Si Bungsu

Dimuat Annida Online, 15 Mei 2013


Si Bungsu
Oleh: Fulki

Aku masih malas menyapanya, menyapa Ayah. Bagaimana mungkin Ayah bisa mempunyai pikiran untuk menikah lagi? Apa Ayah tidak sadar bahwa usianya sudah tak lagi muda? Aku bukan tipikal orang yang takut pada Ibu tiri atau sejenisnya. Tapi aku tidak rela jika Ayah menikah lagi, karena aku tidak mau ada orang yang menggantikan posisi Ibu. Aku sekarang kuliah semester dua. Sejak Ibu meninggal, aku sudah mencoba untuk mandiri. Aku memasak untuk Ayah, untuk Kakak-kakakku yang sudah lebih sibuk. Seminggu sekali aku mengantarkan pakaian mereka ke laundry. Pekerjaan rumah aku kerjakan semuanya. Aku usahakan mengurus rumah dengan sebaik-baiknya, karena aku benar-benar tidak mau Ayah menikah lagi.
            Beberapa bulan setelah Ibu tiada, aku meminta Ayah berjanji untuk tidak menikah lagi. Dan Beliau setuju. Tidak ada tanda-tanda Ayah hendak memperistri seseorang sampai bertahun-tahun setelahnya. Namun kedekatannya dengan tetangga sebelah yang baru pindah rumah itu, membuat janjinya terhisap. Aku tidak suka. Aku tidak suka!
*
Anak bungsuku itu duduk manis di depan laptopnya. Aku perhatikan, sekali-kali keningnya berkerut-kerut, lalu meledaklah tawanya. Suara yang terdengar dari laptop itu sungguh tidak familiar dengan telingaku. Entah bahasa Jepang, Korea, China, pokoknya aku tak tahu. Gadis bungsuku itu  tidak tahu aku memperhatikannya.
Aku beranjak, membuat langkah-langkah kecil ke dapur. Ingin rasanya membuatkan sesuatu untuknya. Mungkin pisang goreng, mungkin tempe goreng, atau hanya segelas teh pahit kesukaannya. Sebagai seorang Ayah yang tidak lihai dengan peralatan dapur, aku perlu usaha ekstra untuk memasak.
Saat pekerjaanku selesai, tawanya yang renyah masih terdengar dari ruangan tempatnya duduk. Namun ketika kudekati, ia langsung diam. Memasang wajah masam.
“Vili, Ayah buatkan minum dan sedikit makanan.”
Dia hanya mengangguk, tanpa menyentuh nampan yang kubawa. Tanpa memandangku. Aku merasa serba salah dan tidak nyaman. Sepertinya, sekarang memang bukan saatnya untuk dibicarakan.
*
Hujan masih enggan berhenti. Untung saja tidak ada  kilat yang menyambar. Aku melambatkan laju sepeda motorku. Jalanan desa yang licin sangat memungkinkan motorku terjungkal kapan saja. Jas hujan biru usangku sudah tak fit lagi menahan derasnya air. Pasti bajuku ikut basah, pikirku dalam hati.
Kuparkirkan motor bebek itu di depan rumah kecil yang asri. Seorang perempuan berjilbab tampak sedang asyik membersihkan lantai teras rumahnya yang kebasahan. Melihatku datang, ia segera menghentikan aktivitas. Berlari membukakan pagar, berbasah-basah.
“Ayah, kenapa datang sekarang, tidak menunggu dulu sampai hujannya reda?” dengan cekatan ia segera menyiapkan segalanya untukku. Mengambil jas hujan basah dari tanganku, menyodorkan segelas kopi panas, handuk, lengkap dengan baju ganti. Itu pasti baju suaminya. Ia berteriak memanggil anak-anaknya, yang praktis merangkap cucu-cucuku.
“Kakak, Adik, ayo kemari...  Ada Kakek datang!”
“Kakeeek!” bocah-bocah yang dipanggil itu berlompatan dari penjuru rumah secara tiba-tiba. Mereka berebut mencium tanganku. Serentetan pertanyaan memburu. Bocah itu menggelayuti lengan kanan-kiriku. Membuatku merasa menjadi orang yang paling bahagia bahkan saat kedinginan dan tidak punya apa-apa seperti sekarang.
Tapi itu tidak berlangsung lama. Seperti saat datang, mereka juga pergi dengan tiba-tiba. Mungkin melanjutkan permainan yang baru setengahnya mereka lalui. Mungkin kembali menonton animasi-animasi di TV. Lalu tersisalah aku dengan anak sulungku di ruang kecil yang terasa hangat ini.
“Bagaimana, Yah? Sudah bicara dengan Vili?” mata berbingkai kaca itu menatapku penuh rasa ingin tahu.
“Belum, Ren. Rasanya sulit sekali bicara padanya.”
Rena menatapku lama. Mungkin ia sedang menyusun kata dalam benaknya. Agar tak menyakiti hati tuaku.
Perlahan ia berkata, “Maaf, Yah. Tapi Rena sudah bicara pada Vili. Reaksinya... Seperti yang kita duga, tidak begitu baik. Ia bilang tidak akan percaya, sampai Ayah bicara sendiri padanya.”
“Bagaimana dengan yang lain? Zahra? Salwa?” Aku balas menatap Rena. Ada harapan, ada kecemasan. Mungkin hal itu terlalu kentara, tersirat di mataku. Anak sulungku ini memang anak yang paling dewasa, paling bisa menjadi tempatku mencurahkan segala hal. Tempatku menjembatani komunikasi dengan tiga anak lainnya. Yang kesemuanya perempuan.
Rena tersenyum dikulum. “Ayah adalah orang tua kami. Kenapa Ayah tampak takut untuk berbicara dengan kami? Rena sudah membicarakan hal ini dengan adik-adik. Dan dua dari tiga adik Rena, sudah setuju Ayah menikah lagi.”
Aku menarik napas lega. Seorang duda yang tak lagi muda, dengan empat orang anak perempuan, kadang rasanya sangat sulit menjalani kehidupan seperti itu. Aku yang satu-satunya lak-laki kerap merasa terasing di rumah sendiri. keempat gadisku tampak asyik membicarakan sesuatu, dan aku tak pernah bisa benar-benar masuk ke dalamnya. Andai istriku tidak meninggalkan keluarga kami secepat itu, mungkin keadaannya akan sedikit berbeda.
“Rena, Zahra, dan Salwa, sudah setuju Ayah menikah lagi. Kami senang jika pada akhirnya akan ada yang kembali menemani Ayah. Apalagi sekarang Ayah hanya tinggal berdua dengan Vili. Kami juga khawatir jika pada akhirnya Vili bekerja di luar kota seperti Zahra dan Salwa, atau tiba-tiba menikah, bagaimana dengan Ayah? Menikah lagi bukan sebuah kesalahan, Yah. Apalagi Ayah sudah lama hidup sendiri. Ayah juga belum terlalu tua. Masih ganteng dan gagah.”
Kalimat panjangnya diakhiri dengan guyonan seperti biasa.
“Ayah bukannya takut untuk bicara, Nak. Ayah hanya... malu. Apa kata orang-orang? Ayah sudah tua.” Ujarku pelan.
Rena hanya tersenyum. “Ayah belum tua. Sudah kubilang, Ayah masih gagah dan ganteng. Kalaupun ada yang berkata Ayah sudah terlalu tua untuk menikah lagi, katakan saja, orang tua juga butuh kasih sayang.”
Aku tertawa menanggapi guyonan Rena. Tapi tetap saja, rasa itu masih ada. Rasa malu, yang semakin besar saat aku membicarakannya. Benarkah usia 46 tahun tidak terlalu tua untuk menikah lagi? Jika anak bungsuku saja sulit menerima, bagaimana dengan keluarga besarku? Bagaimana dengan rekan kerjaku? Bagaimana dengan tetangga-tetanggaku?
“Ayah tahu kan yang diberitakan di TV? Tidak sedikit orang-orang itu diberitakan menikah di bawah tangan, atau bahkan selingkuh dibelakang isterinya. Padahal usianya diatas Ayah. Sudahlah Yah, disegerakan saja. Menikah itu ibadah. Dan calon Ibu yang Ayah pilih, Rena juga kenal baik.  Jangan ragu lagi. Kalau Vili belum bisa menerima, biarkan saja. Ia hanya anak-anak yang belum cukup dewasa untuk mengerti.”
*
           
            Beberapa hari setelah kepulanganku dari rumah Rena, Vili semakin menghindariku. Matanya kudapati kadang-kadang terlihat sembab. Apakah ia menangis gara-gara aku? Aku belum sempat berbicara langsung dengannya. Entah kenapa, padahal tiga anak perempuanku yang lain, sudah mengetahui keinginanku, pun sudah mendukungnya. Tapi anak bungsu yang satu atap denganku ini, rasanya malah yang paling sulit kudapatkan dukungannya.
            Dari kecil, Vili memang anak yang paling dekat dengan Ibunya. Saat Ibunya meninggal, ia yang masih kelas tiga SMP adalah yang paling histeris. Berbulan-bulan ia murung. Sempat tidak masuk sekolah karena sakit. Aku sangat khawatir ia melakukan hal-hal yang tidak perlu saat Ibunya meninggal. Mungkin karena itu, ia sulit memberiku izin untuk menikah. Tapi bukankah semuanya memang harus dibicarakan?
            “Vili mau bicara.” Ujarnya tiba-tiba.
            Aku mendadak diam. Setelah sekian lama terasa sulit untuk membuat kesempatan bicara, akhirnya ia yang mencoba untuk memulai.
            “Ya?” aku menjawab sewajar mungkin.
            “Kak Rena bilang, Ayah mau menikah lagi, benar?” ucapannya terbata. Ia pasti memberanikan diri untuk bertanya secara lugas. Sudut matanya berair. Bibirnya gemetar. Hatiku mencelos. Tak tega rasanya aku menciptakan suasana yang tidak nyaman seperti itu.
            Melihatnya menangis, aku jadi teringat wajah almarhumah isteriku saat menangis. Rupanya sama persis. Ketiga kakaknya mewarisi rupaku, sedang si bungsu mirip sekali Ibunya. Melihat ia menangis seperti itu, aku merasa seperti isteriku yang bertanya. Seperti isteriku yang berbicara.
            “Kamu tidak setuju, Nak?” Entah mengapa hanya kalimat sependek yang keluar dari mulutku.
            Ia menggeleng. Menggeleng kuat-kuat. Air matanya kini menuruni sudut matanya.
            “Vili tidak mau ada yang menggantikan Ibu. Orang asing. Yang akan tidur di kamar Ibu. Yang akan memasak di dapur Ibu. Yang juga menggantikan posisi Ibu di hati Bapak. Di hati kita semua.”
            Ia terisak semakin menjadi. Rasa rindu pada isteriku kini membesar. Aku ikut menangis. Mungkin aku seorang Ayah yang tidak cukup baik untuk puteri-puteriku. Kutatap anak bungsuku itu penuh kasih.
            “Maafkan Ayah, Vili....” Aku mengusap kepalanya pelan, lalu beranjak. Aku tinggalkan Vili sendiri. Biar ia bisa menangis puas. Biar ia bisa lega. Biar ia bisa nyaman. Dan aku merasakan hal yang sama.
            Entah mulai kapan persisnya, saat aku merasa rumah ini terlalu lapang untukku dan Vili. Ketika akan tidur di malam hari, rasanya tiba-tiba merindukan sosok perempuan yang akan membangunkanku esok paginya. Aku merindukan pandangan sayang dari seorang isteri. Aku ingin shalat berjama’ah dengan isteri. Seperti kata Rena, aku juga mengkhawatirkan masa tuaku. Bagaimana jika akhirnya Vili tak lagi mengurusiku? Dia pergi seperti kakak-kakaknya, Salwa dan Zahra?
            Malam beranjak perlahan. Menyeretku dalam detik-detik yang penuh dengan kebimbangan. Aku sungguh ingin menikah lagi. Tapi mana mungkin aku menikah tanpa restu anak bungsuku?
*
            Jilbab merah jambu yang kukenakan kini basah sempurna. Aku memutuskan untuk berteduh. Duduk di shelter bus. Hujan membasahi atap halte. Beberapa bagian yang berlubang meneruskan hujan sampai ke tempatku berpijak. Membasahi kursi, membasahi tanah.
Pikiranku masih mengawang pada kejadian beberapa hari yang lalu. Aku hendak membicarakan penolakan pernikahan Ayah dengan Kak Rena. Aku berharap Kak Rena bisa mengerti. Namun ternyata, yang aku dapat hanyalah bentakan. Dibilangnya aku keras kepala. Dibilangnya nanti jika aku bekerja jauh dari rumah, atau menikah, siapa yang mengurus Ayah?
Memangnya siapa yang mau pergi keluar kota? Siapa yang mau menikah cepat-cepat? Aku bisa saja mensyaratkan calon suamiku kelak, untuk tetap tinggal bersama Ayah. Gampang kan?
Hujan ini, rasanya seperti ingin memadamkan bara api di ruang-ruang hatiku. Ya, hatiku yang memanas. Dikatakan Kak Rena lagi, bahwa aku amat kekanakan. Dibilangnya aku hanya mementingkan perasaan sendiri. Padahal aku hanya ingin Ibu tetap di hati kami seperti sekarang. Mengapa tidak ada yang mau mengerti?
            Penjelasan panjang lebar Kak Zahra di telepon juga tidak cukup untuk meyakinkanku. Katanya, Ayah menikah lagi, bukan berarti melupakan Ibu. Bukan berarti ada yang menggantikan Ibu. Entahlah...
            Aku hanya bisa menengadah. Mencari jawaban yang mungkin terpeta di langit. Aku rindu sekali pada Ibu. Apakah Ibu akan rela Ayah berbagi lagi cintanya pada wanita selain dirinya? Apakah nama ibu tidak akan semakin memudar di rumah? Apa benar aku hanya mementingkan ego sendiri? Apa benar aku tidak memikirkan perasaan Ayah?  Tapi, Ayah kan sudah punya aku yang mengurusnya? Ah, hatiku berkecamuk.
“Maaf Teh, ikut berteduh, ya.” Seorang lelaki tua membuyarkan lamunanku. Aku menatapnya. Memperkirakan, sepertinya usia laki-laki itu lebih tua beberapa tahun dari Ayah. Aku jadi teringat Ayah. Apa Ayah juga punya rambut putih sebanyak laki-laki ini, ya?
Laki-laki itu memarkirkan motor bebek yang tak kalah tua dengan usianya. Lalu, seorang perempuan, yang juga tua, tampak mengikuti si lelaki. Kutebak, mereka pasangan suami isteri.
Bu, calik heula didieu. Ngantosan hujanna alit heula 1 Ujarnya lembut. Kursi plastik yang ditunjuk Si Bapak itu sebenarnya basah, terkena cipratan hujan. Namun ia segera membersihkan kursi itu, dengan tangannya.
Lelaki itu menatap isterinya sebentar. Dengan pandangan yang membuatku bernapas tertahan. Padangannya begitu... damai. Sepersekian detik saja, dan lelaki itu berdiri menjauh, menatap jalanan lengang yang basah. Memunggungi kami yang duduk di shelter kecil nan kotor. Aku menoleh pada si Ibu tua. Tampak ia memandangi punggung suaminya. Dengan tatapan yang penuh cinta. Mereka tak berkata. Mereka tak bicara. Tapi aku tahu mereka saling mencinta. Mereka saling menjaga.
Tanpa terasa air mataku merebak menyaksikan hal sederhana itu. Aku teringat Ayah.  Kapan terakhir kali Ayah memiliki sorot mata setenang lelaki tadi? Aku mungkin memang mengurusnya dengan baik. Tapi cinta yang kuberikan, tentu saja beda dengan cinta seorang isteri pada suaminya.
Mungkin aku berdosa padanya. Sudah dua bulan aku bersikap amat dingin padanya. Namun Ayah tetap bersikap lembut padaku. Tetap tersenyum ramah. Mengajakku mengobrol seolah-olah tidak menyadari perang dingin yang kukobarkan. Tidak pernah sedikitpun Beliau mengucapkan kata-kata menikah, seakan sama sekali lupa dengan niatnya.
Kemudian ada keinginan mendesak yang bertalu-talu. Dari hati, merambat turun ke kaki. Membuatku refleks berlari. Menerobos hujan. Mencari pangkalan ojeg yang tidak terlalu jauh dari situ. Aku ingin secepatnya menuju Ayah. Aku ingin Ayah memiliki sorot mata lelaki itu, yang memancarkan kedamaian, dan merasa segalanya telah cukup. Sorot mata itu, yang dulu mungkin sempat Ayah miliki, bertahun yang lalu.
***
1Bu, calik heula didieu. Ngantosan hujan alit heula: Bu, duduk dulu di sini. Tunggu hujannya agak reda.


Read Comments

2 komentar:

Evi Sri Rezeki mengatakan...

Hiks cerpen yang mengharukan :"(

Unknown mengatakan...

Uwaaaa senangnya ada pengunjung blog, memberi komen, dan tidak anonim.. terima kasih... salam kenal ya.. selamat, Mbak adalah pemberi komen pertama di blog saya yang beridentitas.. *terharu :D

Posting Komentar

 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men