Saat Itu

pixabay.com


Saat itu....
Sedu sedan jadi makanan, tangis merupa kebiasaan, gelisah yang betumpuk-tumpuk menjadi beban,namun tetap tidak ada upaya untuk dibenarkan.

Saat itu...
Diam menjelma kawan, dingin malam menjadi santapan.
Belum lagi rasa sepi, kehilangan, dan mimpi-mimpi panjang melelahkan.

Saat itu...
Dia hanya bisa duduk, tersaruk mencari rasa yang berserakan. Mencoba memahami arti dari mimpi, dari tangis yang hilang jeda, juga hati yang kulitnya mengelupas.

Saat itu...
Dia merengkuh duka dalam-dalam, menghirup sesaknya hening fajar dan menelan kembali ratusan kata yang tidak bisa terlahir akibat bidan aksara yang tak hendak membantu persalinan kata.

Saat itu...
Diam.
Dia sakit kepala.
Mungkin akibat dikhianati kata yang terperangkap, hanya berisik di kepala, tanpa ada telinga yang menangkap, menanggapi, atau sekedar menangkap resonansi.

"Jangankan telinga orang," katanya. Bahkan telinganya sendiri saja, yang satu kepala dengannya, tak bisa mendengar apa-apa.

Saat itu...
Pada usangnya sajadah dan mushaf ia kembali.
Ah, ya. Mereka memang selalu bisa jadi andalan di saat sepi.

***

Di bawah langit-langit,
Dibatasi empat dinding yang sudah kuhafal warnanya dengan baik,
6 Mei 2017
READ MORE - Saat Itu

Read Comments
 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men