Perlahan,
kusibak tetes demi tetes waktu. Dengan rakus kuminum, kuselami. Namun ternyata
rasa haus itu tak kunjung berhenti. Malah semakin menjadi. Mungkin memang
kurang rasa, kurang warna. Mungkin perlu kutuang satu dua tetes perisa. Agar lidahku
menjumpa suatu yang baru. Aku berjalan ke arah-arah penjuru. Mencari satu dua
warna, rasa. Aku tukar uang terakhir yang kupunya dengan apa yang mereka
perdagangkan.
Hmm,
sayangnya terlalu mahal. Uang yang sudah sulit kucari itu, tak menjadi apa-apa.
Tak menjadi segala. Aku berpikir mencari cara. Satu dua penjual kutinggalkan
paksa. Demi mencari sesuatu yang lebih bermakna. Aku kembali berputar.
Mencoba
lagi beberapa nuansa. Kini rasa haus itu menggila. Ia mengganggu, menuntut. Sedang
aku masih tak bisa meminum apa-apa. Mulutku menolak tetes-tetes air putih yang sudah
bertahun-tahun kukecap. Sudah bosan rasanya.
Lalu
tiba si penjual tua. Tangan keriputnya membawa. Ia serahkan rasa baru itu
padaku. Pada kerongkonganku yang juga ikut menua. Ditegaklah isinya. Dinikmati airnya.
Dikristalkan rasanya. Diingat-ingat warnanya.
Si penjual
tua tak hendak mengambil recehan yang kubawa.
“Masukkan
lagi ke dalam kantong bajumu. Aku tak menginginkannya.” Lalu ia berbalik pergi.
Meninggalkan aku dengan sejuta tanya. Bahkan belum sempat kutahu namanya.
Aku juga
belum mengucap terima kasih padanya. Rasa hausku terobati sudah. Dahagaku menghilang,
tak lagi terbayang-bayang. Aku ingin mengejarnya, memberikan apa saja yang aku
punya.
Namun tanganku bergetar.
Hebat.
Mataku berputar.
Air mata mungkin ingin
memancar.
Rasanya sakit, sakit
sekali.
Kemudian yang kulakukan,
Hanyalah tertatih,
dengan kerongkongan yang mungkin terbakar...
Di bawah langit-langit kamar,
9 Januari 2013