Dari Mereka yang Punya Cinta


Rasanya setengah dari hatiku masih tertinggal di sana. Diantara meja-meja kayu berderet, dan kursi plastik donal bebek. Tempat mereka biasa tersenyum, cemberut, bahkan mungkin gemetar karena aku yang jahil, senang membuat mereka merasa tegang. Aku tahu teori itu, punish and reward, ternyata memang cukup manjur untuk mendongkrak semangat belajar anak-anakku.
Tersebutlah di sana, di sudut masjid yang agak besar, ada sekolah berlabel TK dan TPA. Aku menghabiskan enam dari tujuh hari dalam seminggu di sana, saban sore, mengajar TPA. Anak yang ada di sana sekitar enam puluhan. Terbagi menjadi tiga kelas, dan kelasku adalah kelas pertengahan. Yang aku pegang adalah anak kelas tiga SD.
Tahun ajaran kemarin berlalu tanpa kendala, sampai mereka naik kelas ke TPA kelas lanjutan. Sayangnya, ada yang berbeda dengan tahun ajaran ini. Aku terpaksa pindah, di tengah-tengah semester, saat  baru tiga bulan mengajar.
Anak-anak itu berteriak protes, cemberut, merajuk, tapi ada juga yang berteriak kegirangan saat aku berkata hendak pindah. “Asyiiik Bu Siti pindah, gak ada yang hukum aku lagi.” Anak itu berteriak cengengesan, yang tentu saja membuatku tertawa. Sorak sorai kemenangannya itu lantas dikomentar panjang lebar oleh teman-temannya, yang memang menginginkan aku tetap mengajar di kelas itu.
Hmm, rasanya campur aduk. Bahkan kemarin, di pertemuan terakhir, aku tidak sempat minta maaf atas kesalahanku selama mengajar, dan juga belum sempat berterima kasih atas respect  mereka padaku selama ini. Alasannya sederhana—karena aku takut menangis di depan mereka. Kata perpisahan itu, begitu sulit diucapkan.
Salah satu anak yang paling pintar di kelas, kemarin menatapku sambil berkaca-kaca, “Ibu, jangan pindah ya, Bu?” tatapannya tulus. Aku hanya bisa mengacak-ngacak rambutnya—dalam kasus ini mungkin lebih tepat kerudungnya.
Dan yang bernama perpisahan memang akan selalu ada. Sebelum pulang, aku membagikan makanan ringan. Tidak istimewa, hanya seribu harganya. Tapi mereka menerimanya dengan sangat gembira. Salah satu dari mereka berteriak, “Ibu... makanannya gak akan aku makan. Mau disimpen aja, kenang-kenangan dari Bu Siti” lagi-lagi, aku hanya bisa tersenyum.
Hari itu aku tak lagi cerewet, tak lagi marah-marah. Aku biarkan mereka berteriak-teriak, tertawa-tawa, dan bercanda. Aku mengamati mereka, mencoba menangkap memori itu, dan mengkristalkannya dalam hati.
Aku tahu, walaupun mereka tampak amat sedih  hari ini, mereka akan segera kembali tersenyum,  kembali tertawa, dan kembali mencintai guru baru mereka, seperti mereka mencintaiku saat ini. Mungkin rasa berat untuk melepaskan itu, pada akhirnya hanya tersisa dalam hatiku. Karena hati mereka yang masih putih itu, akan segera kembali diisi dengan cinta-cinta baru yang sama, selalu  cinta murni, yang tanpa pretensi.
Pukul lima. Saatnya berdo’a dan pulang. Mereka sudah duduk rapi dengan tangan terlipat di atas meja. Kata-kata perpisahan itu masih begitu berat, padahal sudah di tenggorokan. Akhirnya aku melepas mereka tanpa sempat mengucapkan dua kata sakti itu, maaf dan terima kasih. Padahal aku ingin sekali mengucapkannya.
“Ibu, Ibu beneran harus pindah ya, besok? aku gak mimpi kan, Bu?” lagi-lagi anak itu menatapku berkaca-kaca. Aku hanya mengangguk, berdo’a dalam hati, semoga anak ini segera pulang, atau aku akan menangis di depannya. Ia mencium tanganku, lalu berjalan menjauh.
Anak-anakku, yang baik hati... maaf ya, kalau selama ini Ibu banyak salah... terima kasih untuk perhatiannya selama tiga bulan ini. Mudah-mudahan kalian menjadi anak yang shaleh, dan kelak menjadi saksi atas ilmu yang sudah kuamalkan ini, walaupun sangat sangat tidak seberapa...
Mungkin suatu hari nanti, aku akan datang ke kelas itu lagi, dengan tangan terentang dan ingin menumpahkan rindu, namun mereka hanya akan memandangiku dan bertanya, kayaknya kenal deh, ini siapa yah... hehehe... whatever, I love you so much, my kids!!!
Sebelum mereka pulang, aku meminta mereka menuliskan testimoni, aku menggunakan istilah kesan dan pesan agar mereka lebih mengerti. Tapi mereka tampak bingung, kening mereka berkerut-kerut, sebagian malah tampak frustasi. Aku memaksa mereka menulis sepanjang mungkin. Haha, aku lupa, mereka masih kelas tiga SD, dan  kemampuan mereka untuk menulis tentu saja masih sangat terbatas... Beberapa aku tuliskan di sini, untuk kenang-kenangan J

 “Ibu Siti orangnya baik, ramah, cantik. Paling takut kalo dihukum baca surat Ad-dhuha. Jadi aku gamau sekolah, lebih pengen ngaji. Kapan-kapan kesini ya. Jadi guru yang baik yaaa J” (Nazwa Azizah)


“Buat guruku Bu Siti. Bu siti baik ibu jangan galak-galak nanti kalau ibu pindah ibu ngajarnya ramah dan banyak bercanda-bercandaan pokoknya rame deh belajar sama ibu aku sedih karena ibu pindah ngajarnya pasti aku selalu inget sama ibu. Dimanapun dan kapanpun ibu suka galak kata temen-temen tapi kata aku ibu ga galak ibu baik sekali aku sangat sangat sedih” (Fitria)



“Ibu siti guru yang baik, suka ngajar yang pendek. Suka dites dan dihukum dan suka kasih bintang kalau yang banyak dikasih hadiah” (Aimar)



 “Bu Siti baik, suka ngehukum Akbar sama Buana, bu Siti kalau belajar suka ngetes ke depan 1orang-1orang, bu siti suka bikin bermain.” (Naufal)



“Ibu siti gurunya baik dan perhatian mengajarnya tertib dan saya pernah menghukum saya hanya satu kali ibu siti sangat merhatian sama saya salam bu siti” (Faisal)


“Bu Siti baik, perhatian ibu siti harus membaca surat dari teman-teman kita semua ibu siti juga harus mengirim surat untuk teman-teman semua ibu siti harus mengingat kita semua karena kita semua sayang pada ibu siti dan kalau kapan-kapan ibu siti main ke kita semua ibu berjuang untuk mengajar kami semua” (Trias)


“ibu siti itu memang bager, ngajarnya kaya tegang dan agak sebentar dan kadang suka dites terus kalau yang salah dihukum seringnya saya karena saya sering dihukum” (Akbar)

“Bu Siti baik pintar perhatian ngga galak ngajarnya baik hadirnya sering tidak pernah tidak masuk” (Fariz)

“Ibu Siti itu cantik, baik, ramah. Ibu siti itu gak pernah marah. Ibu siti selalu sabar walaupun murid-muridnya nakal. Ibu siti selalu menghukum murid-muridnya yang nakal. Ibu siti gak pernah marah sama aku. Ibu siti selalu menghukum akbar.” (Bunga)

“Ibu siti orangnya baik dan cantik dan pekei kacamata berwarna putih ibu besok pindah ke lembang” (Pasya)

“Bu siti itu orangnya baik dan cantik ngajarnya serius kalo salah suka dihukum tapi kalau ga salah suka dikasih bintang” (Alinda)

“Pengalaman Bu Siti. Assalamu’alaikum wr.wb. bu siti tuh orangnya baik, ramah, cantik. Ia tidak pernah marah walaupun marah busiti sambil bercanda bu siti aku seneng banget kalau bu siti masih ada di sini. Bu dalam kejelekan ibu sedikit banget. Gak ada galak-galak. Bu aku jujur dan terus terang dari kelas 2 aku pengen banget sama bu siti. Sekian dari saya! Wasalam J” (Selvi)

Huft, memang selalu menyenangkan menghabiskan hari bersama anak-anak. Walaupun saya meminta mereka mengkritik cara  mengajar saya, apa yang harus ditambah, apa yang mereka mau, ternyata yang mereka tulis adalah hal-hal seperti itu. Hehe, mungkin memang belum tepat ya, meminta kesan dan pesan pada anak sekecil mereka. Harusnya minta kritik tuh dulu ya, pas lagi PPL di SMA.
Sekali lagi... walaupun tidak akan ada satupun dari murid saya yang membaca, i just wanna say, thank you my kids.. I’m so sad right now... :(

READ MORE - Dari Mereka yang Punya Cinta

Read Comments

Skripsi pun ditempeli Puisi


Sempet-sempetnya nulis puisi, saat lagi gencar-gencarnya bimbingan... Puisi tanpa judul ini akan kau temukan, di lembar setelah cover skripsiku...

Hingar seketika lesap
Jeruji terpaksa kirap
Peluh, juga gelisah
Serentak hilang
dicuri waktu yang mulai lelah kubilang

telah kusimpan jejak lelahku di sana
di selasar rumah-rumah
di lipatan-lipatan senja
mengudara bebas
seterbang lelayang
tak hendak terikat benang

terbingkai sudah penat
tak terkemasi sendat
Tuhanku...
Apakah benar kini sudah saatnya
Aku mengalirkan apa yang terendap?

Siti Maemunah
(Dinding-dinding pucat kamarku, di sepuluh hari penghabisan Juni)
READ MORE - Skripsi pun ditempeli Puisi

Read Comments

Pencuri Mimpi


Dimuat Majalah Annida, tanggal 14 April 2012. Yuk mampir ke Annida, banyak bacaan bergizi di sana (www.annida-online.com)

Pencuri Mimpi
Oleh: Fulki Ilmi



Dan akhirnya akupun tetap berlari. Menembus pembatas-pembatas mimpi, yang sebetulnya kuciptakan sendiri. Aku berlari, menyongsong mimpi, menjemput kebahagiaan. Tak peduli jika akhirnya sepatuku rusak. Tak berhenti  walaupun aku terjatuh dan merasa sakit. Mataku hanya tertuju pada gumpalan-gumpalan harapan yang ada di depan. Aku harus berlari. Aku hanya bisa berlari. Sayup-sayup terdengar denting-denting melodi merdu. Melodi yang kekal, namun hadir tanpa lantun.
                Pria berkumis yang belakangan kuketahui bernama Pak Salim di depanku itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku menunggu dengan dada berdebar. Beberapa bulir keringat berjatuhan. Mungkin akumulasi dari panasnya cuaca dan  juga ketegangan yang kurasakan.  Detik-detik terbuang. Menyisakan partikel-partikel hampa yang saling bertabrakan di rongga-rongga tanya.
               “Saya suka. Ini buku pertama Anda?” Katanya sambil mengetuk-ngetukkan naskah ke meja kerjanya yang mengilap.
                “Benar, pak. Itu novel saya yang pertama.” Secercah harapan menghiasi sudut-sudut hatiku.
                “Belum coba ke penerbit lain?”
                “Sudah, Pak. Ini penerbit kelima yang saya coba. Tentu saja setelah saya perbaiki kekurangan-kekurangannya.”
                “Baik. Buku Anda akan kami terbitkan. Nanti hal-hal mengenai persyaratan dan royalti menyusul.  Tunggu telepon dari kami saja. Silakan tuliskan nomor Hp Anda. Dan, maaf, siapa tadi namanya? Saya lupa,”
                “Mayang, Pak. Mayang Nurmalasari.”
                Akupun melangkah keluar dari ruangan itu. Segala benda yang terlihat mataku terlihat lebih semarak, lebih berwarna. Langkahku ringan sekali, seperti melayang. Rasanya aku ingin memeluk semua orang.
*
                “Ayah sarankan kamu masuk ITB. Ambil saja teknik kimia.  Ayah perhatikan nilai kimia kamu selalu lebih tinggi dibandingkan matematika atau fisika.”
                Aku hanya diam.
                “Atau mau farmasi UNPAD? Tapi jangan ambil kedokteran, ya. Kuliahnya lama. Kasian kamu.”
                Akupun mengangguk pasrah. Aku takut untuk mengutarakan isi hatiku. Padahal ingin sekali aku berkata pada Ayahku, bahwa tidak hanya kimia yang nilainya tinggi di rapot. Bahasa  Indonesiaku juga nyaris sempurna. Kenapa hal itu bisa luput dari perhatian Ayah?
                Aku terlalu takut untuk melawan. Teringat kejadian saat aku masih kelas 2 SMA. Aku memaksa untuk masuk kelas bahasa. Aku mencintai sastra. Tapi Ayahku tetap memaksa, aku harus masuk kelas IPA. Saat itu keberanianku lebih  tinggi beberapa tingkat dari saat ini, mungkin karena pengaruh hormon yang belum stabil, sehingga aku meledak-ledak. Akibatnya, aku ditampar keras sekali. Kata Ayah, aku anak yang keras kepala.
                “Jadi mau yang mana? Kok diam saja?”
                “Terserah Ayah. Yang mana saja boleh, Yah.” Aku mencoba tersenyum.
                “Nah, bagus bagus. Itu baru anak Ayah. Nanti Ayah belikan ya formulir tesnya.”
*
                Semester demi  semester selanjutnya kuhabiskan dengan belajar. Berusaha menekuni apa yang menjadi beban belajarku tiap semester. Aku memang bukan peraih IPK tertinggi di jurusan, tapi tetap saja lulus dengan sangat memuaskan.
                Ayahku bisa berbangga-bangga pada sahabatnya. Bahwa anak gadisnya sangat  pintar. Berhasil masuk ITB dan kuliah teknik. Aku senang-senang saja bisa dibanggakan Ayah. Namun tetap saja, kadang ada kehampaan yang tidak bisa ku jelaskan.
                Hari berkumpul menjadi minggu, minggu berbuah bulan, dan bulan melahirkan tahun. Masa-masa kuliah yang beratpun berakhir. Aku bisa menjauhkan diri dari segala hal yang berbau reaksi kimia. Bayangan akan kebebasan terpeta jelas. Aku berharap Ayahku sudah menganggapku cukup dewasa untuk mengambil langkah sendiri.
                “Ayah lihat banyak teman kamu yang dikontrak kerja bahkan sebelum mereka lulus. Kamu bagaimana, Mayang?”
                “Mayang masih letih, Yah. Boleh kan kalau santai dulu barang beberapa bulan?”
                “Oh jadi anak Ayah ini mau jadi pengangguran dulu ya? Iya gak apa-apa. Santai saja, Nak. Nanti kalau sudah cukup istirahatnya, bilang Ayah. Nanti ayah carikan lowongan yang pas buat kamu.”
                Akupun mengangguk pasrah. Apa memang aku masih harus dipapah dalam setiap langkah hidupku? Apakah semua nasib anak tunggal seperti aku? Apakah masih harus ditunjukkan setiap lubang di jalan, setiap tikungan, setiap tanjakan? Kapan aku dianggap dewasa?
                Akupun lalu membuka laptop. Aku ingin menuliskan semua yang kurasakan. Sampai sedetail-detailnya. Tanganku menari dengan lincah. Tapi tetap saja tidak bisa mengimbangi kecepatan kata-kata yang meluncur deras. Semuanya berebutan untuk dituangkan. Seperti air bah, akupun kesulitan mengendalikan luapan emosiku.
*
                “Mayang, kamu masih belum mau bekerja, Nak?” Ibuku menyodorkan segelas teh manis padaku yang sedang asyik membaca novel.
                “Ayah nanya ya, Bun?” Ibu mengangguk.
                “Iya. Bukankah kamu sudah 6 bulan di rumah saja. Membaca bertumpuk-tumpuk novel. Tidak bosan?”
                Aku menyelipkan pembatas buku di halaman yang sedang ku lahap, lantas menutup bukunya.
                “Mayang tidak mau kerja, Bunda. Mayang sudah lelah mengikuti kemauan Ayah. Mayang mau jadi penulis. Dengan atau tanpa persetujuan Ayah.”
                Ibuku terdiam. Matanya bergerak-gerak gelisah. Siapa lagi yang paling mengetahui karakter Ayah selain ibuku ini?
                “Mayang... Ijazah teknik kamu itu mau diapakan? Sayang, kan? Kamu bisa menulis di sela-sela pekerjaan kamu. Dengan begitu, kamu masih bisa punya penghasilan besar, juga bisa menekuni hobi kamu. Bagaimana?”
                Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Ini hidupku. Biarkan aku yang mengisinya, tekadku dalam hati.
*
Naskah itu telah ku selesaikan. Kumpulan alfabetis yang sudah mulai kuguratkan saat masih kelas 1 SMA. Aku sudah bertekad bahwa aku akan menjadi penulis. Aku ingin mengisi hidupku dengan impian-impian yang kutuangkan dalam bentuk cerita. Dalam bentuk artikel, puisi, cerpen, novel, prosa, apa saja.
                Akan kusentuh orang tua yang kurang memperhatikan anaknya. Akan kusindir pemerintah-pemerintah yang lupa pada rakyatnya. Akan kupacu semangat mereka, orang-orang yang berkutat dengan peluh dan luka untuk bisa mengisi perutnya. Semuanya akan aku sapa. Dimulai dari laptop kecil yang ada ditangaku, dengan jemari sebagai pedangnya, aku tidak hanya menulis, tapi juga membangun peradaban. Ya, mimpiku telah mulai mewujud bentuknya.
                Sudah kuputuskan karya pertamaku adalah karya yang sudah mengendap di laptopku selama bertahun-tahun. Karya iseng yang kutulis saat aku kelas 1 SMA itu kini sudah rampung. Tidak bisa dipungkiri dalam penulisan novel pertamaku itu latar belakang pendidikanku yang berbau kimia ikut muncul. Ternyata memang hal yang paling mudah adalah menuliskan apa yang setiap hari kita jumpai. Dengan penuh harapan akupun langsung mengirimkan naskah ke penerbit mayor.
                “Mau kamu apa sih?”
                Masih terngiang bentakan dari Ayah beberapa bulan yang lalu. Tapi aku tidak gentar. Gemetar-gemetar yang menyelusup kucoba sembunyikan rapat-rapat.
                “Mayang ingin menulis. Mayang ingin membangunkan orang-orang yang saat ini sedang tidur.” Aku memberanikan diri untuk menatap matanya. Berusaha menunjukkan bahwa aku tidak sedang main-main.
                “Hah? Kamu harusnya ngaca dulu mau bicara kayak gitu! Yang tidur itu kamu! Sarjana teknik milih jadi pengangguran? Dimana otak kamu, Mayang?”
                Untunglah saat itu aku bisa mengendalikan diri dan tidak ikut emosi. Akhirnya muncul kesepakatan. Jika pada tahun ini, yang berarti tersisa enam bulan lagi, bukuku berhasil terbit, Ayah akan mengizinkan aku menjadi penulis. Tapi jika tidak, maka aku harus bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikanku itu.
                Aku yakin bahwa aku mampu. Seyakin menunggu mentari esok yang pasti terbit.
*
                “Ayah... Novelku sedang dalam proses penerbitan!” Aku berteriak senang.
                “Benarkah?” Alisnya naik sebelah.
                “Tepati janji Ayah, ya! Mayang tidak harus kerja, kan?”
                “Sesukamu sajalah.” Katanya sambil masuk ke kamar.
                Akupun merasa menang. Setelah ditolak empat kali, penerbit kelima mau menerima karyaku. Mulai sekarang aku bisa melukis macam-macam mimpi, di kanvasku sendiri. Mimpi yang kemudian bisa kubagikan pada banyak orang.
                Handphoneku bergetar, lalu menyanyikan lagu favoritku. Sederet nomor tak dikenal berkedip-kedip di layar.
                “Assalamu’alaikum.”
                “Wa’alaikum salam. Ini dengan Mbak Mayang, ya? Saya Asti. Saya editor yang akan mengedit novel Mbak Mayang.”
                “Oh iya,  Mbak. Terima kasih. Ada yang bisa saya bantu?”
                “Naskah hardcopy Mbak Mayang yang kemarin masih di Pak Salim. Beliau sedang ke luar kota dan tidak akan kembali dalam waktu dekat. Katanya naskah Mbak Mayang terbawa. Bisa Mbak kirim ulang? Via e-mail saja.”
                “Baik, Mbak. Terima kasih. Saya akan segera kirim.”
                Setelah mencatat alamat e-mail yang dimaksud, akupun berjalan menuju garasi. Laptopku ada di dalam mobil. Namun sampai di garasi aku mengerutkan kening. Lalu menepuknya pelan.
“Oh iya ya. Tadi kan aku parkir di luar rumah.” Aku lupa, mobil memang belum dimasukkan ke garasi, masih kuparkir di pinggir jalan dekat rumah. Tadi saat pulang, sudah diklakson berkali-kali tidak ada yang membukakan pagar, apalagi pintu garasi.
                Aku melihat mobilku masih terparkir di tempat yang sama. Namun tiba-tiba kepanikan dan rasa takut berebut mendominasi perasaanku. Kaca di bagian pinggir mobilku pecah. Serpihan-serpihan kaca bertebaran di mana-mana. Aku berlari, memaksa kakiku untuk bergerak walau rasanya tulang-tulang di kakiku mendadak hilang. Rasa takutku terbukti. Laptop yang tadi kusimpan di kursi depan sudah tidak ada. Aku teringat pada mimpiku yang sebentar lagi mewujud. Haruskah ia pergi tanpa pernah benar-benar datang? Mimpiku dicuri!***
READ MORE - Pencuri Mimpi

Read Comments

Lomba WR Lagi


DL: 30 Desember 2012

Bagi Sobat yang doyan nulis dan pengen tulisannya dibukukan, nah... sekarang inilah saat yang tepat untuk mewujudkan impianmu punya buku sendiri. Kami dari Smart Writing, penerbit lini indie dari Penerbit Writing Revolution, ingin membantu mewujudkan impian teman-teman punya buku sendiri.
Nah, bagi teman-teman yang berminat silakan baca syarat dan ketentuan LOMBA AMAZING BOOK WITH SMART WRITING, berikut ini:

Syarat dan Ketentuan:
  1. Terbuka untuk umum dan anggota Writing Revolution, dan gratis.
  2. Minimal ditulis oleh 2 penulis dan maksimal 10 penulis.
  3. Tema lomba bebas, selagi tidak mengandung unsur SARA, asusila, fitnah dan yang pastinya bukan karya plagiat/jiplakan.
  4. Panjang tulisan 60-120 halaman, kertas A4, spasi 2, jenis huruf Camria, Calibri atau Times New Roman, ukuran huruf 12, dengan margin halaman 3 cm semua sisi.
  5. Jenis tulisan bisa berupa kumpulan puisi, cerpen, esai, artikel, buku motivasi, agama, cerita anak, novel remaja, novel islami atau sastra, parentingtraveling, masakan, humor, cerita horor, funfiction juga boleh, dan lain-lain.
  6. Jumlah naskah buku yang dikirim tidak dibatasi, jadi boleh mengirim lebih dari satu naskah buku.
  7. Kelengkapan naskah yang dikirim: sinopsis (maksimal 2 halaman), halaman judul, daftar isi, naskah utuh buku (kami tidak menerima hanya beberapa bab saja), biodata penulis yang ditulis secara deskripsi/narasi.
  8. Naskah bukunya dikirim dalam LAMPIRAN FILE(Attach File) ke email:antologi_wr@yahoo.co.id (tulis: AMAZING BOOK#JUDUL#NAMA PENULIS)
  9. Harus membagikan informasi ini di note FB-nya minimal tag 30 teman, atau posting di Blognya.

SELEKSI NASKAH:
Seleksi Pertama:
§  Kami akan menyeleksi naskah berdasarkan syarat dan ketentuan seperti yang diatur dalam poin-poin di atas.
Seleksi Kedua:
§  Kami hanya akan menilai naskah buku yang sesuai dengan syarat dan ketentuan lomba ini.
§  Kemudian naskah tersebut dinilai oleh Dewan Juri untuk menentukan naskah yang layak sebagai pemenang.
 HADIAH:
Satu Pemenang Utama
§  Naskah pemenang diterbitkan indie di Smart Writing sebanyak 100 eksemplar (total senilai Rp 1.850.000,- untuk biaya produksi dan cetak buku).
§  Penulis mendapat royalti 10% untuk buku sebanyak 100 eksemplar tersebut.
§  Jika penjualannya bagus, kami akan mempertimbangkan untuk cetak nasional olehWritingRevo Publishing.

Tiga Juara Favorit:
§  Mendapat gratis biaya produksi senilai Rp 350 ribu.
§  Diskon 10% untuk biaya cetak buku di Smart Writing minimal 100 eksemplar.
§  Jika penjualannya bagus, kami akan mempertimbangkan untuk cetak nasional olehWritingRevo Publishing.

Lima Pemenang Hiburan:
§  Mendapatkan paket buku dari Penerbit Smart Writing senilai @Rp 100.000,-
Sponsor Utama:
§  Smart Writing (lini penerbit indie: www.penerbitsmartwriting.blogspot.com) 
READ MORE - Lomba WR Lagi

Read Comments

Layang-layang


Note: Cerpen ini ditolak tiga media, hahaha... Dan saya malas kalau harus revisi. Mungkin memang tidak layak untuk dimuat. Tapi Blog-ku selalu baik hati. Ia akan menerima tulisan apapun dari saya :p
Happy reading :)

Layang-layang
Cerpen: Fulki Ilmi

Beberapa langkah lagi gadis itu sampai di rumah. Tapi Ia malah berhenti. Memandang layang-layang yang berkejaran di langit. Warna-warna yang terpeta di kertas terbang itu memukaunya. Ia selalu bermain layang-layang saat masih anak-anak, bersama adik laki-lakinya. Namun entah kenapa memori itu sekarang terasa sangat jauh. Lebih jauh dari langit itu sendiri. Benang-benang tak terlihat mengikat layang-layang itu. Gadis itu membayangkan bocah-bocah yang ada di ujung benang. Mungkin mereka sedang tertawa-tawa. Mungkin berkeringat. Tapi pasti mereka sedang bergembira. Dalam benak mereka hanya ada seruan, “Lihat, layang-layangku terbang!”
***
“Bagaimana wawancaranya?” Ayah gadis itu langsung bertanya. Padahal si gadis belum lagi membuka sepatu.
“Mina gagal lagi, pak.” Wajahnya nampak sangat lesu, menyiratkan kesedihan dan rasa bosan.
Detik kemudian diisi hening. Mina merasa bersalah. Merasa tidak mampu. Tapi lain lagi yang ada dibenak Ayahnya. Lelaki tua itu merasa kasihan pada Mina, namun sudah tidak tahu harus berkata apa. Mina sudah terlalu sering ditolak kerja. Akhirnya ia memilih untuk diam.
“Galuh mencuri lagi, Mina.” Akhirnya Bapak Mina memecah hening. Pandangan matanya tampak lelah.
“Astaghfirullah.. Apa sih maunya anak itu? Apa lagi sekarang yang dicurinya, Pak?”
“Laptop. Galuh menjualnya ke tempat service komputer. Katanya tukang service-nya itu tidak mau menerima karena laptop yang dibawa Galuh diproteksi kata sandi. Mereka curiga, lalu Galuh ditahan di sana.”
Mina memijit-mijit keningnya yang terasa memberat. Adik manisnya sekarang sudah tak bisa Mina kenali lagi. Untung saja pemilik laptop itu baik hati sehingga Galuh tidak dilaporkan ke polisi. Namun sekarang Galuh sudah menjadi perhatian warga sekitar. Pak RW dan jajarannya juga sudah mengingatkan. Kalau Galuh ketahuan beraksi lagi, maka dapat dipastikan ia akan masuk LP.
***
“Lumina! Tolong tissue-tissue itu segera dilipat! Sebentar lagi makan siang.” Bos Mina bagian dapur mengingatkan.
“Iya, Pak.” Mina bergegas ke meja panjang yang sudah berisi peralatan makan lengkap.
Pekerjaan Mina saat ini adalah karyawan di sebuah balai pertemuan milik pemerintah. Ia kerja di bagian dapur. Setiap hari pekerjaannya adalah menyiapkan peralatan makan siang. Dari mulai mencuci-keringkan alat makan, sampai melipat tissue. Jumlahnya 200. Tangannya sudah sangat cekatan. Akibat terlatih selama bertahun-tahun.
“Min, kamu jadi resign?” suara sahabat baiknya mendekat. Mina menoleh.
“Maunya sih gitu. Tapi aku ditolak lagi.”
Yuli, teman baik Mina itu segera menghibur sahabatnya. Yuli berbeda dengan Mina. Sebagai tamatan SMA ia sudah cukup puas dengan posisinya sebagai pembantu dapur seperti sekarang ini. Namun Yuli mengerti, Mina berbeda. Ia lulusan perguruan tinggi. Walaupun hanya sampai D3, tapi tetap saja kawannya itu pernah mengecap rasa menjadi mahasiswa. Sudah sepantasnya Mina mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.
Mina sendiri menanggapi hiburan Yuli dengan senyum seadanya. Ia malas memperpanjang obrolan tentang kegagalan yang lagi-lagi dialaminya. Mina sudah bosan melipat tissue seperti itu setiap hari. Ia ingin lingkungan baru, suasana baru, tantangan baru, gaji baru. Ia ingin lebih dihargai, lebih diakui. Mina asyik berlari-lari ke dunia imaji. Dunia dimana segalanya terlihat lebih mudah. Lebih menjanjikan senyuman.
***
“Kakak sedang tidak ada uang.” Mina melembutkan suaranya.
“Aku gak peduli. Aku mau beli gitar.” Galuh memandang Mina tajam.
Lumina mundur secara perlahan. Berusaha tak sekentara mungkin. Bau khas alkohol tercium dari nafas pendek-pendek adiknya. Menguar masuk ke rongga pernafasannya. Membuat Mina semakin takut, semakin kalap.
“Punya kakak kuliah tapi gak becus apa-apa! Bakar aja ijazahnya! Gak guna! Kamu masih jadi pembantu dapur!” Galuh mendekat pada Mina. Matanya merah.
Mina merapatkan dirinya ke tembok yang dingin. Tapi suhu tubuhnya tidak berkurang. Dadanya berdegup kencang. Mina mencari-cari pisau lipat yang biasa dibawa adiknya. Ia sedikit menghembuskan nafas lega, tangan adiknya hanya menggenggam udara kosong.
Mina hanya berdua dengan adiknya. Mina takut jika sedang mabuk seperti itu, Galuh semakin kalap. Mabuk bukan berarti membuat Galuh tidak bertenaga.
“Pokoknya aku butuh uang. Hari ini juga. Kalau tidak ada, ijazahmu yang gak berguna itu aku bakar!” Galuh keluar dari rumah. Seiring dengan langkah Galuh yang menjauh, nafas Mina mulai mendapatkan ritmenya kembali. Beberapa jenak ia hanya diam, lalu buliran-buliran bening turun di pipinya.
Mina berusaha mengais-ngais sisa memori yang semakin hari semakin pudar. Ia mencari-cari sosok adiknya yang dulu, yang sering menerbangkan layang-layang untuknya. Ah, ia begitu rindu masa kecilnya. Mina rindu adiknya. Mina rindu almarhum ibunya.
***
READ MORE - Layang-layang

Read Comments

Do'a Bapak di Malam Hari



Matanya berbinar
Mengeriapi setiap kerjap
Melahirkan harap-harap

Kerlingnya nasehat
Kuat dipahat
Lekat-lekat
Tak pernah khianat

Keringatnya terperas
Kerja keras
Memanjangkan tulang
Mengeraskan urat

Rambutnya memutih
Menua
Merenta
Melemah
Terlalu kentara
Tanpa harus diperiksa

Malam-malam  sunyi aku mendengar ia berkata pada Tuhannya
Di sajadah hijau usang dengan tangan tengadah:
“Ambil napasku, tukar dengan selimut-Mu, hangatkan tidur keluargaku.”

Semesta sunyi
Malaikat sembuyi
Pujangga berhenti memuisi


READ MORE - Do'a Bapak di Malam Hari

Read Comments

Katakan Cinta

Buku ketiga saya. Cukup alot sekali dalam mengikuti lomba di event yang satu ini. Naskah yang masuk hampir tigaratusan, dan hanya diambil dua puluh untuk dibukukan. Seleksinya ketat, karena rencananya akan diajukan ke penerbit mayor. Saya juga serius menulis di sini, kata-kata saya buat seapik dan seunik mungkin. Ending saya buat tidak mudah untuk ditebak. Dan, alhamdulillah, saya berhasil masuk menjadi salah satu kontributor.
Di buku ini, saya berani jamin, akan Anda temukan keindahan bahasa, cara-cara mengungkapkan cinta yang tidak biasa. Namun sayangnya, karena beberapa kontributor tidak bersedia menunggu konfimasi dari penerbit mayor, maka buku ini tidak jadi “diusahakan” tembus, padahal, menurut saya, buku ini pasti layak
Namanya indie, semuanya serba terbatas. Termasuk, mungkin, covernya. Jujur, sebagai kontributor, saya juga merasa sayang, buku bagus seperti itu, covernya biasa saja. Tapi, bukankah don’t judge a book by its cover masih berlaku? Ada yang berminat order? Saya tunggu. 

 


READ MORE - Katakan Cinta

Read Comments

Siapa Saya, Siapa Kamu, Siapa Saja


Baru-baru ini saya menghadiri pernikahan saudara. Bayangkan, di zaman Ipad, Iphone, I-ring, Internet, Imunisasi, Intimidasi, Induksi, Imigrasi ini, masih ada yang menikah dini. Well, yang saya maksud dini adalah dini sedini-dininya. Yang perempuan lima belas, yang laki-laki tujuh apa depalan belas, sekitar. Mereka tampak bahagia, tidak ada beban, dan mengalir begitu saja. Saya jadi melihat pada diri sendiri. Apa bisa saya seperti mereka?
Hmm... Saya jadi ingat pada salah seorang kakak kelas di kampus, yang sudah menjadi Asdos, dan mengajar di kelas saya. Rasanya memang sedikit aneh, karena semester-semester sebelumnya, saya—si Kutu Loncat—sudah beberapa kali sekelas dengan Beliau. Dan tiba-tiba, taraaaa... Semester berikutnya, Beliau yang mengajar di kelas saya.
Saya yang terbiasa memanggilnya Akang, harus segera mengganti panggilan menjadi Bapak. Cukup canggung pada awalnya, dan cukup sering lupa. Orangnya pintar dan banyak pengalaman.
Dalam kamus saya, guru memang harusnya seperti Beliau ini. Mumpuni, humoris, good looking—Sst, masih single pula—hehe. Beliau bisa bahasa Inggris dan bahasa Arab sefasih saya bicara bahasa Indonesia. Hafalan ayat dan hadits yang sering dikemukakannya,  sehafal saya pada lagu Balonku Ada Lima. Saya kagum sekali padanya.
            Salah satu guyonannya yang paling saya ingat adalah, dalam menikah, teori yang terpakai ada tiga teori. “Siapa saya, siapa kamu, siapa saja.” Beliau memang sudah kepala tiga, namun belum menikah.
Ia bercerita, “Kalau kalian mau menikah, segerakanlah. Sebelum jadi seperti saya ini, gak laku-laku.” (Dalem ati saya mau tunjuk tangan, saya mau, Pak, saya mau, wkwkwk) Ehm, lanjut.
“Ketika kalian masih di rentang umur delapan-sembilan belas, atau awal dua puluhan, kalian tidak akan mempersulit jodoh. Dalam hal ini, hukum yang berlaku adalah, siapa saya. Yah, yang jadi acuan adalah diri saya. Saya tidak bisa masak, saya masih butuh bimbingan, saya tidak punya apa-apa, saya tidak bisa apa-apa. Jadi, kita tidak akan terlalu fokus pada calon pasangan. Segeralah menikah saat kalian sedang dalam fase tersebut, karena biasanya saat dalam fase seperti ini, kita tidak akan terlalu selektif dan pemilih dalam menentukan pasangan.” Aku manggut-manggut, sok ngerti, padahal ngantuk, hehe.
            Beliau melanjutkan, “Sayang, kalau kalian ternyata sudah melewati fase itu, namun belum menikah, maka bersiaplah memasuki hukum kedua, yaitu Siapa kamu. Fase ini muncul pada usia seperti kalian-kalian ini. Biasanya mahasiswa semester akhir, atau yang sudah lulus kuliah. Mereka mulai mengerti hidup, mulai mempertimbangkan segala hal. Siapa kamu? Itu yang ada dalam pikiran kita. Pada fase seperti inilah, yang kadang membuat seseorang sulit menikah. Ada ketidakcocokan sedikit dengan pasangannya, ia tidak mau menerima.  Apakah dia sudah punya rumah? Apa pekerjaannya? Apa dia bisa mengerti saya? Apa dia bisa jadi pasangan yang baik? Apa dia bla bla bla? Semua terfokus pada dia. Karena pada usia seperti ini, biasanya kita sudah berkutat dengan kehidupan yang real, tidak lagi menjadi penghafal pelajaran.”
            Saya sempat mau protes, rasanya tidak semua seperti itu. Dan beliau juga ternyata melanjutkan, seolah paham apa yang ada di kepala saya. “Tapi tidak semua orang seperti itu. Kita hanya bicara kebanyakan. Itulah mengapa sering kita jumpai, teman-teman kita yang memang sudah cukup umur, sudah waktunya menikah, masih menunda-nunda.”
Saat itu, saya yang masih semester empat, mengangguk-angguk lagi. (Kali ini ngerti beneran, Gan. Masa iya ngantuk terus) dan saya berpikir, saat itu posisi saya masih di siapa saya. Saya memang tidak memikirkan, sudah menikah tinggal dimana, apakah akan cukup penghasilan suami nanti untuk menghidupi saya, saya masih fokus pada diri sendiri, yang tidak bisa dan tidak tau apa-apa.  Bahasa jermannya mah, masih polos.
            Lalu tanpa saya sadari, waktu membawa saya pada hari ini. Hari dimana saya sudah selesai sidang, menunggu wisuda, dan tidak lagi berkutat dengan SKS dan hafalan. Melihat pernikahan saudara saya itu, rasa-rasanya saya mulai menyadari bahwa saya mulai memasuki Fase Siapa Kamu.
Saya tidak munafik. Dan jujur saja, ini membuat saya semakin tidak siap untuk menikah. Kesiapan saya masih nol besar. Terlalu banyak yang saya  pertimbangkan, yang saya takutkan. Saya mulai menilai Si Calon. Mulai pemilih. Saya memang tidak terlalu berorientasi pada materi, namun tetap saja ada sesuatu dalam pikiran saya saat ini. Misalnya, apakah ia bisa membuat saya nyaman nantinya? Memang sederhana. Tapi, tetap saja, saya menyadari bahwa teori dosenku itu benar. Sekarang saya mulai berorientasi pada siapa kamu?
“Dan teori satu lagi berlaku saat Anda memasuki usia kepala tiga seperti saya. Apalagi perempuan. Bila sudah kepala tiga tapi tidak menikah-menikah, luntur semua idealisme kamu. Mau duda, mau janda, diembat aja.” Hihi... gara-gara teori itu, satu kelas berhasil dibuat tertawa olehnya.
*
            Hari itu, usai jam pelajaran, saya duduk di masjid kampus, berbekal buku. Saya punya jam kosong untuk istirahat. Saya keluar dengan Kang Jajang, kawan yang sama-sama kutu loncat, dari satu kelas, ke kelas lain. Kang Jajang duduk agak jauh dari saya. Kami membicarakan sesuatu, entah apa, saya lupa. Saat sedang mengobrol, Si Kakak kelas yang sudah merangkap Dosen itu juga keluar, dan ikut bergabung dengan Kang Jajang. Suasananya sepi, rindang, dan amat nyaman. Saya memang fokus pada buku, tapi pembicaraan mereka tetap saja terdengar.
            “Saya setuju, Kang. Saya sekarang sudah ada dalam fase siapa kamu. Saya pilih-pilih akhwat.” (Kurang lebih seperti itu yang diucapkan Kang Jajang, saya lupa persisnya).
           “Kamu mah mending, masih siapa kamu. saya sudah lewat dari fase itu, sekarang mah prinsip saya, siapa saja, daripada teu payu-payu? Saha we lah, bener teu, Yi?” (daripada gak laku-laku, ya, gak, Dik?) dan kedua bujang itu tertawa. Saya tidak bermaksud untuk mencuri dengar, tapi saya juga ikut tertawa.
Kang Jajang menambahkan obrolan mereka yang sudah semakin melantur, “Setuju, Kang. Siapa saja lah, asal berlubang dan bernapas.” Mereka tertawa terbahak-bahak semakin keras. Sebagai satu-satunya perempuan yang berada di jarak pendengaran mereka, aku protes. “Ih, kok gitu ngomongnya?”
        “Hahaha, iya lah, Teh? Asal berlubang dan bernapas. Kalau gak ada lubang hidungnya mah, gimana mau napas?” Aku mesem-mesem. Merasa kalah. Aku memilih kembali menekur pada buku, berusaha untuk tidak mendengarkan pembicaraan mereka selanjutnya.




                                                                                                                                 

READ MORE - Siapa Saya, Siapa Kamu, Siapa Saja

Read Comments
 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men