sedap yang menguar merasuki lubang hidungnya.
“Kia?” ia tidak menoleh. Ia abaikan Mamanya dan tetap mencari.
“Maaf, Nak. Sandalnya Mama sembunyikan. Mama ingin tahu ada apa sebenarnya dengan sandal itu. Ceritakan, nanti Mama kembalikan sandalnya.”
Kia menarik nafas panjang. Dipandangi Mamanya dengan sedikit kesal.
“Mam, dulu aku shalat di masjid alun-alun. Terus sandalku hilang. Uangku cuma ada untuk naik angkot. Jadi aku terpaksa pulang gak pakai sandal. Orang-orang cuma ngeliatin, gak ada yang peduli. Sampai ada anak seusiaku, namanya Yeyen. Dia pemulung, Mam. Dia memberikan sandalnya. Asalnya aku gak mau, kasihan. Tapi dia tetap maksa. Dia bilang, gak pantas orang kaya seperti aku kalau pulang gak pakai sandal.”
Ibu Kia mulai mengerti jalan pikiran anaknya. “Terus gimana, Nak?”
“Dia bilang, pakai saja. Saya sudah biasa, kok. Mudah-mudahan di perjalanan pulang nanti, saya bisa nemu sandal di tempat sampah. Nah, sejak hari itu, aku bersahabat sama Yeyen. Aku sering bawakan dia buku, Mam. Dan dia bilang, sandal ini hadiah persahabatan untukku. Jadi ayo balikin sandalnya, Mam...”
Mama Kia memeluk putri kesayangannya erat-erat. Dia bangga sekali pada Kia.
“Aduh, sayang. Kamu bau banget. Mama jadi ikut-ikutan bau sampah.” Ujar mamanya sambil pura-pura meringis.
***

READ MORE - Sandal Jepit Putus

Read Comments

Panggil Aku Semesta

Semesta menarikan sunyi
Gerakan tiada pasti
Menyimpan misteri
Tangan-tangan besar pengendali

Semesta melarikan puisi
Diam sekaligus berlari
Mengejar entah apa lagi
Menisik lapis demi lapis imaji

Semesta kemudian terpejam
Di tengah malam yang buram
Meninggalkan jejak-jejak kusam
Sampai karam
Sampai padam
Dan aku menjuju; terdiam

Semesta memakan hati
Memperdengarkan cerita nabi
Yang tak habis dibagi-bagi
Menelikung batas-batas sastrawi

Dan semesta masih meminta
Keping-keping gulana
Sampai aku lelah bertanya;
Kenapa harus ada semesta?


Pagi buta,    
hari belum bermata,
ruang empat dinding dengan laptop menyala
mata dipaksa terbuka
10-12-2012

READ MORE - Panggil Aku Semesta

Read Comments

Ketika Aku


ketika aku merasa lelah
bosan pada hari
pada waktu

ketika aku merasa terlambat
mengenali diri
tingkah menyempurna tawa
menggagas rasa

ketika aku merasa sendiri
saat si pura-pura mengelilingi
bayang berbaris rapi
seolah mendampingi
namun semuanya pergi
bersamaan dengan cahaya yang tak lagi pagi

mungkin itulah saatnya bertanya
kemana janji
kemana kiap
sekelumit hisap
lelah, bosan tiarap

aku tengadah:
memandang atap
coba resapi setitik senyap

(dikejauhan, lagi rintik hujan menipis, setipis udara kamarku malam ini, dan aku mencoba untuk tidak peduli)



READ MORE - Ketika Aku

Read Comments

Penjual Cilik


Dengan langkah perlahan kutelusuri jalan yang berkelok-kelok itu. Khas kampungku. Jalan berliku yang tidak mudah dihafal jika baru dilewati sekali dua kali. Anak-anak berceloteh.  Langkahku terhenti tepat di sebelah rumah. Lima orang anak duduk, membicarakan sesuatu. Aku kenal betul anak-anak itu. Yang dua adalah sepupuku, yang tiga lagi tetangga. Depan, samping, belakang rumah. Pokoknya mereka semua tetanggaku.
Biasanya mereka bermain mobil-mobilan, berkejaran dengan sepeda, bahkan bulu tangkis. Bak pemain profesional, mereka mengayunkan raket dengan berbagai ekspresi, walaupun pada kenyataannya jumlah kok yang menyasar ke atap lebih banyak daripada jumlah ketepatan pukulan mereka. Biasanya, jika sudah seperti itu, mereka akan mengetuk pintu rumahku. Meminta lagi kok bekas. Ayahku, yang memang menggilai badminton, setiap pulang dari gor pasti memunguti kok bekas. Disimpannya kok yang sudah tak layak pakai itu untuk mereka, anak-anak yang senantiasa ceria.
Namun kali ini, ada yang lain. Mereka duduk di teras, rapi di sekeliling meja lipat. Aku tebak gambarnya tidak akan jauh dari spongebob atau ben ten. Meja itu tertutup gambarnya oleh taplak sederhana. Diatas meja itu, teronggok banyak plastik berisi cairan warna-warni.  Merah, kuning, coklat, bahkan warna yang aku tak tahu apa namanya.
Aku yang biasanya melenggang cuek, tanpa bertanya basa-basi, kini berhenti tepat di depan mereka.
“Apa itu?” tanyaku, menunjuk jejeran cairan warna-warni dengan dagu.
“Jualan minuman teh.” Ujar salah satu sepupuku. Ia menyebut berbagai merk minuman murahan yang sering masuk acara investigasi karena banyaknya zat tidak sehat di dalamnya.
Aku tersenyum di kulum. “berapa satunya?”
“Lima ratus. Yang banyak seribu.”
Aku menatap mereka. Lima pasang mata yang juga balas menatapku.
“Siapa yang bikin?” tepatnya siapa yang nyeduh. Karena itu minuman instan yang tinggal diberi air.
“Kita dong.” Jawabnya lagi , bangga.
“Beli  minumannya pakai uang siapa?”
“Udunan.” (patungan, b. Sunda) jawaban mereka, kompak.
Tiba-tiba rasa itu menyeruak. Akumulasi dari berbagai rasa yang tidak bisa didefinisikan. Yang lebih dominan, mungkin rasa rinduku pada masa kecil.
“Teteh beli dua ya.” Jawabku sambil menyodorkan uang seribu rupiah.
Mereka bersorak girang. Menyerahkan dua bungkus minuman warna-warni yang isinya sangat sedikit, dibungkus plastik berhekter. Dilihat dari manapun, memang tidak ada yang istimewa dengan minuman itu. Mungkin dengan modal satu bungkus mar*mas yang mereka beli, bisa menghasilkan lima sampai enam kemasan yang dijual lima ratus, karena bungkusannya memang sangat kecil. Dan aku tidak berminat untuk meminumnya. Siapa yang jamin bocah-bocah itu menyeduhnya dengan air masak? Hehe...
Aku langsung masuk ke dalam rumah. Menuju kamar, merenung. Kepolosan mereka, senyum mereka, membuat apa yang ada di kepalaku menguap seketika. Semuanya jadi terdengar remeh sekali. Keluhan-keluhanku seputar pekerjaan, kuliah, skripsi, uang, semuanya tampak kerdil sekali. Dan aku menyerusuk rindu. Pada masa kecilku, pada senyum mereka yang mungkin sudah tidak lagi aku miliki.
Dan aku teringat masa kecilku, yang juga kerap berjualan macam itu. Aku ingat betul. Walaupun “produk” kami sama sekali tidak menarik, bahkan cenderung tidak masuk akal untuk dijual, tapi nyatanya selalu laris manis. Itulah kasih sayang orang dewasa kepada anak-anak.
“Ayo, dibeli dibeli... minuman banyak rasa.” Suara lantang mereka masuk lewat jendela kamarku.
“udah ada yang beli belum?” tanya seseorang, yang tidak terlihat sosoknya namun suaranya terdengar jelas.
“udah dong, barusan dibeli dua sama Teh Ai.” Ujar suara anak yang lebih kecil.
  Lagi, aku tersenyum.

*catatan lama, kutemukan tak sengaja saat membuka-buka folder “Fulki Ilmi“ ^_^

READ MORE - Penjual Cilik

Read Comments

(Bukan) Cinta dalam Gelas


      Satu hari lagi yang Alloh berikan padaku untuk disyukuri. Hari ini anak-anak sekolah dengan gembira, paska libur empat hari yang menyenangkan. Beberapa persiapan memang harus saya lakukan menjelang UAS. Tapi rasanya saya sudah bisa meng-handle dengan baik.
Hujan turun terus menerus di Bandung. Menyisakan kantuk, sedikit gerutuan, dan mungkin alasan bagi banyak orang untuk menunda aktivitas. Dan mungkin lagi, saya salah satu dari orang-orang itu. Saya suka hujan. Bahkan nge-fans. Saat hujan, mood saya biasanya membaik. Ada kedamaian saat mendengar titik-titik hujan di genting kamar saya. Ada kenyamanan saat memandangi jendela basah. Atau bahkan di bau tanah basah yang tersiram hujan. Tapi belakangan ini, semenjak saya resmi menjadi pengendara motor lintas kota (ecie bahasanya -_-;) hujan menjadi faktor yang sedikit tidak menyenangkan bagi saya. Apalagi kalau hujannya ekstrim, dengan angin besar dan petir menyambar-nyambar.
Dua hari lalu turun hujan yang seperti itu. Dengan kondisi sendirian di rumah, rasanya cukup menakutkan. Saat itu, dua pohon besar di dekat rumahku tumbang. Dan di daerah Kiara Condong—menurut televisi—banjir lumayan parah.
 Saya yang memang tampaknya hanya memiliki sedikit cadangan lemak, biasanya langsung mual setelah kehujanan. Apalagi sore-sore begini. Mandi dengan air hangat menjadi agenda menyenangkan setelahnya. Lalu segelas susu coklat hangat, berselimut sambil menunggu magrib menyapa. Telinga disumpal headset yang mengalunkan alunan ayat suci Al-Qur’an, damai sekali rasanya. Hmm, ternyata masih selalu ada sisi baik dari hujan, walaupun ia turun besar-besaran. Bukan hujan rintik-rintik macam favorit saya. ^_^
Ditengah kesibukan saya membuat soal Formatif dan kisi-kisi Sumatif, saya menyempatkan diri untuk menulis. Saya harap kedepannya saya tetap bisa menulis. Menulis apapun, jika memang membuat cerpen rasanya sudah (sedikit) tidak memungkinkan, setidaknya saya bisa menulisi blog sendiri. saya bukan tipe orang yang ingin menaikkan rating blog dengan blog walking, atau apapun lah itu, saya gak ngerti. I just need a little space for pouring my words out. Bahkan saat tidak ada yang membaca sama sekali, saya tetap merasa nyaman dengan itu.
Masih bicara tentang hujan. Entah ini hanya perasaanku saja, atau memang rata-rata semua orang mengalami ini? Biasanya saya akan teringat keluarga kalau hujan sedang turun. Bahkan saya bisa tiba-tiba mellow gak jelas, tiba-tiba ingin menangis tanpa alasan yang pasti. (Hmm, mungkin terlalu banyak dosa)
Saya jadi teringat buku Andrea Hirata yang judulnya Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas. Novel dwilogi yang dicetak menjadi satu buku. Saya pernah melihatnya beberapa kali di Gramedia. Bukunya dibuat dua sisi berlawanan. Mungkin kalau dulu ada majalah anime yang dicetak begitu, namanya majalah Animonster. Saya baru khatam membaca buku yang judulnya Padang Bulan. Sedang yang Cinta dalam Gelas, saya baru membaca separuh. Tapi saya sudah dapat intinya. Cinta dalam gelas itu ternyata filosofi dari secangkir kopi. Bagaimana secangkir kopi bisa menyiratkan cinta. Penulisnya memang amat cerdas. Saya tidak pernah bosan membaca novel Andrea Hirata.
Lalu saya mengingat juga, segelas cinta yang diberikan ibu saya, hampir setiap hari. Ibu saya berjualan kecil-kecilan di rumah. Jadi, pagi hari saat saya hendak berangkat mengajar, biasanya Ibu saya sudah berangkat ke pasar. Tapi di meja makan selalu tersedia segelas jahe panas yang dicampur gula merah. Saya selalu ingat kata-katanya, “sarapan, nanti masuk angin.” Dan saya, yang entah kenapa sedikit bermasalah dengan sarapan akhir-akhir ini, kadang tidak enak karena Ibu saya sudah menyiapkan sarapan, tapi saya tidak memakannya. Bukan karena saya tidak mencoba. Tapi biasanya, makanan itu keluar lagi sejak suapan pertama. Perlu usaha ekstra untuk bisa menghabiskan sepiring nasi goreng di pagi hari. Oleh karena itulah, Ibu biasanya menyiapkan segelas kecil air jahe untuk menyiasati saya yang enggan sarapan. “Biar perut kamu hangat.” Itu katanya. Cintanya lebih dari sekedar cairan yang disajikan dalam gelas, saya rasa.
       Atau mungkin cerita dari seorang Bapak yang setiap pagi mengeluarkan motor, memanaskan mesinnya, mengelapi setiap jengkal dari motor itu, mengecek rem, lampu, dan apalah lagi bagian motor yang lainnya, saya tidak tahu.
Ya, benar. Bapak melakukan itu setiap pagi. Saat saya siap-siap di dalam rumah, beliau berkutat di halaman, mengecek kalau hari itu ada yang aneh dengan motornya, dengan wajah serius.
Bahkan saat aku keluar rumah dengan kondisi siap berangkat, beliau masih di sana. berdiri, tersenyum, menanggalkan standar motor, dan sebagai gantinya, memegangi motor itu dengan tangannya.
“Helm? STNK? SIM? Sarung tangan?”
Aku mengangguk.
“Spionnya udah enak?” tanyanya lagi sambil menggeser-geser letak kaca spion.
Aku mengangguk lagi. Dan itu berlangsung setiap pagi.
Beliau juga yang akan mengeringkan, melipatkan, dan memasukkan jas hujan yang masih tergantung di kamar mandi akibat masih basah karena kemarin sudah dipakai. Tanpa diminta, beliau sudah menyiapkannya. Beliau juga meyiapkan sandal saya. Di sekolah, sepatu di lepas. Jadi saya membawa sandal jepit untuk dipakai di kelas. Biasanya, setiap Jum’at, saya bawa pulang  sandal itu untuk dicuci. Dan Beliau tahu itu. Setiap Senin, sandal yang sudah saya cuci itu, sudah beliau siapkan di motor.
Dan kadang, segelas air jahe dan sandal jepit yang menggantung di motor itu membuat saya berangkat dengan mata berkaca-kaca. Tanpa diminta, mereka melakukannya setiap pagi. Padahal saya sudah cukup besar untuk memarut jahe sendiri, atau mengeluarkan motor sendiri, apalagi untuk menyiapkan jas hujan dan sandal sendiri. tapi mereka tetap melakukannya setiap pagi.
Itu bukan lagi cinta yang terhidang dalam gelas. Entah cinta dalam apa. Yang jelas saya merasakannya. Mungkin, tidak ada wadah yang cukup besar untuk mengemasnya. Saya ingat kata-kata dosen Filsafat saat saya semester tiga, dan saya benar-benar tersentuh saat itu,  “Orang tua itu adalah orang yang aneh. Coba lihat ayah kalian. Ia bekerja dari siang sampai sore, mungkin malam, hanya untuk mencari uang demi keluarga. Setelah dapat uangnya, bukan ia habiskan untuk sendiri. tapi malah ia belikan makanan untuk anak-anaknya di rumah. Kalian tau perasaan ayah kalian saat hasil kerja kerasnya seharian langsung habis sama kalian? Bukan kesal, bukan marah, tapi senang, aneh kan yah, bisa kayak gitu?” kami sekelas hanya diam, mungkin teringat pada ayah masing-masing.
Beliau melanjutkan, “Cinta orang tua begitu besar. Tapi, kalian tahu? Cinta orang tua yang segitu besarnya, tidak akan mencapai sepersepuluhnya dari cinta Alloh pada kalian.” Kami semua meresapi ucapannya dalam diam. Entah teman-teman sekelasku masih ingat kata-kata Pak Dosen atau tidak. Yang jelas, buat saya, kata-kata itu lebih menempel dibanding nasihat-nasihat yang lainnya.
Hmmh, Posting kali ini cukup panjang. Hujan semakin menderas di luar sana. lima belas menit lagi adzan magrib berkumandang. Orang tuaku sudah di rumah. Adikku juga. However, intinya adalah... Semoga Alloh selalu mencintai kalian... Aamiin...


*) Disadur dari judul Novel Andrea Hirata; Cinta dalam Gelas

READ MORE - (Bukan) Cinta dalam Gelas

Read Comments

Tangan atau Kaki?

Seorang wanita berdiri mematut diri. Hening menyerangnya di segala sendi. Dibiarkan nadi itu berjalan sendiri. membawa bercawan-cawan racun yang telah disaringnya sejak tadi. Sekali lagi terlihat air mata membasahi pipi. Begitu bening, tanpa tepi. Tangisan itu adalah hal yang terakhir ia punya. Untuk ia gadaikan bersama segala harga diri.
Mungkin bantal-bantal yang sudah ditiduri selama ini membisiki lagu-lagu yang ranum. Menjadikan malamnya semakin berat dan semakin pincang. Memeluknya kuat, hingga fajar melepas rantai. Dan ia semakin ingin bertanya, mengapa diri ini semakin terasing, di tengah bayangannya yang memantul-mantul. Memantulkan sendiri. Memantulkan ngilu di seluruh sendi.
“Apa yang kau punya?” Sebuah suara tak berpita kini bertanya, seolah muncul dari ruas-ruang tulangnya yang rapuh.
“Aku punya tangan dan kaki. Untuk menapaki. Untuk berlari. Untuk menemani diri saat sendiri.” Lantas dihapusnya air mata yang menjejaki lantai. Mengejek sisa-sisa nurani yang mulai sulit dipunguti.
“Bilakah aku memintamu menyerahkan salah satunya untukku?”
Suara itu memantulkan kidung pahit yang tak tersentuh. Memaniskan racun yang sempurna tersepuh. Hingga kidung itu diam. Tak lagi berderik bahkan untuk seperempat detik.
“Lantas bila aku mati?” terbayanglah oleh gadis itu sebuah cacian keji. Dari malaikat-malaikat pencatat amal yang bukunya masih kosong tak berisi. Ia meringis, ngeri.
“Aku tak peduli.” Suara itu membahana, menyisakan keriap sunyi yang enggan pergi.
Bulan dibiarkan bersinar sendiri. Memahat lengkung-lengkung abadi yang tak pernah ia singgahi.
“Peluk saja resah itu, dan rasakan setiap getar tersamar yang kian nanar.”
Diujung gelisah, gadis itu merasa hidupnya tak lagi indah. Ia merutuk sayap-sayap yang terbang setengah. Ia membenci risau yang tak pernah habis dipotong pisau.
“Jadi, mana yang akan kau berikan? Tangan atau kakimu?” suara itu semakin merupa kidung. Sedang sang gadis semakin menjelma kabut. Ingin hilang diantara desah napasnya sendiri.  Diantara berjuta sel diri yang tak pernah ia kenali. Sekali lagi, gadis itu terdiam.
Menikmati keriap sunyi yang semakin terasa menghantui.




Catatan pertama di suatu pagi, di pertengahan November; 
Satu hari dimana usiaku semakin mendekati penghabisan.... 
Entah untuk berapa lama  lagi...


READ MORE - Tangan atau Kaki?

Read Comments

Dari Mereka yang Punya Cinta


Rasanya setengah dari hatiku masih tertinggal di sana. Diantara meja-meja kayu berderet, dan kursi plastik donal bebek. Tempat mereka biasa tersenyum, cemberut, bahkan mungkin gemetar karena aku yang jahil, senang membuat mereka merasa tegang. Aku tahu teori itu, punish and reward, ternyata memang cukup manjur untuk mendongkrak semangat belajar anak-anakku.
Tersebutlah di sana, di sudut masjid yang agak besar, ada sekolah berlabel TK dan TPA. Aku menghabiskan enam dari tujuh hari dalam seminggu di sana, saban sore, mengajar TPA. Anak yang ada di sana sekitar enam puluhan. Terbagi menjadi tiga kelas, dan kelasku adalah kelas pertengahan. Yang aku pegang adalah anak kelas tiga SD.
Tahun ajaran kemarin berlalu tanpa kendala, sampai mereka naik kelas ke TPA kelas lanjutan. Sayangnya, ada yang berbeda dengan tahun ajaran ini. Aku terpaksa pindah, di tengah-tengah semester, saat  baru tiga bulan mengajar.
Anak-anak itu berteriak protes, cemberut, merajuk, tapi ada juga yang berteriak kegirangan saat aku berkata hendak pindah. “Asyiiik Bu Siti pindah, gak ada yang hukum aku lagi.” Anak itu berteriak cengengesan, yang tentu saja membuatku tertawa. Sorak sorai kemenangannya itu lantas dikomentar panjang lebar oleh teman-temannya, yang memang menginginkan aku tetap mengajar di kelas itu.
Hmm, rasanya campur aduk. Bahkan kemarin, di pertemuan terakhir, aku tidak sempat minta maaf atas kesalahanku selama mengajar, dan juga belum sempat berterima kasih atas respect  mereka padaku selama ini. Alasannya sederhana—karena aku takut menangis di depan mereka. Kata perpisahan itu, begitu sulit diucapkan.
Salah satu anak yang paling pintar di kelas, kemarin menatapku sambil berkaca-kaca, “Ibu, jangan pindah ya, Bu?” tatapannya tulus. Aku hanya bisa mengacak-ngacak rambutnya—dalam kasus ini mungkin lebih tepat kerudungnya.
Dan yang bernama perpisahan memang akan selalu ada. Sebelum pulang, aku membagikan makanan ringan. Tidak istimewa, hanya seribu harganya. Tapi mereka menerimanya dengan sangat gembira. Salah satu dari mereka berteriak, “Ibu... makanannya gak akan aku makan. Mau disimpen aja, kenang-kenangan dari Bu Siti” lagi-lagi, aku hanya bisa tersenyum.
Hari itu aku tak lagi cerewet, tak lagi marah-marah. Aku biarkan mereka berteriak-teriak, tertawa-tawa, dan bercanda. Aku mengamati mereka, mencoba menangkap memori itu, dan mengkristalkannya dalam hati.
Aku tahu, walaupun mereka tampak amat sedih  hari ini, mereka akan segera kembali tersenyum,  kembali tertawa, dan kembali mencintai guru baru mereka, seperti mereka mencintaiku saat ini. Mungkin rasa berat untuk melepaskan itu, pada akhirnya hanya tersisa dalam hatiku. Karena hati mereka yang masih putih itu, akan segera kembali diisi dengan cinta-cinta baru yang sama, selalu  cinta murni, yang tanpa pretensi.
Pukul lima. Saatnya berdo’a dan pulang. Mereka sudah duduk rapi dengan tangan terlipat di atas meja. Kata-kata perpisahan itu masih begitu berat, padahal sudah di tenggorokan. Akhirnya aku melepas mereka tanpa sempat mengucapkan dua kata sakti itu, maaf dan terima kasih. Padahal aku ingin sekali mengucapkannya.
“Ibu, Ibu beneran harus pindah ya, besok? aku gak mimpi kan, Bu?” lagi-lagi anak itu menatapku berkaca-kaca. Aku hanya mengangguk, berdo’a dalam hati, semoga anak ini segera pulang, atau aku akan menangis di depannya. Ia mencium tanganku, lalu berjalan menjauh.
Anak-anakku, yang baik hati... maaf ya, kalau selama ini Ibu banyak salah... terima kasih untuk perhatiannya selama tiga bulan ini. Mudah-mudahan kalian menjadi anak yang shaleh, dan kelak menjadi saksi atas ilmu yang sudah kuamalkan ini, walaupun sangat sangat tidak seberapa...
Mungkin suatu hari nanti, aku akan datang ke kelas itu lagi, dengan tangan terentang dan ingin menumpahkan rindu, namun mereka hanya akan memandangiku dan bertanya, kayaknya kenal deh, ini siapa yah... hehehe... whatever, I love you so much, my kids!!!
Sebelum mereka pulang, aku meminta mereka menuliskan testimoni, aku menggunakan istilah kesan dan pesan agar mereka lebih mengerti. Tapi mereka tampak bingung, kening mereka berkerut-kerut, sebagian malah tampak frustasi. Aku memaksa mereka menulis sepanjang mungkin. Haha, aku lupa, mereka masih kelas tiga SD, dan  kemampuan mereka untuk menulis tentu saja masih sangat terbatas... Beberapa aku tuliskan di sini, untuk kenang-kenangan J

 “Ibu Siti orangnya baik, ramah, cantik. Paling takut kalo dihukum baca surat Ad-dhuha. Jadi aku gamau sekolah, lebih pengen ngaji. Kapan-kapan kesini ya. Jadi guru yang baik yaaa J” (Nazwa Azizah)


“Buat guruku Bu Siti. Bu siti baik ibu jangan galak-galak nanti kalau ibu pindah ibu ngajarnya ramah dan banyak bercanda-bercandaan pokoknya rame deh belajar sama ibu aku sedih karena ibu pindah ngajarnya pasti aku selalu inget sama ibu. Dimanapun dan kapanpun ibu suka galak kata temen-temen tapi kata aku ibu ga galak ibu baik sekali aku sangat sangat sedih” (Fitria)



“Ibu siti guru yang baik, suka ngajar yang pendek. Suka dites dan dihukum dan suka kasih bintang kalau yang banyak dikasih hadiah” (Aimar)



 “Bu Siti baik, suka ngehukum Akbar sama Buana, bu Siti kalau belajar suka ngetes ke depan 1orang-1orang, bu siti suka bikin bermain.” (Naufal)



“Ibu siti gurunya baik dan perhatian mengajarnya tertib dan saya pernah menghukum saya hanya satu kali ibu siti sangat merhatian sama saya salam bu siti” (Faisal)


“Bu Siti baik, perhatian ibu siti harus membaca surat dari teman-teman kita semua ibu siti juga harus mengirim surat untuk teman-teman semua ibu siti harus mengingat kita semua karena kita semua sayang pada ibu siti dan kalau kapan-kapan ibu siti main ke kita semua ibu berjuang untuk mengajar kami semua” (Trias)


“ibu siti itu memang bager, ngajarnya kaya tegang dan agak sebentar dan kadang suka dites terus kalau yang salah dihukum seringnya saya karena saya sering dihukum” (Akbar)

“Bu Siti baik pintar perhatian ngga galak ngajarnya baik hadirnya sering tidak pernah tidak masuk” (Fariz)

“Ibu Siti itu cantik, baik, ramah. Ibu siti itu gak pernah marah. Ibu siti selalu sabar walaupun murid-muridnya nakal. Ibu siti selalu menghukum murid-muridnya yang nakal. Ibu siti gak pernah marah sama aku. Ibu siti selalu menghukum akbar.” (Bunga)

“Ibu siti orangnya baik dan cantik dan pekei kacamata berwarna putih ibu besok pindah ke lembang” (Pasya)

“Bu siti itu orangnya baik dan cantik ngajarnya serius kalo salah suka dihukum tapi kalau ga salah suka dikasih bintang” (Alinda)

“Pengalaman Bu Siti. Assalamu’alaikum wr.wb. bu siti tuh orangnya baik, ramah, cantik. Ia tidak pernah marah walaupun marah busiti sambil bercanda bu siti aku seneng banget kalau bu siti masih ada di sini. Bu dalam kejelekan ibu sedikit banget. Gak ada galak-galak. Bu aku jujur dan terus terang dari kelas 2 aku pengen banget sama bu siti. Sekian dari saya! Wasalam J” (Selvi)

Huft, memang selalu menyenangkan menghabiskan hari bersama anak-anak. Walaupun saya meminta mereka mengkritik cara  mengajar saya, apa yang harus ditambah, apa yang mereka mau, ternyata yang mereka tulis adalah hal-hal seperti itu. Hehe, mungkin memang belum tepat ya, meminta kesan dan pesan pada anak sekecil mereka. Harusnya minta kritik tuh dulu ya, pas lagi PPL di SMA.
Sekali lagi... walaupun tidak akan ada satupun dari murid saya yang membaca, i just wanna say, thank you my kids.. I’m so sad right now... :(

READ MORE - Dari Mereka yang Punya Cinta

Read Comments

Skripsi pun ditempeli Puisi


Sempet-sempetnya nulis puisi, saat lagi gencar-gencarnya bimbingan... Puisi tanpa judul ini akan kau temukan, di lembar setelah cover skripsiku...

Hingar seketika lesap
Jeruji terpaksa kirap
Peluh, juga gelisah
Serentak hilang
dicuri waktu yang mulai lelah kubilang

telah kusimpan jejak lelahku di sana
di selasar rumah-rumah
di lipatan-lipatan senja
mengudara bebas
seterbang lelayang
tak hendak terikat benang

terbingkai sudah penat
tak terkemasi sendat
Tuhanku...
Apakah benar kini sudah saatnya
Aku mengalirkan apa yang terendap?

Siti Maemunah
(Dinding-dinding pucat kamarku, di sepuluh hari penghabisan Juni)
READ MORE - Skripsi pun ditempeli Puisi

Read Comments

Pencuri Mimpi


Dimuat Majalah Annida, tanggal 14 April 2012. Yuk mampir ke Annida, banyak bacaan bergizi di sana (www.annida-online.com)

Pencuri Mimpi
Oleh: Fulki Ilmi



Dan akhirnya akupun tetap berlari. Menembus pembatas-pembatas mimpi, yang sebetulnya kuciptakan sendiri. Aku berlari, menyongsong mimpi, menjemput kebahagiaan. Tak peduli jika akhirnya sepatuku rusak. Tak berhenti  walaupun aku terjatuh dan merasa sakit. Mataku hanya tertuju pada gumpalan-gumpalan harapan yang ada di depan. Aku harus berlari. Aku hanya bisa berlari. Sayup-sayup terdengar denting-denting melodi merdu. Melodi yang kekal, namun hadir tanpa lantun.
                Pria berkumis yang belakangan kuketahui bernama Pak Salim di depanku itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku menunggu dengan dada berdebar. Beberapa bulir keringat berjatuhan. Mungkin akumulasi dari panasnya cuaca dan  juga ketegangan yang kurasakan.  Detik-detik terbuang. Menyisakan partikel-partikel hampa yang saling bertabrakan di rongga-rongga tanya.
               “Saya suka. Ini buku pertama Anda?” Katanya sambil mengetuk-ngetukkan naskah ke meja kerjanya yang mengilap.
                “Benar, pak. Itu novel saya yang pertama.” Secercah harapan menghiasi sudut-sudut hatiku.
                “Belum coba ke penerbit lain?”
                “Sudah, Pak. Ini penerbit kelima yang saya coba. Tentu saja setelah saya perbaiki kekurangan-kekurangannya.”
                “Baik. Buku Anda akan kami terbitkan. Nanti hal-hal mengenai persyaratan dan royalti menyusul.  Tunggu telepon dari kami saja. Silakan tuliskan nomor Hp Anda. Dan, maaf, siapa tadi namanya? Saya lupa,”
                “Mayang, Pak. Mayang Nurmalasari.”
                Akupun melangkah keluar dari ruangan itu. Segala benda yang terlihat mataku terlihat lebih semarak, lebih berwarna. Langkahku ringan sekali, seperti melayang. Rasanya aku ingin memeluk semua orang.
*
                “Ayah sarankan kamu masuk ITB. Ambil saja teknik kimia.  Ayah perhatikan nilai kimia kamu selalu lebih tinggi dibandingkan matematika atau fisika.”
                Aku hanya diam.
                “Atau mau farmasi UNPAD? Tapi jangan ambil kedokteran, ya. Kuliahnya lama. Kasian kamu.”
                Akupun mengangguk pasrah. Aku takut untuk mengutarakan isi hatiku. Padahal ingin sekali aku berkata pada Ayahku, bahwa tidak hanya kimia yang nilainya tinggi di rapot. Bahasa  Indonesiaku juga nyaris sempurna. Kenapa hal itu bisa luput dari perhatian Ayah?
                Aku terlalu takut untuk melawan. Teringat kejadian saat aku masih kelas 2 SMA. Aku memaksa untuk masuk kelas bahasa. Aku mencintai sastra. Tapi Ayahku tetap memaksa, aku harus masuk kelas IPA. Saat itu keberanianku lebih  tinggi beberapa tingkat dari saat ini, mungkin karena pengaruh hormon yang belum stabil, sehingga aku meledak-ledak. Akibatnya, aku ditampar keras sekali. Kata Ayah, aku anak yang keras kepala.
                “Jadi mau yang mana? Kok diam saja?”
                “Terserah Ayah. Yang mana saja boleh, Yah.” Aku mencoba tersenyum.
                “Nah, bagus bagus. Itu baru anak Ayah. Nanti Ayah belikan ya formulir tesnya.”
*
                Semester demi  semester selanjutnya kuhabiskan dengan belajar. Berusaha menekuni apa yang menjadi beban belajarku tiap semester. Aku memang bukan peraih IPK tertinggi di jurusan, tapi tetap saja lulus dengan sangat memuaskan.
                Ayahku bisa berbangga-bangga pada sahabatnya. Bahwa anak gadisnya sangat  pintar. Berhasil masuk ITB dan kuliah teknik. Aku senang-senang saja bisa dibanggakan Ayah. Namun tetap saja, kadang ada kehampaan yang tidak bisa ku jelaskan.
                Hari berkumpul menjadi minggu, minggu berbuah bulan, dan bulan melahirkan tahun. Masa-masa kuliah yang beratpun berakhir. Aku bisa menjauhkan diri dari segala hal yang berbau reaksi kimia. Bayangan akan kebebasan terpeta jelas. Aku berharap Ayahku sudah menganggapku cukup dewasa untuk mengambil langkah sendiri.
                “Ayah lihat banyak teman kamu yang dikontrak kerja bahkan sebelum mereka lulus. Kamu bagaimana, Mayang?”
                “Mayang masih letih, Yah. Boleh kan kalau santai dulu barang beberapa bulan?”
                “Oh jadi anak Ayah ini mau jadi pengangguran dulu ya? Iya gak apa-apa. Santai saja, Nak. Nanti kalau sudah cukup istirahatnya, bilang Ayah. Nanti ayah carikan lowongan yang pas buat kamu.”
                Akupun mengangguk pasrah. Apa memang aku masih harus dipapah dalam setiap langkah hidupku? Apakah semua nasib anak tunggal seperti aku? Apakah masih harus ditunjukkan setiap lubang di jalan, setiap tikungan, setiap tanjakan? Kapan aku dianggap dewasa?
                Akupun lalu membuka laptop. Aku ingin menuliskan semua yang kurasakan. Sampai sedetail-detailnya. Tanganku menari dengan lincah. Tapi tetap saja tidak bisa mengimbangi kecepatan kata-kata yang meluncur deras. Semuanya berebutan untuk dituangkan. Seperti air bah, akupun kesulitan mengendalikan luapan emosiku.
*
                “Mayang, kamu masih belum mau bekerja, Nak?” Ibuku menyodorkan segelas teh manis padaku yang sedang asyik membaca novel.
                “Ayah nanya ya, Bun?” Ibu mengangguk.
                “Iya. Bukankah kamu sudah 6 bulan di rumah saja. Membaca bertumpuk-tumpuk novel. Tidak bosan?”
                Aku menyelipkan pembatas buku di halaman yang sedang ku lahap, lantas menutup bukunya.
                “Mayang tidak mau kerja, Bunda. Mayang sudah lelah mengikuti kemauan Ayah. Mayang mau jadi penulis. Dengan atau tanpa persetujuan Ayah.”
                Ibuku terdiam. Matanya bergerak-gerak gelisah. Siapa lagi yang paling mengetahui karakter Ayah selain ibuku ini?
                “Mayang... Ijazah teknik kamu itu mau diapakan? Sayang, kan? Kamu bisa menulis di sela-sela pekerjaan kamu. Dengan begitu, kamu masih bisa punya penghasilan besar, juga bisa menekuni hobi kamu. Bagaimana?”
                Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Ini hidupku. Biarkan aku yang mengisinya, tekadku dalam hati.
*
Naskah itu telah ku selesaikan. Kumpulan alfabetis yang sudah mulai kuguratkan saat masih kelas 1 SMA. Aku sudah bertekad bahwa aku akan menjadi penulis. Aku ingin mengisi hidupku dengan impian-impian yang kutuangkan dalam bentuk cerita. Dalam bentuk artikel, puisi, cerpen, novel, prosa, apa saja.
                Akan kusentuh orang tua yang kurang memperhatikan anaknya. Akan kusindir pemerintah-pemerintah yang lupa pada rakyatnya. Akan kupacu semangat mereka, orang-orang yang berkutat dengan peluh dan luka untuk bisa mengisi perutnya. Semuanya akan aku sapa. Dimulai dari laptop kecil yang ada ditangaku, dengan jemari sebagai pedangnya, aku tidak hanya menulis, tapi juga membangun peradaban. Ya, mimpiku telah mulai mewujud bentuknya.
                Sudah kuputuskan karya pertamaku adalah karya yang sudah mengendap di laptopku selama bertahun-tahun. Karya iseng yang kutulis saat aku kelas 1 SMA itu kini sudah rampung. Tidak bisa dipungkiri dalam penulisan novel pertamaku itu latar belakang pendidikanku yang berbau kimia ikut muncul. Ternyata memang hal yang paling mudah adalah menuliskan apa yang setiap hari kita jumpai. Dengan penuh harapan akupun langsung mengirimkan naskah ke penerbit mayor.
                “Mau kamu apa sih?”
                Masih terngiang bentakan dari Ayah beberapa bulan yang lalu. Tapi aku tidak gentar. Gemetar-gemetar yang menyelusup kucoba sembunyikan rapat-rapat.
                “Mayang ingin menulis. Mayang ingin membangunkan orang-orang yang saat ini sedang tidur.” Aku memberanikan diri untuk menatap matanya. Berusaha menunjukkan bahwa aku tidak sedang main-main.
                “Hah? Kamu harusnya ngaca dulu mau bicara kayak gitu! Yang tidur itu kamu! Sarjana teknik milih jadi pengangguran? Dimana otak kamu, Mayang?”
                Untunglah saat itu aku bisa mengendalikan diri dan tidak ikut emosi. Akhirnya muncul kesepakatan. Jika pada tahun ini, yang berarti tersisa enam bulan lagi, bukuku berhasil terbit, Ayah akan mengizinkan aku menjadi penulis. Tapi jika tidak, maka aku harus bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikanku itu.
                Aku yakin bahwa aku mampu. Seyakin menunggu mentari esok yang pasti terbit.
*
                “Ayah... Novelku sedang dalam proses penerbitan!” Aku berteriak senang.
                “Benarkah?” Alisnya naik sebelah.
                “Tepati janji Ayah, ya! Mayang tidak harus kerja, kan?”
                “Sesukamu sajalah.” Katanya sambil masuk ke kamar.
                Akupun merasa menang. Setelah ditolak empat kali, penerbit kelima mau menerima karyaku. Mulai sekarang aku bisa melukis macam-macam mimpi, di kanvasku sendiri. Mimpi yang kemudian bisa kubagikan pada banyak orang.
                Handphoneku bergetar, lalu menyanyikan lagu favoritku. Sederet nomor tak dikenal berkedip-kedip di layar.
                “Assalamu’alaikum.”
                “Wa’alaikum salam. Ini dengan Mbak Mayang, ya? Saya Asti. Saya editor yang akan mengedit novel Mbak Mayang.”
                “Oh iya,  Mbak. Terima kasih. Ada yang bisa saya bantu?”
                “Naskah hardcopy Mbak Mayang yang kemarin masih di Pak Salim. Beliau sedang ke luar kota dan tidak akan kembali dalam waktu dekat. Katanya naskah Mbak Mayang terbawa. Bisa Mbak kirim ulang? Via e-mail saja.”
                “Baik, Mbak. Terima kasih. Saya akan segera kirim.”
                Setelah mencatat alamat e-mail yang dimaksud, akupun berjalan menuju garasi. Laptopku ada di dalam mobil. Namun sampai di garasi aku mengerutkan kening. Lalu menepuknya pelan.
“Oh iya ya. Tadi kan aku parkir di luar rumah.” Aku lupa, mobil memang belum dimasukkan ke garasi, masih kuparkir di pinggir jalan dekat rumah. Tadi saat pulang, sudah diklakson berkali-kali tidak ada yang membukakan pagar, apalagi pintu garasi.
                Aku melihat mobilku masih terparkir di tempat yang sama. Namun tiba-tiba kepanikan dan rasa takut berebut mendominasi perasaanku. Kaca di bagian pinggir mobilku pecah. Serpihan-serpihan kaca bertebaran di mana-mana. Aku berlari, memaksa kakiku untuk bergerak walau rasanya tulang-tulang di kakiku mendadak hilang. Rasa takutku terbukti. Laptop yang tadi kusimpan di kursi depan sudah tidak ada. Aku teringat pada mimpiku yang sebentar lagi mewujud. Haruskah ia pergi tanpa pernah benar-benar datang? Mimpiku dicuri!***
READ MORE - Pencuri Mimpi

Read Comments

Lomba WR Lagi


DL: 30 Desember 2012

Bagi Sobat yang doyan nulis dan pengen tulisannya dibukukan, nah... sekarang inilah saat yang tepat untuk mewujudkan impianmu punya buku sendiri. Kami dari Smart Writing, penerbit lini indie dari Penerbit Writing Revolution, ingin membantu mewujudkan impian teman-teman punya buku sendiri.
Nah, bagi teman-teman yang berminat silakan baca syarat dan ketentuan LOMBA AMAZING BOOK WITH SMART WRITING, berikut ini:

Syarat dan Ketentuan:
  1. Terbuka untuk umum dan anggota Writing Revolution, dan gratis.
  2. Minimal ditulis oleh 2 penulis dan maksimal 10 penulis.
  3. Tema lomba bebas, selagi tidak mengandung unsur SARA, asusila, fitnah dan yang pastinya bukan karya plagiat/jiplakan.
  4. Panjang tulisan 60-120 halaman, kertas A4, spasi 2, jenis huruf Camria, Calibri atau Times New Roman, ukuran huruf 12, dengan margin halaman 3 cm semua sisi.
  5. Jenis tulisan bisa berupa kumpulan puisi, cerpen, esai, artikel, buku motivasi, agama, cerita anak, novel remaja, novel islami atau sastra, parentingtraveling, masakan, humor, cerita horor, funfiction juga boleh, dan lain-lain.
  6. Jumlah naskah buku yang dikirim tidak dibatasi, jadi boleh mengirim lebih dari satu naskah buku.
  7. Kelengkapan naskah yang dikirim: sinopsis (maksimal 2 halaman), halaman judul, daftar isi, naskah utuh buku (kami tidak menerima hanya beberapa bab saja), biodata penulis yang ditulis secara deskripsi/narasi.
  8. Naskah bukunya dikirim dalam LAMPIRAN FILE(Attach File) ke email:antologi_wr@yahoo.co.id (tulis: AMAZING BOOK#JUDUL#NAMA PENULIS)
  9. Harus membagikan informasi ini di note FB-nya minimal tag 30 teman, atau posting di Blognya.

SELEKSI NASKAH:
Seleksi Pertama:
§  Kami akan menyeleksi naskah berdasarkan syarat dan ketentuan seperti yang diatur dalam poin-poin di atas.
Seleksi Kedua:
§  Kami hanya akan menilai naskah buku yang sesuai dengan syarat dan ketentuan lomba ini.
§  Kemudian naskah tersebut dinilai oleh Dewan Juri untuk menentukan naskah yang layak sebagai pemenang.
 HADIAH:
Satu Pemenang Utama
§  Naskah pemenang diterbitkan indie di Smart Writing sebanyak 100 eksemplar (total senilai Rp 1.850.000,- untuk biaya produksi dan cetak buku).
§  Penulis mendapat royalti 10% untuk buku sebanyak 100 eksemplar tersebut.
§  Jika penjualannya bagus, kami akan mempertimbangkan untuk cetak nasional olehWritingRevo Publishing.

Tiga Juara Favorit:
§  Mendapat gratis biaya produksi senilai Rp 350 ribu.
§  Diskon 10% untuk biaya cetak buku di Smart Writing minimal 100 eksemplar.
§  Jika penjualannya bagus, kami akan mempertimbangkan untuk cetak nasional olehWritingRevo Publishing.

Lima Pemenang Hiburan:
§  Mendapatkan paket buku dari Penerbit Smart Writing senilai @Rp 100.000,-
Sponsor Utama:
§  Smart Writing (lini penerbit indie: www.penerbitsmartwriting.blogspot.com) 
READ MORE - Lomba WR Lagi

Read Comments
 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men