Taman Sa(fa)ri

Kali ini saya ingin berbagi sebuah cerita lucu. Hmm, tidak lucu-lucu amat sebetulnya. Tapi mungkin ada satu pembelajaran halus yang tersembunyi dari cerita ini. Bagaimanakah ceritanya?

Hari itu cerah. Bukan hari libur tapi Bandung tetap macet. Walaupun macetnya masih bisa dikatakan bersahabat. Saya, suami (cie cie punya suami) dan seorang adik kecilku menaiki angkot Caheum-Ledeng, menuju suatu tempat. Tadinya saya mau pacaran saja dengan suami, tapi karena adikku semangat ingin ikut, dan saya juga berpikir lumayan ada yang bisa potoin, saya ajaklah dirinya. Hehe.. peace ya, Danil ^_^

Angkot yang saya tumpangi tidak penuh. Hanya berisikan kami bertiga yang kepanasan dan sepasang suami isteri lain. Saya melihat di jari mereka ada cincin putih yang melingkar. Saya simpulkan saja itu cincin pernikahan.

Singkat kata, kami sampai di sebuah tempat. Dengan ongkos tiga ribu rupiah, kami sampai dengan selamat di sebuah tempat hiburan daerah Taman Sari. Ups, ketika saya menyebutkan Taman Sari, tentu saja sudah terbayang tempat tujuan kami: Kebun Binatang Bandung.

Sebetulnya, perjalanan ke kebun binatang ini adalah sebuah obat bagi sakit hati saya. Tunggu, tunggu! Sakit hati dalam hal apa nih? Oke, kita mundur dulu ke ruang informasi. Kebetulan, di sekolah saya, SDIT ibnu khaldun, sedang ada acara rihlah ke Taman Safari Bogor. Saya ingiiiiiin sekali ikut. Tapi karena orang tua tidak mengizinkan (baru menikah empat hari sudah mau pergi jauh—begitu katanya), akhirnya saya menghibur diri. Biarlah guru-guru yang lain pergi ke Taman Safari, saya dengan suami pergi ke Taman Sa(fa)ri. Toh yang kami lihat di sana sama-sama hewan. Benar kan?

Akhirnya dengan berbekal se-tupperware air putih dan tiga kerat bolu kismis kami berangkat ke sana. mengabadikan berbagai hewan. Saya selalu merinding melihat binatang buas. Melihat macan tutul yang ada di puncak pohon, saya merinding. Melihat harimau, saya merinding. Melihat singa, saya merinding. Apalagi melihat ular, sudah pingin nangis saja rasanya.

Dan tingkah suamiku itu memang menyebalkan. Sudah tahu saya takut ini dan itu, ia malah mengaum-aum di kandang singa (salah, di semua kandang hewan buas tepatnya). Sampai-sampai ada harimau yang tadinya sembunyi di kandang dalam, mendengar auman suamiku lantas keluar. Berjalan mendekati kami sambil mengaum juga. (tentu saja saya semakin stres).

Cukup puas kami melihat-lihat. Suamiku terus saja mengejek hasil foto saya. Saya memang tidak pandai memotret (Selain juga amat tidak pandai menggambar). Mungkin seni memotret dan menggambar itu masih satu rahim (sama-sama dari otak kanan kayaknya). Dan otak kananku entah mengandung unsur seni atau tidak. Hehe...

Ini beberapa foto hasil jepretan saya. Memang patut (banget) untuk ditertawakan. Suamiku berteriak dikejauhan... moto naon atuh neng ieu teeeeeh? Hahaha... 





Sedangkan ini foto jepretan suami. Hmm walaupun tidak rela memuji, tapi oke lah. Saya mengakui hasil jepretan anda, Sob!





Nah dan ini...



Ini foto kami berikut adik :))

Entah saya yang nempel terus atau sebaliknya. Adik saya terlihat bete. Belakangan, saya tahu dia  tweet sesuatu, bunyinya kurang lebih begini, "bete deh seharian jadi kambing congek."
Hehehe.. maaf ya dik... kami memang berniat mau pacaran. Siapa suruh pengen ikut :p

Dan mungkin yang terganggu tidak hanya adikku. Ada segerombolan akhwat berjilbab (jilbab beneran ini ya yang saya maksud, bukan kain penutup kepala). Melihat saya yang berpakaian seperti mereka, tapi tangannya terus-menerus digenggam laki-laki, mungkin juga membuat mereka risih. Kami sempat berpapasasan. Mereka memandangi saya  terang-terangan, dengan pandangan yang tidak mengenakkan. Seolah matanya berkata—situ oke?

Mungkin, kami nampak seperti orang yang sedang pacaran, tidak ahsan. Saya sadar, lalu mulai melepaskan genggamannya.

“Kenapa?” tanya suami.

Lalu saya menjelaskan seadanya. Mungkin memang tidak pantas di tempat umum begitu pegang-pegangan tangan. Apalagi saya berjilbab, kata saya. Tapi dia malah terkekeh.

“Gerombolan akhwat yang tadi?” tanyanya. Saya mengangguk.
Saya ceritakan rasa tidak enak saya pada mereka.
Tapi suamiku dengan tetap stay cool, tidak merubah posisi tangannya. Saya akhirnya menurut saja. Sudahlah. Di kebun binatang itu mungkin jauh lebih banyak yang statusnya “pacaran” dan mereka juga anteng-anteng saja. Saya kan sudah suami isteri?

Lalu yang lucu adalah, ketika sekitar satu jam berselang, kami berpapasan kembali dengan gerombolan akhwat yang tadi. Saya mulai menarik-narik tangan hendak melepaskan genggaman karena teringat peristiwa sebelumnya. Tapi suamiku malah mempererat genggamannya. Dan tepat ketika gerombolan akhwat itu di depan kami, suamiku berkata dengan lantang:

Tos nikah, Teh—sudah nikah, Teh.”

Saya diam mematung. kaget juga dengan celetukan suami saya. Saya akhirnya menunggu reaksi akhwat-akhwat itu. Kemudian satu dua akhwat terdengar cekikikan. Yang lain ber-ooooh ria. Yang lainnya lagi saling sikut sambil tertawa-tawa.

Suamiku menoleh pada mereka dan merasa puas dengan "klarifikasi" yang dibuatnya.
“Tuh bener kan, Neng. Mereka itu suudzan. Memang harus kita kasih tahu biar mereka tidak suudzan lagi.” Ucapannya lagi sambil melenggang cuek.

Saya akhrinya ikut tertawa. Ada pesan moral yang bisa saya tulis di sini, bahwa selain tidak boleh menunjukkan "kasih sayang" berlebihan di tempat umum, adalah benar jilbab akan melindungi kaum perempuan. Ketika kita melihat orang berjilbab, berperilaku "tidak sesuai", otomatis kita akan semakin diperhatikan. Bandingkan jika yang ada dalam kasus saya ini adalah perempuan ber-rok mini, apakah akan dipermasalahkan oleh orang-orang di sekitarnya?

Saya rasa tidak. Setidaknya, dengan jilbab kita bisa merasa lebih safe.

safe now, safe after (semoga)



Kamar, 25 Juni 2013
Badan  masih memanas, tapi mumpung semangat nulis, nulis aja ^^

Read Comments

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sedikit terkesan dengan ceritanya.. jadi pingin kesanaa =))

Posting Komentar

 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men