Alhamdulillah...
Itu
kata yang harus sering-sering kuucapkan. Hari ini, menjadi H-2 dari hari yang
akan saya kenang sepanjang waktu. Menjadi hari yang akan mempercepat saya
menuju proses pendewasaan (semoga). Rasanya terlalu cepat, atau mungkin tidak—entahlah.
Dulu saat hari pernikahan yang ditetapkan masih dalam hitungan bulan, saya
kerap menghitung mundur. Tujuh puluh dua hari lagi. Enam puluh empat hari lagi.
Begitu terus setiap hari.
Pernikahan
itu, yang dikatakan orang sebagai mahligai, kini mulai menunjukkan taringnya
padaku. Bahagia, memang. Tapi di setiap jengkal kebahagiaan itu, juga terselip
helai-helai kecemasan. Bagaimana kalau begini? Bagaimana kalau begitu? Hmm, maybe,
all i have to do just to be relax, and hope everything’s gonna be okay.
Terharu
rasanya. Ketika sanak saudara datang berbondong-bondong ke rumah. Pagi-pagi
sekali, saat saya baru selesai shalat subuh, sudah ada yang datang. Bertanya,
mana pisau, mana gunting. Mereka, tanpa dikomando segera bergerak. Mengerjakan apa
saja yang bisa dikerjakan. Mengupas bawang, kentang, dan segala tektek bengek
lainnya. Saya benar-benar mengapresiasi kekompakan mereka, Kebaikan hati
mereka.
Belum
lagi, ketika mereka juga pulang, dan datang kembali. Membawa tipsi—tempat dari
alumunium yang biasanya dipakai untuk beras ketika mengunjungi rumah yang
hajatan. Ya, banyak sekali beras di rumahku sekarang. Selain beras, mereka
membawa amplop. Dan ada juga yang membawa berbagai makanan. Peuyeum, kue-kue bakar yang lucu, cake yang ada bunga-bunganya (sayang
banget makannya). Ya, sejauh ini, rumah mungilku itu sudah terisi penuh oleh
banyaaaaak sekali makanan.
Saudaraku
datang dari berbagai penjuru (kayak avatar aja bahasanya^^). Dan semua ini
membuat saya merasa tidak enak. Mereka repot seperti ini, untuk siapa? Tentu saja
untuk saya dan keluarga. Padahal, tidak jarang, mungkin di hari-hari
sebelumnya, saya cuek-cuek saja pada mereka. Hanya sebatas tersenyum dan
menganggukkan kepala ketika berpapasan.
Nikah
itu ribet, ya? Hehe.. Mungkin manusia juga yang membuatnya ribet. Allah
benar-benar memudahkan pernikahan. Tapi, ibuku bilang, “teu nanaon, da ngan sakal ieuh—gak apa-apa, hanya sekali ini”.
Sampai
dimana persiapannya? Hari ini hari Jum’at. Dan akad dilaksanakan hari Minggu.
(omaigod berapa jam lagi ituuuuuu??) dan kondisi rumah sudah oke. Kamar sudah
wangi, dihias kain-kain segala. Padahal saya sudah bilang tidak perlu. Rumah sudah
rapi ditutupi kain background. Tadi sempat
nengok gedung, juga sudah mulai dipasangi tenda dan kain-kain background.
Hmm,
rasanya seperti gado-gado. Entah kepada siapa saya bisa menumpahkan perasaan
jika bukan pada laptop putih ini. Lalu diposting di blog, seperti yang
sudah-sudah. Orang tua saya sibuk. Keluarga sibuk. Teman-teman entah sedang apa
mereka. Mereka datang di hari H saja, saya sudah amat senang.
Perlu
dicubit tidak ya? Rasanya masih mimpi saya sebentar lagi menikah. Rasanya baru
kemarin saya belajar naik sepeda. Baru kemarin saya stres menghadapi Ujian
Nasional. Baru kemarin saya adaptasi sebagai mahasiswa. Dan ternyata, Allah
memudahkan jodoh saya dengan amat mudah. (Gak amat-amat banget sih, tetap saja
ada beberapa kerikil di perjalanan menuju pernikahan. Kerikil yang amat
menyakiti kaki saat kuinjak). Tapi, terlepas dari semuanya, Allah memang Maha
Baik. Diberikan-Nya sosok laki-laki yang ingin memuliakan saya. Dipilihkan-Nya
laki-laki yang mungkin memang bisa melengkapi saya. Dikirim-Nya laki-laki yang
bisa mencubit saya ketika saya lalai.
Rasanya
takut. Waswas. Cemas. Apalagi, masih belum tahu setelah menikah mau kemana. Masih
ada kerikil-kerikil yang belum tuntas terpangkas. Masih ada duri yang belum
bersih tersapu. Tapi itu urusan nanti. Yang jelas, saya punya niat baik. Calon suami
juga mempunyai niat baik. Semoga Allah membalas kami dengan sesuatu yang baik
pula.
Jodoh
itu aneh, ya? Berhati-hatilah dengan gumaman hati. Karena katanya, dulu si
calon suamiku itu, pernah bergumam dalam hatinya, “kayaknya perempuan ini bisa
jadi isteri yang baik.” Padahal, kenalan saja tidak. Ngobrol saja tidak. Dan sejujurnya,
saya juga punya gumaman hati yang sama saat mendengar orang membicarakan
beliau. Dulu, bertahun lalu, bahkan sebelum saya tahu wujudnya, belum melihat
bahkan sekedar fotonya, hati saya sudah bergumam juga, “kayaknya orang itu bisa
jadi sosok suami yang baik.”
Entahlah.
Mungkin apa yang selalu sahabat saya katakan itu benar. “Perempuan percaya akan
apa yang mereka dengar. Laki-laki percaya akan apa yang mereka lihat.”
Sahabat
yang satu lagi berkata, “jodoh itu adalah ketika kalian saling merasa.”
Atau
entah apalagi yang biasanya dikatakan orang tentang jodoh. Yang saya tahu, saat
ini, dan empat puluh satu jam lagi, saya tetap berdo’a. semoga Allah
memudahkan, melancarkan, dan memberkahi niat baik kami. Aamiin ya Rabb...
Tulisanku
hari ini kacau sekali, ya? Biarlah. Saya tidak mau meng-editnya. Biar yang baca
tahu, perasaaan saya sedang carut marut saat ini. Hihi..
Ketika aku kini berdiam diri
melukis
Tangan sebagai kuas
Udara sebagai kanvas
Kugambar segitiga besar;
Saya,
kamar pengantin (katanya),
dan sejumput harapan
harapan yang tiba-tiba muncul
dari sebuah ketenangan
Ketenangan yang tidak berhasil
kunamai...
Bandung, 14 Juni 2013
(Menulis,
tengkurap, dengan mata perih bawang, hidung tertusuk bumbu dapur yang amat
menyengat. Musik sunda berdentum-dentum di luar sana)
0 komentar:
Posting Komentar