Penjual Cilik


Dengan langkah perlahan kutelusuri jalan yang berkelok-kelok itu. Khas kampungku. Jalan berliku yang tidak mudah dihafal jika baru dilewati sekali dua kali. Anak-anak berceloteh.  Langkahku terhenti tepat di sebelah rumah. Lima orang anak duduk, membicarakan sesuatu. Aku kenal betul anak-anak itu. Yang dua adalah sepupuku, yang tiga lagi tetangga. Depan, samping, belakang rumah. Pokoknya mereka semua tetanggaku.
Biasanya mereka bermain mobil-mobilan, berkejaran dengan sepeda, bahkan bulu tangkis. Bak pemain profesional, mereka mengayunkan raket dengan berbagai ekspresi, walaupun pada kenyataannya jumlah kok yang menyasar ke atap lebih banyak daripada jumlah ketepatan pukulan mereka. Biasanya, jika sudah seperti itu, mereka akan mengetuk pintu rumahku. Meminta lagi kok bekas. Ayahku, yang memang menggilai badminton, setiap pulang dari gor pasti memunguti kok bekas. Disimpannya kok yang sudah tak layak pakai itu untuk mereka, anak-anak yang senantiasa ceria.
Namun kali ini, ada yang lain. Mereka duduk di teras, rapi di sekeliling meja lipat. Aku tebak gambarnya tidak akan jauh dari spongebob atau ben ten. Meja itu tertutup gambarnya oleh taplak sederhana. Diatas meja itu, teronggok banyak plastik berisi cairan warna-warni.  Merah, kuning, coklat, bahkan warna yang aku tak tahu apa namanya.
Aku yang biasanya melenggang cuek, tanpa bertanya basa-basi, kini berhenti tepat di depan mereka.
“Apa itu?” tanyaku, menunjuk jejeran cairan warna-warni dengan dagu.
“Jualan minuman teh.” Ujar salah satu sepupuku. Ia menyebut berbagai merk minuman murahan yang sering masuk acara investigasi karena banyaknya zat tidak sehat di dalamnya.
Aku tersenyum di kulum. “berapa satunya?”
“Lima ratus. Yang banyak seribu.”
Aku menatap mereka. Lima pasang mata yang juga balas menatapku.
“Siapa yang bikin?” tepatnya siapa yang nyeduh. Karena itu minuman instan yang tinggal diberi air.
“Kita dong.” Jawabnya lagi , bangga.
“Beli  minumannya pakai uang siapa?”
“Udunan.” (patungan, b. Sunda) jawaban mereka, kompak.
Tiba-tiba rasa itu menyeruak. Akumulasi dari berbagai rasa yang tidak bisa didefinisikan. Yang lebih dominan, mungkin rasa rinduku pada masa kecil.
“Teteh beli dua ya.” Jawabku sambil menyodorkan uang seribu rupiah.
Mereka bersorak girang. Menyerahkan dua bungkus minuman warna-warni yang isinya sangat sedikit, dibungkus plastik berhekter. Dilihat dari manapun, memang tidak ada yang istimewa dengan minuman itu. Mungkin dengan modal satu bungkus mar*mas yang mereka beli, bisa menghasilkan lima sampai enam kemasan yang dijual lima ratus, karena bungkusannya memang sangat kecil. Dan aku tidak berminat untuk meminumnya. Siapa yang jamin bocah-bocah itu menyeduhnya dengan air masak? Hehe...
Aku langsung masuk ke dalam rumah. Menuju kamar, merenung. Kepolosan mereka, senyum mereka, membuat apa yang ada di kepalaku menguap seketika. Semuanya jadi terdengar remeh sekali. Keluhan-keluhanku seputar pekerjaan, kuliah, skripsi, uang, semuanya tampak kerdil sekali. Dan aku menyerusuk rindu. Pada masa kecilku, pada senyum mereka yang mungkin sudah tidak lagi aku miliki.
Dan aku teringat masa kecilku, yang juga kerap berjualan macam itu. Aku ingat betul. Walaupun “produk” kami sama sekali tidak menarik, bahkan cenderung tidak masuk akal untuk dijual, tapi nyatanya selalu laris manis. Itulah kasih sayang orang dewasa kepada anak-anak.
“Ayo, dibeli dibeli... minuman banyak rasa.” Suara lantang mereka masuk lewat jendela kamarku.
“udah ada yang beli belum?” tanya seseorang, yang tidak terlihat sosoknya namun suaranya terdengar jelas.
“udah dong, barusan dibeli dua sama Teh Ai.” Ujar suara anak yang lebih kecil.
  Lagi, aku tersenyum.

*catatan lama, kutemukan tak sengaja saat membuka-buka folder “Fulki Ilmi“ ^_^

Read Comments

3 komentar:

Anonim mengatakan...

when the children sing then the new world begin...*white lion

Unknown mengatakan...

And when you sang, the teens are going nuts.. ahaha ^^

Anonim mengatakan...

hahah....dirimuh...i love you hahahahahha

Posting Komentar

 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men