Dari Mereka yang Punya Cinta


Rasanya setengah dari hatiku masih tertinggal di sana. Diantara meja-meja kayu berderet, dan kursi plastik donal bebek. Tempat mereka biasa tersenyum, cemberut, bahkan mungkin gemetar karena aku yang jahil, senang membuat mereka merasa tegang. Aku tahu teori itu, punish and reward, ternyata memang cukup manjur untuk mendongkrak semangat belajar anak-anakku.
Tersebutlah di sana, di sudut masjid yang agak besar, ada sekolah berlabel TK dan TPA. Aku menghabiskan enam dari tujuh hari dalam seminggu di sana, saban sore, mengajar TPA. Anak yang ada di sana sekitar enam puluhan. Terbagi menjadi tiga kelas, dan kelasku adalah kelas pertengahan. Yang aku pegang adalah anak kelas tiga SD.
Tahun ajaran kemarin berlalu tanpa kendala, sampai mereka naik kelas ke TPA kelas lanjutan. Sayangnya, ada yang berbeda dengan tahun ajaran ini. Aku terpaksa pindah, di tengah-tengah semester, saat  baru tiga bulan mengajar.
Anak-anak itu berteriak protes, cemberut, merajuk, tapi ada juga yang berteriak kegirangan saat aku berkata hendak pindah. “Asyiiik Bu Siti pindah, gak ada yang hukum aku lagi.” Anak itu berteriak cengengesan, yang tentu saja membuatku tertawa. Sorak sorai kemenangannya itu lantas dikomentar panjang lebar oleh teman-temannya, yang memang menginginkan aku tetap mengajar di kelas itu.
Hmm, rasanya campur aduk. Bahkan kemarin, di pertemuan terakhir, aku tidak sempat minta maaf atas kesalahanku selama mengajar, dan juga belum sempat berterima kasih atas respect  mereka padaku selama ini. Alasannya sederhana—karena aku takut menangis di depan mereka. Kata perpisahan itu, begitu sulit diucapkan.
Salah satu anak yang paling pintar di kelas, kemarin menatapku sambil berkaca-kaca, “Ibu, jangan pindah ya, Bu?” tatapannya tulus. Aku hanya bisa mengacak-ngacak rambutnya—dalam kasus ini mungkin lebih tepat kerudungnya.
Dan yang bernama perpisahan memang akan selalu ada. Sebelum pulang, aku membagikan makanan ringan. Tidak istimewa, hanya seribu harganya. Tapi mereka menerimanya dengan sangat gembira. Salah satu dari mereka berteriak, “Ibu... makanannya gak akan aku makan. Mau disimpen aja, kenang-kenangan dari Bu Siti” lagi-lagi, aku hanya bisa tersenyum.
Hari itu aku tak lagi cerewet, tak lagi marah-marah. Aku biarkan mereka berteriak-teriak, tertawa-tawa, dan bercanda. Aku mengamati mereka, mencoba menangkap memori itu, dan mengkristalkannya dalam hati.
Aku tahu, walaupun mereka tampak amat sedih  hari ini, mereka akan segera kembali tersenyum,  kembali tertawa, dan kembali mencintai guru baru mereka, seperti mereka mencintaiku saat ini. Mungkin rasa berat untuk melepaskan itu, pada akhirnya hanya tersisa dalam hatiku. Karena hati mereka yang masih putih itu, akan segera kembali diisi dengan cinta-cinta baru yang sama, selalu  cinta murni, yang tanpa pretensi.
Pukul lima. Saatnya berdo’a dan pulang. Mereka sudah duduk rapi dengan tangan terlipat di atas meja. Kata-kata perpisahan itu masih begitu berat, padahal sudah di tenggorokan. Akhirnya aku melepas mereka tanpa sempat mengucapkan dua kata sakti itu, maaf dan terima kasih. Padahal aku ingin sekali mengucapkannya.
“Ibu, Ibu beneran harus pindah ya, besok? aku gak mimpi kan, Bu?” lagi-lagi anak itu menatapku berkaca-kaca. Aku hanya mengangguk, berdo’a dalam hati, semoga anak ini segera pulang, atau aku akan menangis di depannya. Ia mencium tanganku, lalu berjalan menjauh.
Anak-anakku, yang baik hati... maaf ya, kalau selama ini Ibu banyak salah... terima kasih untuk perhatiannya selama tiga bulan ini. Mudah-mudahan kalian menjadi anak yang shaleh, dan kelak menjadi saksi atas ilmu yang sudah kuamalkan ini, walaupun sangat sangat tidak seberapa...
Mungkin suatu hari nanti, aku akan datang ke kelas itu lagi, dengan tangan terentang dan ingin menumpahkan rindu, namun mereka hanya akan memandangiku dan bertanya, kayaknya kenal deh, ini siapa yah... hehehe... whatever, I love you so much, my kids!!!
Sebelum mereka pulang, aku meminta mereka menuliskan testimoni, aku menggunakan istilah kesan dan pesan agar mereka lebih mengerti. Tapi mereka tampak bingung, kening mereka berkerut-kerut, sebagian malah tampak frustasi. Aku memaksa mereka menulis sepanjang mungkin. Haha, aku lupa, mereka masih kelas tiga SD, dan  kemampuan mereka untuk menulis tentu saja masih sangat terbatas... Beberapa aku tuliskan di sini, untuk kenang-kenangan J

 “Ibu Siti orangnya baik, ramah, cantik. Paling takut kalo dihukum baca surat Ad-dhuha. Jadi aku gamau sekolah, lebih pengen ngaji. Kapan-kapan kesini ya. Jadi guru yang baik yaaa J” (Nazwa Azizah)


“Buat guruku Bu Siti. Bu siti baik ibu jangan galak-galak nanti kalau ibu pindah ibu ngajarnya ramah dan banyak bercanda-bercandaan pokoknya rame deh belajar sama ibu aku sedih karena ibu pindah ngajarnya pasti aku selalu inget sama ibu. Dimanapun dan kapanpun ibu suka galak kata temen-temen tapi kata aku ibu ga galak ibu baik sekali aku sangat sangat sedih” (Fitria)



“Ibu siti guru yang baik, suka ngajar yang pendek. Suka dites dan dihukum dan suka kasih bintang kalau yang banyak dikasih hadiah” (Aimar)



 “Bu Siti baik, suka ngehukum Akbar sama Buana, bu Siti kalau belajar suka ngetes ke depan 1orang-1orang, bu siti suka bikin bermain.” (Naufal)



“Ibu siti gurunya baik dan perhatian mengajarnya tertib dan saya pernah menghukum saya hanya satu kali ibu siti sangat merhatian sama saya salam bu siti” (Faisal)


“Bu Siti baik, perhatian ibu siti harus membaca surat dari teman-teman kita semua ibu siti juga harus mengirim surat untuk teman-teman semua ibu siti harus mengingat kita semua karena kita semua sayang pada ibu siti dan kalau kapan-kapan ibu siti main ke kita semua ibu berjuang untuk mengajar kami semua” (Trias)


“ibu siti itu memang bager, ngajarnya kaya tegang dan agak sebentar dan kadang suka dites terus kalau yang salah dihukum seringnya saya karena saya sering dihukum” (Akbar)

“Bu Siti baik pintar perhatian ngga galak ngajarnya baik hadirnya sering tidak pernah tidak masuk” (Fariz)

“Ibu Siti itu cantik, baik, ramah. Ibu siti itu gak pernah marah. Ibu siti selalu sabar walaupun murid-muridnya nakal. Ibu siti selalu menghukum murid-muridnya yang nakal. Ibu siti gak pernah marah sama aku. Ibu siti selalu menghukum akbar.” (Bunga)

“Ibu siti orangnya baik dan cantik dan pekei kacamata berwarna putih ibu besok pindah ke lembang” (Pasya)

“Bu siti itu orangnya baik dan cantik ngajarnya serius kalo salah suka dihukum tapi kalau ga salah suka dikasih bintang” (Alinda)

“Pengalaman Bu Siti. Assalamu’alaikum wr.wb. bu siti tuh orangnya baik, ramah, cantik. Ia tidak pernah marah walaupun marah busiti sambil bercanda bu siti aku seneng banget kalau bu siti masih ada di sini. Bu dalam kejelekan ibu sedikit banget. Gak ada galak-galak. Bu aku jujur dan terus terang dari kelas 2 aku pengen banget sama bu siti. Sekian dari saya! Wasalam J” (Selvi)

Huft, memang selalu menyenangkan menghabiskan hari bersama anak-anak. Walaupun saya meminta mereka mengkritik cara  mengajar saya, apa yang harus ditambah, apa yang mereka mau, ternyata yang mereka tulis adalah hal-hal seperti itu. Hehe, mungkin memang belum tepat ya, meminta kesan dan pesan pada anak sekecil mereka. Harusnya minta kritik tuh dulu ya, pas lagi PPL di SMA.
Sekali lagi... walaupun tidak akan ada satupun dari murid saya yang membaca, i just wanna say, thank you my kids.. I’m so sad right now... :(

Read Comments

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men