Tentara dan Monyet

Percakapan itu menggali ingatanku. Percakapan di suatu malam. Malam persis seperti yang sudah-sudah. Yaitu ketika badan sudah terasa letih dan menuntut haknya untuk diistirahatkan. Lampu kamar sudah mati. Hanya ada cahaya bulan menerobos masuk dari dua jendela besar kamar kami di lantai dua yang sengaja tidak ditutupi tirai. Tinggal di desa yang halamannya adalah kebun dan gunung, membuat telingaku disapa suara-suara serangga malam.
“Iya, ada banyak sekali ceritanya.” Aku berujar pada suami yang tampaknya masih belum mau tertidur.
Suamiku tampak interest. Ia senang sekali dengan budaya Sunda. Termasuk dongeng-dongeng berbahasa Sunda. Tertarik bahkan pada dongeng sekelas dongeng dari Bapakku, yang entah dapat sumber darimana.
“contohnya?”
“Hmmm.. “ aku mengingat-ingat. Menggali sedikit-sedikit memori yang sudah terendapkan lama sekali.
“Si Bongkok dan Si Buta, Rusa dan kerbau yang tertukar kulit saat mandi, lalu masih ada Si Kabayan, Penganten yang... Ah lupa lagi.”
“Nanti minta Bapak ngedongeng buat cucunya, ya.”
Aku senyum tiga jari dalam gelap.
“Ah, ada dongeng yang masih kuingat dengan baik. Karena setiap diceritakan, aku menangis.”
“Tentang apa?”
“Tentara yang menikah dengan monyet.”
Lalu ia memintaku menceritakannya. Tapi aku tidak mau. Aku takut menangis lagi. Perasaan mellow dan amat mudah menangis ini rupanya sudah kupelihara sejak masih kecil. Ya, sungguh. Aku adalah orang yang amat mudah dibuat terharu. Baca buku yang sedih, nangis. Nonton film sekelas kuch-kuch hota hai, nangis. Dengar cerita/dongeng sedih, nangis. Liat orang nangis, rasanya ingin ikut nangis juga, hehe.
Akhirnya aku tergerak untuk menulis di sini. Aku akan ceritakan dongeng yang bersumber dari Bapakku, dan Bapakku bersumber dari entah. Dongeng saat aku masih belum bisa membaca dan masih amat kecilnya.
*
Cerita itu sederhana saja. Ada tentara yang terjun payung dan ternyata ianya malah tersangkut di hutan. Ia terjerat di pohon yang amat tinggi dan tidak bisa turun. Beberapa hari kemudian setelah ia putus asa, datanglah seekor monyet betina yang amat besar.
Tentara itu merasa takut. Namun ternyata monyet itu malah membawakan makanan dan minuman. Sang tentara pun tidak merasa takut lagi dan akhirnya berterima kasih.
Si tentara meminta bantuan monyet untuk membebaskannya dari pohon yang amat tinggi itu, namun si monyet tidak pernah mau membantu. Apa yang terjadi? Ternyata si monyet betina itu jatuh cinta pada si tentara. Si monyet mengungkapkan perasaannya.
Tentara itu jatuh cinta juga kah? Tentu saja tidak. Tapi si tentara merasa takut jika ia menolak cinta si monyet, dia akan dibiarkan dan tidak ada yang memberinya makanan. Akhirnya si tentara berpura-pura mencintai monyet itu. Sampai akhirnya mereka mempunyai anak. (aku selalu membayangkan bagaimana rupanya).
Setiap hari, si tentara meminta monyet untuk membawakannya kelapa. Monyet itu merasa heran mengapa si tentara  amat senang memakan kelapa. Diperhatikannya dari bekas kelapa itu si tentara membuat semacam tangga—atau tali---atau apa, saya lupa. Yang jelas nampak seperti tangga untuk turun. Tapi sayang, si monyet tidak cukup cerdas untuk membaca pikiran sang tentara.
Pernah monyet itu bertanya, apa yang sedang diperbuatnya dengan kelapa-kelapa itu. Sang tentara hanya menjawab ia sedang iseng dan monyet itu percaya dengan amat mudahnya. Waktu berlalu dan si tentara merasa sudah mempunyai peluang untuk kabur. Ia sudah sangat merindukan dunianya bersama manusia. Ia sudah muak tinggal dengan monyet dan juga anaknya yang mengerikan.
Suatu hari, sang tentara meminta monyet mengambilkan makanan yang amat jauh di hutan. Si monyet, seperti biasa, akan memenuhi permintaan sang tentara. Anak mereka tidur di pohon ketika itu. Setelah memastikan monyet itu pergi menjauh, sang tentara turun perlahan menuruni pohon. Ia tahu ada sungai tidak jauh dari hutan itu. Ia segera berlari menuju sungai itu.
Sesampainya di sungai, ia segera menaiki rakit yang juga telah disiapkan sebelumnya. Ia membuat perencanaan yang amat matang. Hingga tiba-tiba setelah beberapa kayuhan, ia mendengar si monyet betina memanggil-manggilnya dari tepi sungai.
“kembali...kembali.. kamu mau kemana?” monyet itu berlari-lari gelisah di pinggir sungai.
“maaf, aku harus kembali ke duniaku. Tempatku bukan di sini.” Jawab si tentara sambil berteriak.
Monyet itu merasa frustasi. Ia amat mencintai si tentara dan merasa takut sekali kehilangan.
“bagaimana dengan anakmu?” ia mencari ide agar si tentara mau kembali.
“aku tidak menyayanginya. Dia monyet sepertimu!”
Si monyet betina amatlah terluka hatinya. Dengan tanpa pikir panjang, ia merobek anaknya menjadi dua bagian. Satu dipegangnya, satu dilemparkan ke sungai.
“Bawa dia, dia anakmu. Biar sebagian untukku, dan sebagian untukmu.”
*
Sudah, selesai.
Garing?
Entahlah. Bisa jadi ceritanya memang garing. Atau bisa jadi, gaya bercerita Bapakku itu lebih seru dan dramatis dari gaya menulisku. Tapi aku selalu menangis setiap diperdengarkan dongeng itu. Yah, walaupun menangis sambil sembunyi-sembunyi karena aku malu jika ketahuan. Tidak tahu bagaimana kelanjutannya. Apakah si tentara pulang sambil membawa sebagian tubuh anaknya, atau dibiarkan terombang-ambing begitu saja.
Ya, pokoknya begitu lah intinya. Saat aku masih kecil, aku sudah menyadari cinta suci si monyet. Aku merasa tidak rela ia dibohongi manusia yang lebih pintar darinya. Aku merasa tidak rela monyet yang begitu tulus itu ditinggalkan. Tapi, di sisi lain, aku juga merasa kasihan pada tentara itu. Ia juga pasti merindukan keluarganya. Complicated, isn’t it?
Nah, untuk suamiku yang menanyakan cerita tentara dan monyet malam itu, inilah ceritanya. Tentu saja, dari awal sampai akhir diceritakan dengan bahasa sunda. Kamu tertarik menceritakannya kembali pada anakmu, Yang?
Hihi.. boleh sih. Tapi rasanya masih ada cerita Thariq Bin Ziyad, Ikrimah, Khalid Bin Walid, dan Salahudin Al-Ayubi deh. Mereka tentara yang jauuuuuh lebih baik.

So, selamat mengumpulkan cerita!

Lembang, 11 April 2014 

Read Comments

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men