Baik, abaikan tentang ejaan. Abaikan tentang aturan. Menulis hanyalah
menulis. Pagi ini saya tetiba terdampar di blog Dee-Dewi Lestari. Salah satu penulis
favorit saya. Karyanya sangat memukau,
membuat saya sering kali menghela nafas panjang, atau malah tidak sadar, tidak
bernafas dalam membaca satu paragraf dari karyanya. Ya, saya telah begitu jatuh
cinta.
Saya sedang bicara sastra. Maka abaikan dulu apakah dia adalah
pendukung LGBT—mengingat buku pertamanya berisi kisah seorang gay—atau bukan. Abaikan ia yang tidak pernah
menyimpan amanat untuk kaum muslim. Tidak seperti Tere Liye, Andrea Hirata,
atau penulis lain yang juga favorit saya. Dewi Lestari adalah pengecualian. Terkadang
bukunya tidak baik dikonsumsi orang Islam. Tapi sekali lagi, saya hanya
menikmatinya dari segi sastra. Saya mengaguminya karena kepadaiannya dalam
meracik kata.
Dan saya langsung tergerak untuk kembali membuka Microsoft Word, hanya karena membuka review buku Supernove yang keenam. Ya, hanya revieuw. Bukan membaca utuh satu buku. Intelegensi Embun Pagi, itu
judul bukunya. Saya yang tidak update
ini, merasa kecewa karena saat ini, masih belum sadar buku yang amat saya
nantika telah terbit bulan Februari lalu. Buku itu adalah buku serial yang
jilid satunya ditulis pertama kali tahun 2001, dan tamat lima belas tahun
kemudian di jilid keenam.
Saya sudah menyelami kisah supernova dari jilid pertama. Dari cetakan
pertama, yang covernya berisi simbol-simbol matriks dan angka. Saya yang
membacanya saat masih SMA kala itu, ditengah sibuknya berinteraksi dengan rumus
Fisika dan Kimia, merasa terkaget-kaget, kok
bisa ini rumus keriting jadi kisah cinta??
Dari sanalah, saya mulai jatuh cinta. Pada Buku pertama Ksatria,Putri
dan Bintang Jatuh di jilid pertama, lalu Akar di jilid dua, dan Petir di jilid
tiga. Kesemuanya hanya modal pinjam. Walaupun akhirnya saking jatuh cinta sama
jilid pertama, saya membelinya lagi, padahal sudah baca. Dilanjutkan berburu membeli
online jilid keempat, Partikel. Dan sebagai hadiah ulang tahun dari teman, ia
membelikan saya buku Gelombang, buku jilid lima. (Langsung celingak-celinguk,
siapa tahu ada yang mau memberi gratis juga buku keenam).
Saya begitu iri pada seorang
penulis. Bagaimana mungkin mereka bisa begitu sabar mengetik huruf perhuruf,
sedangkan adakalanya jemari kita begitu macet tidak bisa digerakkan? Atau terkadang
ide mengucur begitu deras dari kepala, sehingga kecepatan mengetik sepuluh
jaripun tidak cukup cepat untuk mengimbanginya.
Ya, seperti sekarang. Saya
mengetik dengan kecepatan ekstra. Entah mengapa, begitu banyak yang ingin saya
luapkan. Saya tahu, menulis adalah passion
saya. Mungkin lebih besar porsinya dibandingkan dengan passion mengajar. Tapi, alangkah kasihannya diri saya ini, karena
ternyata penghambat terbesar saya untuk menulis adalah diri saya sendiri.
I love the way you write, mungkin adalah kata terindah kedua dari
suami saya, setelah ia berkeringat dingin mengucap ijab qabul di hadapan penghulu
tiga tahun silam. Mungkin juga hanya suami saya yang tahu bahwa saya memang
suka (dan ada sedikit bakat) untuk menulis. Mungkin jika diasah, saya bisa
menulis novel yang tidak jelek-jelek amat.
Hari ini saya hanya ingin berbagi.
Tentang betapa kasihannya diri saya yang tidak bisa menyalurkan passion dengan baik. Padahal kadang
keinginan menulis itu sudah sampai di ubun-ubun. Gatal sekali rasanya jemari
saya ingin mengetik. Tapi, lagi-lagi, pergi pukul tujuh pulang pukul lima,
ditambah pekerjaan rumah tangga, balita yang menunggu untuk diurus sepulang
kerja, serta kondisi hamil muda anak kedua ini, membuat passion menulis itu harus saya tekan sedemikian rupa. Akhirnya saya
memberi janji palsu pada diri saya, PHP istilah ABGnya. Sudahlah, besok lagi menulisnya. Begituuuu terus sampai nanti kulit
durian ada ekstraknya.
Ah... Rabbi. Saya iri sekali
pada mereka yang berdakwah lewat tulisan. Pada mereka yang menebar banyak
inspirasi lewat jemari. Kapan saya bisa seperti mereka? Padahal menulis bisa
menjadi me time yang amat menyenangkan.
Baiklah, sekarang anakku yang lucu ini sudah tidak sabar lagi untuk mengambil
alih si kotak kecil ini. Jendela Word sudah saatnya ditutup dan diganti menjadi
Video Litte Baby Bum favoritnya. Saatnya berhenti menulis. Dan melanjutkannya
lagi, segera!
Bandung, 2 April 2016
Gerakan menulis sepuluh menit
sumber foto: google