image taken from sayangianak.com
Salah satu dosen saya—yang ternyata
saya telah lupa namanya, apalagi
gelarnya—pernah memberi kami, mahasiswanya, sebuah nasihat di sela-sela materi
kuliah. Nasihat yang masih saya ingat dengan baik sampai sekarang.
Nasihat itu pendek saja, namun
membekas.Tentang peran seorang wanita. Saya yang saat itu masih berstatus
jomblo fii sabilillah langsung
mencatat baik-baik. Siapa tahu saya bisa jadi idaman para calon mertua, yang
punya anak high quality jomblo fii
sabilillah juga.
Dalam nasihat tersebut, peran
pertama seorang perempuan adalah sebagai hamba Allah. Saat seorang wanita sudah
mampu menjadi hamba Allah yang baik, maka peran selanjutnya adalah mudah saja. Bagaimana
tidak, seorang wanita yang cepat lelah, jengah, dan pandai bersilat lidah,
tanpa menyandarkan hidupnya pada Allah, akan menjadi pribadi yang amat rapuh
dan lemah. Maka tugas pertama seorang wanita adalah tunduk, taat, dan patuh
padaRabbnya. “Sami’na wa atho’na, kami mendengar dan kami taat.” Menjadi hamba
Allah berarti sudah menerima satu paket penyesuaian diri dengan apa yang Allah
suka dan tidak suka. Belajar melebur ego demi meraih ridha-Nya.
Peran kedua yang tak kalah berat,
adalah saat ia sudah sold out, taken by someone. Diambil untuk menjadi
penyempurna agama suaminya. Loyalitas, pengabdian, dan segambreng tugas sebagai seorang istri harus siap dipikul pundak
seorang wanita. Buku bertema pernikahan yang memenuhi rak-rak toko buku,
seminar bernada sama,bahkan sekedar curhat
kerabat yang sama-sama sudah menikah, sejatinya bisa menjadi media bagi wanita
untuk belajar menjadi istri yang baik.
Badai
demi badai, ego yang harus kembali ditekan, keluwesan dalam berpikir dan
bertindak, mulai dituntut bahkan sampai ambang batas yang tidak masuk akal,
bila ingin bahtera pernikahan tetap ajeg.Karena
beratnya peran menjadi seorang isteri inilah, maka ia layak mendapatkan surga.
Menjadi pemimpin para bidadari surga,menjadi utama diantara permata. Siapa yang
tak menghendakinya? Mari, kita tempuh bersama walau harus sambil merangkak.
Peran menjadi seorang ibu, adalah
tantangan selanjutnya. Benarkah wanita itu sudah siap menjadi madrasah pertama
dari anak yang putih jiwanya? Bagai kertas kosong, seorang anak meminta ibunya
untuk dilukisi.Lukisan bertemaaqidah yang lurus, keindahan perangai, kepiawaian
berbahasa, pemahaman akan adab, dan sederettugas lainnya.
Berat?
Sungguh berat. Jikalah menjadi hamba Allah dan seorang istri sudah berat,
apatah lagi menjadi seorang ibu.Banyak sekali pengorbanan seorang ibu. Tidak hanya
tentang jam tidur dan jatah jajan yang harus siap dicuri anak. Tapi juga
kebersamaan dengan suami, bahkan sampai menyita nikmatnya beribadah. Sayapun
seringkali salat dalam keadaan resah. karena saat salat sendirian di rumah,
dengan lincahnya balita saya naik tangga, atau memanjat bufet di rumah.
Ibu
yang terbaik bukanlahsalah satu diantara ibu rumah tangga atau ibu bekerja.
Bukan tentang siapa yang memberikan susu formula atau siapa yang jadi pejuang ASI.
Karena setiap posisi dan pilihan, mempunyai konsekuensinya tersendiri. Ibu yang
terbaik adalah ibu yang bisa optimal di kapasitasnya masing-masing, memenuhi
takdir dan menjalankan peran yang digariskan Allah untuknya, dengan
sebaik-baiknya. Ilmu menjadi ibu terserak dimana-mana. Tinggal kita membuka
mata, lantas memilih apakah mau menerima, atau melewatkannya.
Peran
terakhir, dan yang paling besar, adalah peran wanita tersebut dalam masyarakat.
Bermanfaat di masyarakat tidak harus menjadi aktivis, dokter, atau guru
mengaji. Menjadi ibu yang mencetak anak sebaik mungkin, tidak merampas hak
tetangga, juga sudah menjadi wanita yang berperan dalam masyarakat. Bisa jadi
wanita yang berkoar-koar menyuarakan
keadilan untuk wanita di luar sana, kalah mulia di sisi Allah jika dibandingkan
dengan wanita yang hanya sibuk di rumah, bolak-balik antara dapur dan sumur.
Walaupun tentu saja, “diam” di sinitetap diam yang berkualitas.
Mari
kita menjadi hamba Allah, istri, ibu, dan masyarakat yang berkualitas
semaksimal kita. Karena hanya dengan cara itulah, kemuliaan hidup di dunia dan
akhirat bisa tercapai. Teriring salam dan sebaik-baik do’a untuk dosen tercinta
yang pernah memberi nasihat berharga. Walaupun saya tetap tidak bisa me-recall nama Anda, ada Allah yang tidak
akan lupa memberi pahala, dan malaikat yang tidak akan pernah salah mencatat,
insya Allah.
***
0 komentar:
Posting Komentar