Sekaleng Permen

#sedikit cerita di balik layar

Saat sedang giat-giatnya ikut lomba menulis, saya ikut serta juga dalam lomba ini. sebuah tema yang tidak begitu saya suka, diusung di lomba ini. Lomba ini temanya "katakan cinta". Sudah jelas apa isinya. tentang orang yang suka--dan menyatakan perasaannya. Sebetulnya saya kurang srek menulis yang begituan, rasanya sayang, menulis cerpen itu tidak mudah, lho. Mengetik 5-10 halaman itu capek, dan menguras tenaga. Rasanya sayang saja, menulis capek-capek tapi tidak ada pahalanya, tidak ada nilai kebaikan di dalamnya (mungkin). 
Tapi, terlepas dari itu, saya tertarik dengan peserta lomba yang sudah mencapai tiga ratus-an. cerita yang dipilih hanya kurang lebih dua puluh--saya lupa. Nah, berangkat dari keinginan untuk menjajal kemampuan menulis, saya tertarik.
Dan jadilah cerpen ini. Cerpen cinta monyet saya yang pertama (dan mudah-mudahan yang terakhir, hehe). Tapi, alhamdulillah cerita ini masuk menjadi salah satu cerita yang dibukukan. Teman-teman bisa cari bukunya dengan judul "Katakan Cinta" Karya Penerbit Harfeey. Selamat menikmati.
***
Sekaleng Permen

Kaleng permen bening ini membuatku bertanya-tanya. Hampir lima tahun aku menunggu. Jujur saja, aku mengharapkan sesuatu yang lebih. Bukan mahal, bukan mewah. Tapi pantaskah jika penanatianku selama lima tahun ini hanya dihargai dengan sekaleng kecil permen? Aku mendesah gundah. Ujung jariku mempermainkan tutup kaleng plastik yang sudah tidak tersegel lagi. Mungkin benar, aku memang tak begitu berarti untuknya. Caraku menatapnya, tak pernah sama dengan caranya menatapku. Perih ini terasa membesar. Hatiku remuk, seperti mainan kaca yang dilemparkan ke batu, pecah berkeping-keping.
***
Cinta pertama tak mudah untuk dilupakan. Itu perkataan yang keabsahannya hampir diakui semua orang, termasuk olehku. Awan, lirih aku menggumam. Namanya membuatku memiliki kebiasaan menengadah ke langit biru setiap kali aku rindu. Asyik mencari bentuk-bentuk unik yang bisa menghiburku. Kubayangkan kamu di sini, menemaniku berkejaran dengan imaji yang dilatarbelakangi negeri awan nan tinggi. Melalui awan, pintu hatiku terketuk. Memandangi awan, aku damai.
Mataku selalu terpaku pada awan, kupandangi lama sekali. Aku tak peduli apakah hari itu awan berwarna putih seputih kapas, yang kontras dengan latar biru. Atau bahkan menghitam, siap untuk menangis. Karena awan yang bertebaran di langit lepas mengingatkanku padamu, Awan Surya Nugraha, teman kecilku yang sudah lama kucintai.
Jika seandainya kamu awan yang diciptakan Tuhan untuk memenuhi langit, maka aku ingin menjadi hujan. Aku berkumpul dalam dirimu. Aku memenuhi seluruh kekosongan yang ada padamu. Lantas saat kamu tak sanggup lagi menampungku, maka aku rela terjatuh ke bumi. Mengalir menelusuri tiap lekuk tanah, membagikan kehidupan. Lalu aku mengumpul di lautan. Terkikis dan menguap oleh matahari. Namun aku akan tetap kembali menjangkaumu. Aku tak peduli sesakit apa menggasak akar tanaman. Aku mengabaikan diriku yang akhirnya kotor bercampur lumpur. Aku hanya ingin menuju lautan. Aku mengabaikan panas terik terpanggang matahari di laut lepas. Tujuanku hanya satu, kembali padamu, Awan.
***
            Menanti selama lima tahun tidak membuatku jera. Kenangan kita semasa kecil yang menguatkanku. Kamu selalu melindungiku, seumpama kakak yang sayang pada adiknya. Bukankah itu yang selalu kamu katakan padaku, Awan? Bahwa kamu ingin menjadi kakak yang baik untukku. Tapi tahukah kamu, apa yang kurasakan seiring dengan pertumbuhanku, aku mulai memandangmu sebagai laki-laki yang utuh. Yang lebih dari layak untuk kucintai. Aku menunjukkan gelagat itu, agar kamu mengerti. Agar kamu bisa menangkap sinyal-sinyal yang aku kirimkan. Aku ingin menjadi wanitamu. Tapi kamu tak pernah mengerti.
            “Lily... Aku lulus PMDK di Jogja.” Hampir lima tahun lalu kamu mengucapkan itu. Namun aku masih bisa mengenangnya dengan jelas.
            “Aku turut gembira.” Bohong! Saat itu aku bohong padamu, Awan. Kebohonganku yang pertama.
            “Kamu tidak sedih? Kamu mau kuliah di sini? gak coba ikut tes Universitasku?” kamu mengerling, tersenyum nakal. Aku tahu kamu hanya menggoda. Kamu tahu persis, aku anak tunggal sakit-sakitan yang tidak mungkin diizinkan keluar kota.
            “Asal saat kamu kembali masih jomblo, dan siap melamarku, aku bisa menunggu. Lima tahun itu sebentar kok...” aku mengucapkannya, setengah berguyon. Padahal aku tegang sekali. Menanti jawaban yang akan keluar dari mulutmu.
            “Hahaha...” Kamu hanya tertawa. Gigi gingsulmu yang manis pamer pesona. Kamu menepuk pelan kepalaku. Hal yang selalu kamu lakukan. Aku kecewa, Awan. Kecewa sekali.
            Perbincangan kita berakhir sampai di situ. Kamu melanjutkan kehidupanmu di luar kota. Menyabet berbagai prestasi dan piala. Aku selalu mengikuti perkembanganmu di jejaring sosial. Tersenyum melihat tingkahmu. Bangga padamu. Cemburu padamu. Iri pada wanita-wanita yang turut tersenyum di fotomu. Mereka berkomentar ini itu. Aku hanya mengamati dari jauh. Tak  pernah aku ikut andil dalam canda tawamu di jejaring sosial itu. Karena kamu pun tak pernah peduli padaku.
            Aku dibakar cemburu. Wanita cantik mana yang kini mengisi hatimu? Aku menelusuri jejak teman wanitamu satu persatu. Dengan dada bergemuruh aku mencermati profil mereka, status mereka, kalau-kalau ada yang memiliki gelagat aneh, menyukaimu. Siapa yang tidak tertarik padamu, Awan? Lelaki pintar yang ramah. Dengan gigi gingsul yang sulit diabaikan saat kamu tertawa.
            Jika pulang pun, kamu hanya menyapaku lewat telepon. Mengajak bertemu tapi tak pernah benar-benar serius meminta. Aku selalu berkelit, mengatakan banyak tugas, acara keluarga, atau sedang tidak enak badan. Aku ingin kamu memaksa, Awan. Aku ingin melihat kesungguhanmu mengajakku bertemu. Tapi aku tak pernah mendapatkan itu.
            Setahun sekali aku bertemu denganmu. Saat hari raya tiba, kamu dan keluargamu selalu datang ke rumahku. Bersilaturahmi. Tapi hanya sebatas itu. Kamu tidak pernah mendatangiku secara khusus. Lupakah kamu padaku, Awan? Sebaik itukah Jogja memberimu kenyamanan, hingga lupa padaku? Aku rindu, rindu sekali, Awan!
***
            Waktu merambat naik. Usiaku kini 23 tahun. Sama denganmu, bukan? Aku, masih mengikuti perkembanganmu dari jauh. Status terakhirmu mengatakan kamu diterima bekerja di Jakarta. Sarjana muda yang tidak merasakan jadi pengangguran. Aku sendiri masih belum lulus. Berkutat di skripsi yang tak kunjung mendapat restu dari Dosen. Aku mengutuk. Mungkin aku harus berhenti bermimpi menjadi hujan. Hujan yang terlahir dari pelukan awan.
            “Lily... Aku pulang besok. Kamu harus menemuiku.” Telepon  Awan di pagi buta. Bahkan aku belum terjaga sepenuhnya.
            “Hmm?” aku menggumam tidak jelas.
            “Aku pulang, Lily. aku sudah bisa meninggalkan Jogja. Sebelum ke Jakarta, aku ingin menemuimu besok. Gak ada alasan untuk menolak. Ada kabar yang sangat menggembirakan!”
            “Ah, iya. Selamat ya, Awan.” Aku menebak-nebak apa yang akan dikatakannya besok. Kabar bahagiakah? Kabar burukkah? Apakah sama kabar bahagia menurutnya dan menurutku?
            “Juga ada hadiah spesial untukmu. Hadiah telah menungguku selama lima tahun. Kamu pasti tidak akan lupa seumur hidup.” Alisku bertaut, bingung.
***
            “Aku akan segera menikah. Kamu orang pertama yang aku kasih tahu.” Awan menatap mataku.
            Aku balas menatapnya. Inikah kabar bahagia yang ingin dia sampaikan? Wanita yang mana yang jadi pilihanmu, Awan? Aku terdiam.
            “Kamu tidak memberiku selamat?” awan menatapku curiga.
            “Aku... Aku... Selamat yah. Aku cuma kaget. Ternyata kamu mendahuluiku.” Aku berusaha tersenyum. Tapi suaraku yang bergetar membuat Awan menatapku heran.
            “Kamu kok kelihatan pucat? Kamu sakit? Atau jangan-jangan... Kamu suka padaku, Lily?” perkataannya menyentak kesadaranku. Aku terhempas. Jatuh, hancur.
            Aku mengangguk, lemah.
            “Astaga... Benarkah? Maafkan aku, Lily. Tapi aku tidak tahu. Aku benar-benar minta maaf. Tapi keputusanku sudah bulat. Aku sudah memilih wanita itu.” Suara Awan pun kini bergetar. Rasa bersalah muncul kentara di setiap lekuk wajahnya.
            Sejam kemudian aku sudah di rumah. Perasaanku berkecamuk. Aku memegang sekaleng permen yang tadi diberikan Awan. Permen-permen itu pipih, dibungkus plastik yang dipelintir kedua ujungnya. Permen ini adalah permen favoritku semasa kecil. Ternyata Awan masih mengingatnya. Tapi aku sudah besar. Sudah jarang membeli permen. Dan rasa sesak ini, membuatku tak mampu untuk memakannya. Cintaku yang teramat besar, hanya dihargai dengan sekaleng permen. Aku kecewa, Awan. Sangat kecewa.
            Perlahan kubuka tutup kalengnya. Iseng, aku mengaduk-aduk puluhan permen berwarna-warni itu. Sampai aku menemukan ada satu bungkusan yang lain. Permen itu dibungkus dengan kertas. Tersimpan di dasar kaleng. Aku menariknya hati-hati. Bungkus itu agak besar, beda dengan permen-permen lainnya.
            Perlahan aku membuka lintingan ujungnya. Sebuah cincin perak terjatuh ke pangkuanku. Di kertas yang sudah ringsek itu, kubaca tulisan tangan Awan. Tulisan yang sudah sangat kuhafal.

Will you marry me?

Aku menganga. Astaga, Awan! Untuk hal seserius ini, dia masih sempat mempermainkanku! Air mata menetes satu-persatu. Segala perih yang kurasakan, menguap seketika. Hatiku terasa penuh, diisi bahagia yang tak bisa kujelaskan. Kaleng permen itu, kupeluk erat-erat.
***

            

Read Comments

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men