(Bukan) Cinta dalam Gelas


      Satu hari lagi yang Alloh berikan padaku untuk disyukuri. Hari ini anak-anak sekolah dengan gembira, paska libur empat hari yang menyenangkan. Beberapa persiapan memang harus saya lakukan menjelang UAS. Tapi rasanya saya sudah bisa meng-handle dengan baik.
Hujan turun terus menerus di Bandung. Menyisakan kantuk, sedikit gerutuan, dan mungkin alasan bagi banyak orang untuk menunda aktivitas. Dan mungkin lagi, saya salah satu dari orang-orang itu. Saya suka hujan. Bahkan nge-fans. Saat hujan, mood saya biasanya membaik. Ada kedamaian saat mendengar titik-titik hujan di genting kamar saya. Ada kenyamanan saat memandangi jendela basah. Atau bahkan di bau tanah basah yang tersiram hujan. Tapi belakangan ini, semenjak saya resmi menjadi pengendara motor lintas kota (ecie bahasanya -_-;) hujan menjadi faktor yang sedikit tidak menyenangkan bagi saya. Apalagi kalau hujannya ekstrim, dengan angin besar dan petir menyambar-nyambar.
Dua hari lalu turun hujan yang seperti itu. Dengan kondisi sendirian di rumah, rasanya cukup menakutkan. Saat itu, dua pohon besar di dekat rumahku tumbang. Dan di daerah Kiara Condong—menurut televisi—banjir lumayan parah.
 Saya yang memang tampaknya hanya memiliki sedikit cadangan lemak, biasanya langsung mual setelah kehujanan. Apalagi sore-sore begini. Mandi dengan air hangat menjadi agenda menyenangkan setelahnya. Lalu segelas susu coklat hangat, berselimut sambil menunggu magrib menyapa. Telinga disumpal headset yang mengalunkan alunan ayat suci Al-Qur’an, damai sekali rasanya. Hmm, ternyata masih selalu ada sisi baik dari hujan, walaupun ia turun besar-besaran. Bukan hujan rintik-rintik macam favorit saya. ^_^
Ditengah kesibukan saya membuat soal Formatif dan kisi-kisi Sumatif, saya menyempatkan diri untuk menulis. Saya harap kedepannya saya tetap bisa menulis. Menulis apapun, jika memang membuat cerpen rasanya sudah (sedikit) tidak memungkinkan, setidaknya saya bisa menulisi blog sendiri. saya bukan tipe orang yang ingin menaikkan rating blog dengan blog walking, atau apapun lah itu, saya gak ngerti. I just need a little space for pouring my words out. Bahkan saat tidak ada yang membaca sama sekali, saya tetap merasa nyaman dengan itu.
Masih bicara tentang hujan. Entah ini hanya perasaanku saja, atau memang rata-rata semua orang mengalami ini? Biasanya saya akan teringat keluarga kalau hujan sedang turun. Bahkan saya bisa tiba-tiba mellow gak jelas, tiba-tiba ingin menangis tanpa alasan yang pasti. (Hmm, mungkin terlalu banyak dosa)
Saya jadi teringat buku Andrea Hirata yang judulnya Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas. Novel dwilogi yang dicetak menjadi satu buku. Saya pernah melihatnya beberapa kali di Gramedia. Bukunya dibuat dua sisi berlawanan. Mungkin kalau dulu ada majalah anime yang dicetak begitu, namanya majalah Animonster. Saya baru khatam membaca buku yang judulnya Padang Bulan. Sedang yang Cinta dalam Gelas, saya baru membaca separuh. Tapi saya sudah dapat intinya. Cinta dalam gelas itu ternyata filosofi dari secangkir kopi. Bagaimana secangkir kopi bisa menyiratkan cinta. Penulisnya memang amat cerdas. Saya tidak pernah bosan membaca novel Andrea Hirata.
Lalu saya mengingat juga, segelas cinta yang diberikan ibu saya, hampir setiap hari. Ibu saya berjualan kecil-kecilan di rumah. Jadi, pagi hari saat saya hendak berangkat mengajar, biasanya Ibu saya sudah berangkat ke pasar. Tapi di meja makan selalu tersedia segelas jahe panas yang dicampur gula merah. Saya selalu ingat kata-katanya, “sarapan, nanti masuk angin.” Dan saya, yang entah kenapa sedikit bermasalah dengan sarapan akhir-akhir ini, kadang tidak enak karena Ibu saya sudah menyiapkan sarapan, tapi saya tidak memakannya. Bukan karena saya tidak mencoba. Tapi biasanya, makanan itu keluar lagi sejak suapan pertama. Perlu usaha ekstra untuk bisa menghabiskan sepiring nasi goreng di pagi hari. Oleh karena itulah, Ibu biasanya menyiapkan segelas kecil air jahe untuk menyiasati saya yang enggan sarapan. “Biar perut kamu hangat.” Itu katanya. Cintanya lebih dari sekedar cairan yang disajikan dalam gelas, saya rasa.
       Atau mungkin cerita dari seorang Bapak yang setiap pagi mengeluarkan motor, memanaskan mesinnya, mengelapi setiap jengkal dari motor itu, mengecek rem, lampu, dan apalah lagi bagian motor yang lainnya, saya tidak tahu.
Ya, benar. Bapak melakukan itu setiap pagi. Saat saya siap-siap di dalam rumah, beliau berkutat di halaman, mengecek kalau hari itu ada yang aneh dengan motornya, dengan wajah serius.
Bahkan saat aku keluar rumah dengan kondisi siap berangkat, beliau masih di sana. berdiri, tersenyum, menanggalkan standar motor, dan sebagai gantinya, memegangi motor itu dengan tangannya.
“Helm? STNK? SIM? Sarung tangan?”
Aku mengangguk.
“Spionnya udah enak?” tanyanya lagi sambil menggeser-geser letak kaca spion.
Aku mengangguk lagi. Dan itu berlangsung setiap pagi.
Beliau juga yang akan mengeringkan, melipatkan, dan memasukkan jas hujan yang masih tergantung di kamar mandi akibat masih basah karena kemarin sudah dipakai. Tanpa diminta, beliau sudah menyiapkannya. Beliau juga meyiapkan sandal saya. Di sekolah, sepatu di lepas. Jadi saya membawa sandal jepit untuk dipakai di kelas. Biasanya, setiap Jum’at, saya bawa pulang  sandal itu untuk dicuci. Dan Beliau tahu itu. Setiap Senin, sandal yang sudah saya cuci itu, sudah beliau siapkan di motor.
Dan kadang, segelas air jahe dan sandal jepit yang menggantung di motor itu membuat saya berangkat dengan mata berkaca-kaca. Tanpa diminta, mereka melakukannya setiap pagi. Padahal saya sudah cukup besar untuk memarut jahe sendiri, atau mengeluarkan motor sendiri, apalagi untuk menyiapkan jas hujan dan sandal sendiri. tapi mereka tetap melakukannya setiap pagi.
Itu bukan lagi cinta yang terhidang dalam gelas. Entah cinta dalam apa. Yang jelas saya merasakannya. Mungkin, tidak ada wadah yang cukup besar untuk mengemasnya. Saya ingat kata-kata dosen Filsafat saat saya semester tiga, dan saya benar-benar tersentuh saat itu,  “Orang tua itu adalah orang yang aneh. Coba lihat ayah kalian. Ia bekerja dari siang sampai sore, mungkin malam, hanya untuk mencari uang demi keluarga. Setelah dapat uangnya, bukan ia habiskan untuk sendiri. tapi malah ia belikan makanan untuk anak-anaknya di rumah. Kalian tau perasaan ayah kalian saat hasil kerja kerasnya seharian langsung habis sama kalian? Bukan kesal, bukan marah, tapi senang, aneh kan yah, bisa kayak gitu?” kami sekelas hanya diam, mungkin teringat pada ayah masing-masing.
Beliau melanjutkan, “Cinta orang tua begitu besar. Tapi, kalian tahu? Cinta orang tua yang segitu besarnya, tidak akan mencapai sepersepuluhnya dari cinta Alloh pada kalian.” Kami semua meresapi ucapannya dalam diam. Entah teman-teman sekelasku masih ingat kata-kata Pak Dosen atau tidak. Yang jelas, buat saya, kata-kata itu lebih menempel dibanding nasihat-nasihat yang lainnya.
Hmmh, Posting kali ini cukup panjang. Hujan semakin menderas di luar sana. lima belas menit lagi adzan magrib berkumandang. Orang tuaku sudah di rumah. Adikku juga. However, intinya adalah... Semoga Alloh selalu mencintai kalian... Aamiin...


*) Disadur dari judul Novel Andrea Hirata; Cinta dalam Gelas

Read Comments

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men