Payung

Image by google

"Kamu ngerusak payung Mama?" Tanya Ibu Luthfi dengan nada tinggi. Tak mengindahkan anaknya yang basah terkena siraman hujan.
Luthfi bergeming. Bukannya menjawab salam, ibunya malah membentak.
Kakak dan adiknya duduk di kursi, menunduk. 
.
Senyum Luthfi yang mengembang di sepanjang jalan dari sekolah sirna sudah. Ia mengangguk.
.
"Maaf, Ma. Luthfi tidak sengaja." Bukannya melunak, Mama Luthfi malah memukulkan tongkat payung itu ke betisnya. Satu. Dua. Tiga. Empat. Luthfi memejamkan mata, menggigit bibir, menahan sakit.
.
Rasa panas menjalar di kakinya. Tapi, lebih panas lagi matanya. Sebisa mungkin ia tidak akan menangis.
.
"Bodoh, anak tak berguna! Mama kan udah bilang, jangan pakai payung mama! Kamu mau ganti, hah?"
.
Satu pukulan berikutnya, lebih keras dari yang tadi.
.
Luthfi diam, kakak-kakaknya diam. Adiknya yang paling kecil menangis. Mungkin takut. Bayi tak berdosapun merasakan atmosfer tidak nyaman itu.
.
"Susah-susah Mama ngegedein kalian. Gak ada yang berguna! Bisanya cuma minta uang, beli ini, beli itu. Ngerusak ini, ngerusak itu!"
.
Mama berkacak pinggang. Kini tidak hanya Luthfi yang jadi sasaran. Kelima anaknya jadi korban, hanya karena payung patah sialan itu.
.
"Mama tuh capek! Harus masak, harus nyuci, harus nyetrika, belum harus bikin kue, jualan keliling kampung! Kalian cuma bisa bikin Mama susah!" Muka mama Luthfi merah. Amarah meledak, tangis hampir meruah.
.
"Minta sana sama Bapak kalian! Datangin ke istri mudanya!" Kelima anaknya tertunduk lebih dalam. Siapapun kini faham, amarah Mama mereka, bukan sekedar tentang gagang payung yang patah.
***
Dua puluh enam ribu lima ratus. Anak laki-laki itu melirik uang yang kini ada di tangannya. Jika ia membeli kerudung itu, uangnya tinggal seribu lima ratus. Artinya, ia tidak akan bisa pulang naik angkot.
.
Ia bergeming di tempatnya beberapa saat, lalu memutuskan untuk membeli. Dipilihnya kerudung polos segi empat tanpa motif. Biru muda. Pasti cocok untuk wajah perempuan itu. Perempuan yang telah membesarkannya selama dua belas tahun.
.
Setelah pelayan toko membungkus kerudung itu, segera dimasukkannya ke dalam tas ransel. Tas itu kumal, layaknya baju seragam merah putih yang membungkus tubuh kurusnya. Dari bladus warnanya, siapapun akan tahu, bahwa baju dan tas itu pastilah lungsuran seseorang, mungkin kakaknya.
.
"Ibumu ulang tahun?" Tito yang menemaninya ke toko jilbab bertanya.
"Tidak. Memang kenapa?" Anak itu balas bertanya.
"Kenapa kamu belikan hadiah segala?"
"Gak apa-apa, pengen aja."
.
Mereka berdua menelusuri gang demi gang untuk memangkas jarak. Tito sebenarnya menawari Luthfi untuk pinjam uangnya, tapi Luthfi menolak.
.
Mereka berbincang tentang segala hal di hari itu sambil tertawa-tawa. Luthfi ingin segera sampai di rumah, ingin memberikan hadiah kecil untuk ibunya. Uang jajan yang telah ia sisihkan selama seminggu ini.
.
Beberapa langkah mereka berjalan, tiba-tiba hujan mengguyur bumi. Tito berlari, sedang Luthfi menepi. Ia teringat ada payung milik ibunya. Luthfi membuka payung usang yang sudah karatan. Berusaha membuka, tapi payung itu tak hendak menuruti keinginannya bahkan setelah dikerahkan semua tenaga miliknya.
.
Krak! Payung itu malah memilih untuk patah. Gagangnya terkulai. Ah, sudahlah. Luhfi tidak peduli, mengejar Tito yang sudah sepuluh langkah di depannya.
.
Ia berlari kencang sembari tertawa. Acuh pada hujan, tak peduli pada payung patah, atau pada seragam dan sepatunya yang basah. Ia tak ingat bahwa seragam dan sepatunya hanya satu, dan itu berarti tak ada ganti untuk esok hari.
.
Hatinya bernyanyi riang.
Mama, ini ada hadiah untuk mama, tunggu sebentar ya....
***

Ummusagara, 18 April 2017
READ MORE - Payung

Read Comments
 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men