Dari
dulu, sebab akibat sebagai makhluk sosial sudah digembar-gemborkan. Tidak bisa
hidup tanpa orang lain. Tapi kadang, ada orang lain yang membuat kita
benar-benar merasa tidak nyaman. Saya orang yang sensitif, amat mudah
tersinggung, peka, penakut, dan lain sebagainya. Mungkin kalau saya membuka
google dan mengetik kata “ciri-ciri orang melankolis-plegmatis” saya akan
menemukan sederet sifat yang “gue banget”—itu kalau kata ABG.
Susah
memang, menjadi orang yang mudah tersinggung, mudah menangis. Saya kadang iri
dengan orang yang bisa ceplas ceplos, pada orang yang bisa bergaul dengan
mudah, adaptasi dengan teramat cepat... karena saya benar-benar bukan tipe
orang yang seperti itu. Tapi, lagi-lagi Alloh itu maha adil. Dengan sifat
seperti itu, tentu saya juga punya keuntungan. Saya kerap memikirkan perasaan
orang, cepat menyadari situasi. Juga cepat menyadari perubahan yang terjadi. Kalaulah
ada orang yang sedang marah, kesal, atau senang, biasanya saya segera tahu.
Kembali
ke masalah makhluk sosial. Orang seperti saya, ketika dihadapkan dengan kondisi
yang harus berinteraksi dengan banyak orang, beragam karakter, biasanya sudah
malas duluan. Kalaulah ada sekelompok orang bergerombol di suatu tempat, saya
hendak lewat, saya akan memilih jalan memutar—yang lebih sepi.
Seperti
itu juga saya menjalani hidup. Saya lebih senang menghindari sesuatu, cenderung
tidak mau terlibat orang banyak... satu penyakit sosial yang harus diberantas
lekas-lekas. Dan ketika saya harus memberikan semangat kepada orang lain, yang
mungkin tingkat ke”plegmatis-melankolis”annya lebih tinggi dari saya... itu
membuat beban saya lebih berat lagi. Bagaimana bisa? Logikanya, saya orang yang
masih belajar jalan, tapi sudah harus menggendong. Berat, amat berat.
Tapi itu
pembelajaran namanya. Dengan hal itu, mungkin bisa membuat saya lebih cepat
belajar berjalan. Membuat saya harus lebih semangat mengejar ketertinggalan. Membuat
saya, membuat saya, membuat saya. Hal ini bisa membuat saya enggan belajar,
menyerah sepasrah-pasrahnya. Atau pilihan lain, membuat saya belajar lebih
banyak, lebih lama melihat, lebih lama mendengar, lebih banyak berpikir...yang
tentunya akan amat sulit.
Saya hanya
ingin berbagi. Tentang beban yang kini ada di pundak saya. Tentang sesuatu yang
tampaknya sedikit mengganggu hari-hari saya. Si anti sosial yang kelewat
sensitif. Tapi, lagi-lagi saya harus memotivasi diri. Jika bukan saya yang
membuat nyaman hidup saya sendiri, lalu siapa? Bukankah rasa takut, rasa tidak
percaya diri, dan tektek bengek si melankolis-plegmatis itu, bukan pesanan saya
pada Allah?
Seandainya
bisa memesan, dulu sebelum lahir, mungkin saya akan pesan karakter yang kuat,
keimanan yang kokoh, hati yang bersih, fisik menarik, kekayaan melimpah plus
barokah. Saya yakin saya akan memesan hal-hal sejenis itu. Tapi karena saya
dilahirkan seperti ini, titik ridha Allah pada saya seperti ini, maka ini
saatnya untuk mengoptimalkan. Saya bicara optimal, bukan lagi bicara di ranah
maksimal.
Hmmm...
Ada jeda sekian menit dari penulisan paragraf ini, dengan paragraf sebelumnya. Ada
kelegaan yang mengalir. Ada beban yang dikeluarkan sedikit demi sedikit. Itulah
mengapa saya suka menulis. Segalanya terasa lebih ringan sekarang. Biarlah cerpen
saya tak berkembang lagi, biarlah buku saya tak bertambah lagi. Biarlah blog
saya mati suri. Tapi dengan menulis, minimal saya bisa lebih berdamai dengan
diri sendiri. minimal saya lebih mencintai hidup, dengan berbagai macam hiasan
di dalamnya. Yang paling penting, mudah-mudahan dengan menulis, saya bisa lebih
dekat dengan-Nya.
Saatnya
mengedikkan bahu dan terus menjalani hidup.
Saya bukan tidak peduli, tapi saya
menikmati.
Ada yang mau ikut berlari?
1 komentar:
"like this :))
Posting Komentar