Sekelumit cerita; Agra, Jadilah Paling Tinggi!

Perjalananmu dari rahim menuju pangkuanku memang tidak pernah mudah. Hanya beberapa jengkal saja kau berpindah. Namun hakikatnya ada sekat alam yang kau tebus, yang kau tembus. Ingat betul rasanya, seakan nyawaku bisa terlepas kapan saja. Tapi sungguh, aku bersyukur dengan sebenar...
Lagi, sebuah cerita tentang kehadiran makhluk kecil yang cintaku padanya tidak akan habis tergerus masa...

Agra Mahya Alfadli, begitu kami memberimu nama. Dua minggu lebih lama dari kakaknya di dalam rahim. Memang takdir, juga jawaban do'a (yang sedikit egois) dari umminya.

"De, jangan dulu lahir ya.. Ummi masih punya banyak PR di sekolah, belum buat soal UTS. Guru badal belum ada.. Nanti ya lahirnya."

"De, jangan dulu lahir ya, ummi kena radang infeksi telinga, sakit banget, kayaknya ummi ga sanggup kalau harus menghadapi kontraksi dengan kondisi telinga macam ditusuk-tusuk jarum."

"De, jangan dulu lahir ya, Aa Sagara lagi sakit. Demam tinggi, sampai kejang... Kalau ummi lahiran sekarang, nanti Aa sama siapa."

Begitulah. Dan Allaah mengabulkan tanpa ada yang meleset.
"De, lahir yuk. InsyaAllaah ummi sudah siap. Semua sudah menunggu. Besok ummi ke Lembang, ada undangan. Ade mau gak keluarnya pas ummi selesai kondangan?"

Dan, itulah yang terjadi.
Selasa pagi, tanggal 20 September 2016, saya dan suami pergi ke Lembang (posisi saya sudah di Sarijadi, rumah orang tua) untuk menghadiri undangan. Dan Agra benar-benar lahir pada hari itu. Subhanallah, jangan pernah menyepelekan komunikasi dengan janin!

Sore hari, saat tertidur ditengah menonton video tentang flat earth yang sedang marak dibincangkan, tiba-tiba saya terbangun karena sadar ada ketuban yang keluar. Saya langsung terduduk, dada berdebar. "Sebentar lagi ade lahir." Itu yang ada dalam pikiran saya. Lantas saya ke kamar, mendapati suami yang sedang asyik bermain dengan Sagara.

"Bi, ketubannya pecah."
"Innalillahi... Hayu atuh cepet-cepet ke bidan. Ummi siap-siap."
Saya hanya mengerjap-ngerjap. Berusaha menenangkan hati yang mulai dagdigdug tidak karuan.
"Sakedap bi, deg-degan..."
"Sok tenang heula ummina."

Dan berangkatlah kami, naik motor. Dengan kondisi ketuban rembes dan tanpa ada kontraksi. Saya pamit pada orang tua. Pada Sagara, memeluknya lebih lama, menitikkan air mata. Ah, manusia. Saya saat itu merasa takut. Takut itu akan menjadi pelukan terakhir untuknya. 

"Aa sholih ya. Doakan besok ummi pulang, bawa dede bayi. Kalau ummi sama abi malam ini gak pulang, Aa jangan rewel. Insyaallah besok ummi pulang." Dan si kecil yang baru berusia dua tahun itu mengangguk-angguk.

Kenapa harus ke Lembang?
Padahal kondisi magrib, jauh, dan hujan tampak akan tumpah.
Jawabannya karena saya ingin melahirkan di tempat yang saya kenal, dengan bidan yang biasa periksa.karena saya tahu, kondisi psikis dan rasa nyaman itu adalah hal penting dalam persalinan. Dan saya ragu bisa melahirkan dengan nyaman di tempat yang baru saya datangi. Makanya, walaupun jauh, saya tetap keukeuh ingin melahirkan di sana.

Tapi, setelah berjauh-jauh ria melewatkan banyak rumah bidan demi menuju bidan yang biasa periksa, ternyata saya harus kecewa.

"Ketuban rembes, tidak ada mules. Saya rujuk saja ya. Ini baru pembukaan satu."
Sudah. Tamat. Perjalanan jauh kami hanya berakhir di surat rujukan. Sedangkan di luar sana, hujan turun sangat deras. Dengan kondisi angin besar, magrib pula. Saya kecewa. kenapa gak dicoba diusahakan dulu? Kok belum apa-apa sudah dirujuk? Tapi saya tidak mau berdebat. Sudahlah.

"Ummi tunggu di sini, Abi pulang dulu."
Saya duduk menunggu di teras rumah bidan. Suami pulang ke rumah kami di Cikole, Lembang. Pulang untuk mengambil dua tas berisi perlengkapan bayi dan tektek bengek persalinan yang sudah disiapkan.

Dan saya menunggu. Menunggu yang penuh drama kecemasan. Hujan besar, malam-malam, ingat si sulung di rumah. Udara dingin khas Lembang. Berbagai pikiran buruk melintas. Saya takut cesar. Dan kontraksi yang lamat-lamat mulai datang menambah rasa tidak nyaman. Saya perhatikan ritmenya, dua puluh menit sekali. Masih ringan, masih bisa ditahan. 

Suami datang lagi setelah empat puluh menit.Empat puluh menit yang menyiksa. 

"Ya Allah, Engkau menurunkan hujan malam ini, semoga dengannya do'aku tak tertolak. Lancarkan... Selamatkan..." Tak henti saya berdoa sembari menatap tempias air hujan.

Saya mengingat lagi apa yang saya baca. Buku dengan judul yang saya lupa. Isinya tentang hypnoborthing, gentle birth, seputar itu. Saya mencoba mempraktekan teknik pernapasan, sugesti dan afirmasi positif saya tanamkan dalam-dalam.

"Saya percaya saya bisa melahirkan dengan nyaman. Tubuh saya tahu bagaimana ia akan bereaksi. All i have to do, just pray, relax, follow what my body wants to." Saya lakukan afirmasi itu berulang-ulang.
Dan benar. Otak yang terus menerus mensugesti, ditaati oleh tubuh. Kecemasan saya berangsur menghilang. Segala hiruk pikuk keributan dalam kepala bisa dinetralisir. Digatikan dengan istighfar, rasanya jauh lebih tenang.

"Kontraksi ini adalah hal yang saya nantikan selama sembilan bulan. Sudah saatnya untuk menyambutnya dengan gembira dan penuh syukur."

Dan ketika suami datang, kecemasan saya sudah nyaris tidak ada. Saya sudah pasrah. Kalau memang harus induksi atau cesar, ya sudah. Insyaallah itu yang terbaik.Lalu, semuanya berjalan lancar. Sangat terasa dimudahkan oleh Allah. Walaupun kontraksi di bawah guyuran hujan diatas motor yang gedrak gedruk karena ada lubang, saya merasa baik-baik saja.

"Ummi, kerasa mules lagi engga? Kalau sakit bilang." Suami berteriak berusaha mengalahkan suara hujan.
"Engga bi, lanjut aja." Saya tidak mau membuatnya khawatir dan fokusnya berkurang. Padahal kontraksi itu sudah mulai sering dan lebih kuat.

Sampai rumah sakit pukul 07.30, langsung ke IGD. Cek tensi. Sudah mulai meringis karena kontraksi datang perlima menit.

"Ibu dimobilisasi saja ya ke ruang bersalin. Pakai ambulans."

"Ambulans?"

Saya yang udik merasa ngeri mendengar ambulans, rupanya terbaca jelas oleh dokter cantik tersebut.
"Gak usah panik, Bu. Sebetulnya bisa kok pakai kursi roda atau tempat tidur yang beroda. Tapi kan diluar hujan, jadi pakai ambulan."
Ya, begitulah. Padahal jarak dari IGD ke ruang bersalin itu dekat sekali. Tapi dokter ini sangat baik. Saya jadi punya pengalaman naik ambulan.

"Abi, abi, ambulaaaan." Saya masih sempat bercanda dengan suami. Menirukan suara Sagara yang selalu heboh melihat ambulan.

Setengah sembilan saya sampai di ruang bersalin. Disambut empat bidan yang ramah. Ditunggui. Dibimbing. Dan 09.30 Agra sudah lahir. Ya, benar. Hanya satu jam di ruang bersalin. Alhamdulillah.

Berbeda dengan kelahiran pertama yang dicuekin bidan sampai bayinya keluar sendiri, di persalinan kedua saya benar-benar diperhatikan.
Dulu saya mencengkram kuat-kuat tangan suami,sekarang saya tidak mencengkram apapun. (informasi di buku bahwa mencengkram atau meremas sesuatu malah membuat badan semakin tegang, jadi sebisa mungkin dihindari)
Dulu saya trauma dengan sobekan parah, dua jam dijahitnya, sekarang hanya sobekan kecil yang selesai dijahit sepuluh menit saja.
Dulu saya bayar, sekarang gratis (bonus tak terduga karena ternyata BPJS bisa berlaku walaupun faskes rujukan harusnya di Bandung kota)

Alla kulli hal, alhamdulillaah. 

Selamat datang Agra Mahya Alfadli. Semoga kehidupanmu dimudahkan Allah, semudah proses lahirmu ke dunia.

Sekelumit doa dari kami. 

Agra Mahya Alfadli: keutamaan paling tinggi dalam hidup.

Carilah keutamaan itu, Nak. Pilihanmu hanya dua, hidup mulia atau mati syahid.
Semoga engkau menjadi ujung tombak pembela agamaNya.
Selamat datang, selamat berjuang.
Tulisan kecil ini, semoga bisa tetap terbaca sampai nanti Ade tidak lagi bisa mendengar celoteh ummi.

Karena, sungguh, manusia akan mati tapi tulisan tidak...
Sholih ya Nak, saling jaga sama Aa... Saling mengigatkan dalam kebaikan...


RSUD Lembang, 27 September 2016

seminggu setelah kelahiranmu, kamu memilih untuk kembali menginap disini. Buang bilirubin itu, sehat sehat sehat!

READ MORE - Sekelumit cerita; Agra, Jadilah Paling Tinggi!

Read Comments

My Son VS Bilirubin

Bismillah.

Dengan backsound suara Ade yang menangis tersedu-sedu (gogoakan-Sunda), saya tidak bisa apa-apa. Hanya bisa diam. Mengobrol dengan ibu hamil di sebelah, lalu menulis di blog. De Agra dirawat!

Saya kembali bermasalah dengan bilirubin. Si kuning yang mengkhawatirkan kembali mengganggu. Ya, sekarang Ade harus di rawat, phototheraphy di RS. Setelah dulu kakaknya, Sagara, juga mengalami kuning. Bedanya, dulu Sagara tidak sampai harus dirawat karena memang tidak kontrol ke dokter anak.

Semalaman saya meringkuk kedinginan di ranjang rumah sakit. Tanpa bantal, tanpa selimut, sendirian. Agra menangis di ruang phototheraphy tapi saya tidak bisa apa-apa. Jatah menyusui dua jam sekali. Kalau terlalu sering dibuka-buka, phototheraphy tidak akan efektif.

Kemarin pertama kali datang, saya menangis. Tidak tega rasanya melihat bayi berusia tujuh hari itu dirawat. Matanya ditutup kassa. Berbekal selimut tipis dan hanya memakai diapers, ia dimasukkan ke tempat phototheraphy. Belum lagi ingat Kakaknya di rumah. Aah, jadi baper.

Jadi emak emak kudu setrong!
Saya mulai beradaptasi dengan suara tangisan adek, sudah tidak terlalu baper. Insyaallah semuanya akan baik-baik saja.

Mohon do'a dari semuanya.

READ MORE - My Son VS Bilirubin

Read Comments

Tentang Kamu

Siang dengan mentari yang tak terlalu tinggi, tiba-tiba saja aku mengingatmu. Bagaimana peluh itu kau alirkan dari segenap urat nadi kehidupan. Tapi pernahkah kau mengeluh?

Dalam ruang sunyi kita bersitatap. Dengan dua pasang mata yang berdiam di kelopak yang berbeda. Namun apa yang kita tatap selalu sama. Lilin yang kau nyalakan, sayang, sudah mati sejak dunia ini bernama. Lalu kemana aku harus mencari cahaya?

Saat pikiranku dan kamu bertemu. Persimpangan yang ada dengan sengaja melebur menjadi satu. Meniadakan noktah yang tadinya bercabang menggila. Suara-suara ribut dalam benak mendadak diam, hening seolah termakan kedap. Diantara keragu-raguan atas apa yang terjadi, kamu datang lagi. Meyakinkanku, bahwa esok, mentari yang sama akan kembali.

Mungkin kita sepasang kunci. Membuka satu sama lain. Berdua saling melengkapi, untuk memproteksi. Hilang satu, rusak segala. Peluh yang kau kucurkan, pada hari tak bernama, masih kusimpan rapi dalam lemari kita.

Jangan angkat jangkar, sayang. Biar laut menerpa kita. Air yang memercik, ombak yang meninggi, biarlah tetap menjadi sarapan pagi. Saat kapal ini bergolak, maka peganglah tanganku sekali lagi. Aku masih ingin mendengar bisikanmu, lagi dan lagi.
"Biarlah, karena Tuhan tidak pernah kehabisan cinta."

Cuti, hari pertama :D

READ MORE - Tentang Kamu

Read Comments

Puisi Sang Ibu

Adalah salahmu
Jika aku tetiba membisu
Menangkapi setiap kilau jejakmu
Yang membekas
Di sela-sela garis batas

Mungkin kini, akulah segalamu
Akulah tempatmu mencari
Akulah tempatmu kembali dan mulai pergi
Tapi waktu akan membunuh itu

Adalah benar
Tentang semua celoteh itu
Yang pasti akan kurindu
Di dua tiga hari setelah sewindu

Tetaplah tersenyum
Goresan wajahmu telah terpatri di lanskap kataku
Menjelma seribu
Menekan tempias pengapku

Tetaplah di sana, Anakku
Berdiri gagah layaknya jundi
Hingga nanti kudapati
Aku bukan segalamu lagi


Kutulis untukmu di sela-sela rasa khawatirku, empat hari menuju dua tahun hidupmu
18 September 2017

READ MORE - Puisi Sang Ibu

Read Comments

Pagi yang Meninggi

Pagi ini, tak perlu melulu tentang mentari. Juga aroma kopi yang aku seduh  sendiri.
Ketika hati tiba-tiba merindu, pada bingkai-bingkai aksara kelabu, sekali lagi aku berucap… “mungkinkah aku terlalu bahagia?” Hingga sastra tak lagi teRasa indahnya.
Mata di sekeliingku masih sama cerahnya. Walaupun sel-sel conus di sana, mungkin meredup. Tapi tak usahlah aku merunut peristiwa itu. Yang penting, kita bahagia.
Seperti waktu yang terus berlari. Aroma kopi itu membuatku terus ingin kembali. Walaupun satu dua detik mengiris hati. Ah, seandainya dapat kuatasi…
Pagi ini sastra kembali menyayat hati. Bukan hanya tentang puisi. Tentang rasa-rasa diri yang kadang mulai lupa kunamai. Padahal  tulisan bisa mengikat sampai mati.
Pada embun-embun pagi aku merebah. Merasakan lagi pilu pada ulu hati yang sempat terlupa.
“Telah kutambahkan lagi air hangat untuk kopimu.” Katamu, sekian menit yang lalu.
Dan aku hanya bisa merenung, sembari melihat cahaya matamu yang meredup.
Lalu aku teringat janji-janjimu, yang membeku namun aku tak rela bila dinamai palsu.
“Terima kasih. Kau tak pernah suka aroma kopi.” Aku mencoba berbicara pada hatimu.
Namun kau hanya diam. Mungkin kita sama-sama faham.
Seiring mentari yang meninggi, waktu kini tak bisa lagi dikata pagi.
Lalu jemari lembut itu menyentuh ujung gelasku,
“Kau hanya sedang rindu.”
Lalu tanpa jeda, aku tergugu. Ah, kau memang selalu tahu.

-37w pregnancy. Stay safe dear...-

READ MORE - Pagi yang Meninggi

Read Comments
 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men