Seorang wanita berdiri mematut diri. Hening
menyerangnya di segala sendi. Dibiarkan nadi itu berjalan sendiri. membawa
bercawan-cawan racun yang telah disaringnya sejak tadi. Sekali lagi terlihat
air mata membasahi pipi. Begitu bening, tanpa tepi. Tangisan itu adalah hal
yang terakhir ia punya. Untuk ia gadaikan bersama segala harga diri.
Mungkin bantal-bantal yang sudah ditiduri
selama ini membisiki lagu-lagu yang ranum. Menjadikan malamnya semakin berat
dan semakin pincang. Memeluknya kuat, hingga fajar melepas rantai. Dan ia
semakin ingin bertanya, mengapa diri ini semakin terasing, di tengah
bayangannya yang memantul-mantul. Memantulkan sendiri. Memantulkan ngilu di
seluruh sendi.
“Apa yang kau punya?” Sebuah suara tak
berpita kini bertanya, seolah muncul dari ruas-ruang tulangnya yang rapuh.
“Aku punya tangan dan kaki. Untuk menapaki.
Untuk berlari. Untuk menemani diri saat sendiri.” Lantas dihapusnya air mata
yang menjejaki lantai. Mengejek sisa-sisa nurani yang mulai sulit dipunguti.
“Bilakah aku memintamu menyerahkan salah
satunya untukku?”
Suara itu memantulkan kidung pahit yang
tak tersentuh. Memaniskan racun yang sempurna tersepuh. Hingga kidung itu diam.
Tak lagi berderik bahkan untuk seperempat detik.
“Lantas bila aku mati?” terbayanglah oleh
gadis itu sebuah cacian keji. Dari malaikat-malaikat pencatat amal yang bukunya
masih kosong tak berisi. Ia meringis, ngeri.
“Aku tak peduli.” Suara itu membahana,
menyisakan keriap sunyi yang enggan pergi.
Bulan dibiarkan bersinar sendiri. Memahat lengkung-lengkung abadi yang tak pernah ia singgahi.
“Peluk saja resah itu, dan rasakan setiap
getar tersamar yang kian nanar.”
Diujung gelisah, gadis itu merasa hidupnya tak lagi indah. Ia
merutuk sayap-sayap yang terbang setengah. Ia membenci risau yang tak pernah habis dipotong pisau.
“Jadi, mana yang akan kau berikan? Tangan atau
kakimu?” suara itu semakin merupa kidung. Sedang sang gadis semakin menjelma kabut. Ingin hilang diantara desah napasnya sendiri. Diantara berjuta sel diri yang tak pernah ia
kenali. Sekali lagi, gadis itu terdiam.
Menikmati keriap sunyi yang semakin terasa menghantui.
Catatan pertama di suatu pagi, di pertengahan November;
Satu hari dimana usiaku semakin mendekati penghabisan....
Entah untuk berapa lama lagi...
5 komentar:
....
?????????
ini teh kenapa ya, yang komen teh anonim semua, geje pula komennya.. just thanks for everyone who has reading this :)
bila saja boleh sedikit berceloteh mengomentari komentar yang telah anda komentari.
Untuk komentar pertama:
Tanda titik yang berderet memanjang mungkin menandakan bahwa sang komentator ikut meraskan atmosphere yang dirsakan oleh anda ketika anda mem-postkan tulisan anda,mungkin komentator sedikit tau segelumit cerita di balik tulisan anda, dan tanda titik beerderet itu merupakan representasi dari helaan nafas yang tertahan.
Komentar yang kedua:
Apa arti dari sebuah tanda tanya? dan jika tanda tanya berderet memanjang seperti itu bisa jadi komentator sangat ingin mengetahui latar belakang hingga tulisan yang anda post-kan terlahir. Atau mungkin komentator memang benar - benar tidak mengerti tentang tulisan anda sama sekali.
dan untuk pertanyaan mengapa anonoim dan tidak jelas? mungkin para komentator adalah orang - orang yang tidak mau identitasnya dikaetahui oleh anda dan halayak, atau bisa juga para komentator tidak memiliki akun di pilihan identitas yang tersedia. Terima kasih
hehehe... mantap.. terima kasih untuk masukannya ^^
Posting Komentar