Mungkin
bilangan bulan sudah tak lagi muat di jemarimu. Saat segala proses menua,
hingga tak mudah lagi kau temukan ujungnya. Mungkin buram, mungkin kusam. Tapi
sudah layak waktu yang kau nantikan.
Ketika
jemariku sudah enggan menulis sesuatu, kadang kamu melecutnya. Tapi mungkin
lecutan-lecutan itu tidak cukup kuat untuk menggerakkan roda kemalasan. Tapi
hari ini, setelah satu tulisanku selesai, dan sepertinya aku masih harus menuliskan
sesuatu, untukmu yang bernapas hari ini.
Tadi
pagi (aku rasa kamu masih mau mendengar cerita-cerita remeh tentang hidupku) di
perjalanan sekian belas kilometer yang kusesap setiap pagi dan petang, aku
menemukan sesuatu yang istimewa. Membuatku ingin terhenti sejenak. Namun air
hujan masih menampar-nampar, tidak mengizinkanku berhenti walau untuk sebentar.
Di sebelah kanan sana, aku melihat awan gelap bergulung-gulung. Namun yang
tidak biasa, di tengah-tengah awan gelap itu, ada sebagian kecil langit yang
tidak berawan. Benar-benar bersih, terang. Ada cahaya menyusup diantaranya. Satu
lagi paradoks, bila boleh kubilang begitu.
Cahaya
itu jatuh memandikan gundukan-gundukan tanah di bawahnya. Tanah yang dari
kejauhan nampak seperti lukisan. Beberapa rumah terlihat dari tempatku menatap
saat itu. Warnanya keemasan. Rasanya aku cukup beruntung menyaksikan momen
indah seperti itu.
Untukmu
yang bernapas hari ini, sudah kudengar bisikanmu beribu jam yang lalu, bahwa
kamu meminta izin agar bisa menjadi bagian dari diriku—mata. Masih ingatkah
saat kamu berkata, “let me be your eyes.”
Saat kamu berkesempatan menikmati suguhan indah alam, dan aku hanya bisa
menatap empat dinding di kamar rumah. Kamu bilang biar kamu saja yang lihat,
dan biar kamu menjadi mataku, sehingga walau aku masih di rumah, aku bisa tetap
melihat keindahan alam yang kamu cecap.
Entah
berapa banyak kata darimu yang ingin aku rekam dan simpan di otak kanan. Tapi sungguh,
kata itu yang tersimpan paling baik di kepalaku. Kau tahu mengapa?
Hari
ini, mungkin aku merusak harimu. Entah kamu yang merusak hariku. Seperti yang
sudah-sudah. Kadang kita terlihat seperti minyak dan air dalam beberapa hal. Entah
aku atau kamu yang keras kepala. Mungkin dua-duanya. Kadang orang dengan
golongan darah sama memiliki kepribadian yang nyaris sama dalam berbagai hal. Tapi
ternyata, itu saja tidak cukup bagi kita untuk saling mengerti.
Jika
usia seseorang dihitung sejak tanggal kelahirannya, maka berubah lagi usia yang
kamu miliki. Sudah tidak termasuk remaja lagi, mungkin. Tapi aku berjanji,
hidupmu tidak akan jauh berbeda. Apalah beda hari ini dan kemarin. Nikmati hidupmu.
Isilah lembar-lembar putih buku hidupmu dengan segala yang bertitel kebaikan. Karena
dengan kebaikan, maka hidupmu menjadi baik. Kamu memang manusia paradoks, sudah
kubilang. Kamu bisa sangat berani untuk satu hal, melebihi tingkat keberanian
orang lain. Tapi kadang kamu begitu takut menghadapi sesuatu yang menurut orang
lain bukan apa-apa. Tapi itulah kamu. Dan aku menyukai sifatmu yang seperti
itu. Jangan khawatir. Keberanianmu itu, pakailah untuk melindungi orang lain. Dan
ketakutanmu, biarlah Tuhan, dan orang lain yang ada di sekitarmu ,menjadi
penenang bagimu.
Hari
ini, kita tidak bicara banyak. dan aku sama sekali tidak ingat dengan hari ini.
Mungkin karena ada tanggal yang lebih sering kupikirkan akhir-akhir ini. Tapi itu
bukan sebuah excuse untuk membenarkan
sebuah kesalahan. Kamu muslim. Yang berkata, “kita bukan orang urban yang harus
mengingat dan memperingati ulang tahun.” Tapi rasanya tetap tidak adil, jika
hari ini, aku yang begitu lupa—dan tidak hanya lupa,malah menjadi minyak dalam
airmu—tidak lekas minta maaf dan mendo’akanmu hari ini.
Aku sudah
tahu banyak tentang mimpimu. Jadi rasanya tidak perlu kudikte satu demi satu. Hanya
sebuah do’a semoga segalanya dimudahkan untukmu, “Allahumma yassir wa laa tu’assir.”
Semoga kisah minyak dan air hari ini, segera selesai, secepat yang sudah-sudah...
Di ruang kamar yang tak lagi berdinding
merah,
3 Mei
2013
19:31
0 komentar:
Posting Komentar