Rasanya berdebar-debar. Untuk kemudian menuliskan sesuatu
tentangmu. Tentangmu yang kelak akan kucintai, dan mencintaiku—semoga.
Rasanya jadi malu sendiri. menatap diri yang begitu tidak
tahu apa-apa. Tapi sudah terlalu berani. Sudah berani mengharapkanmu. Sudah berani
menunggu kehadiranmu. Apa jadinya nanti?
Usiamu 14 minggu kini. Aku tidak tahu apakah kamu baik-baik
saja di dalam sana. apakah kamu nyaman. Apakah kamu sudah bisa merasakan dan
mendengar?
Rasanya terlalu ajaib. Hingga aku kadang lupa. Ada mukjizat
amat besar yang kini tumbuh. Dalam diriku.
***
Ternyata padamulah anakku kelak akan memanggil Ayah. Atau mungkin Abi? Abah? Rama?
Sayang, kukatakan kini. Aku bahagia menjadi istrimu. Menjadi orang
yang pertama kali akan kau cari. Menjadi orang yang pertama kali akan kau bagi.
Mungkin aku bukan cinta pertamamu. Karena kamupun, bagiku
adalah begitu. Tapi semoga aku dan kamu menjadi cinta terakhir, hingga cinta
itu sendiri menjadi sesuatu yang tidak bisa terdefinisi.
***
Dan ternyata padakulah anakmu kelak akan memanggil Ibu. Atau mungkin Ummi?
Aku mungkin bukan perpustakaan dan sekolah pertama yang baik
untuk anakmu kelak. Tapi, mungkin, sebisaku, akan kujadikan ia lebih
sholih/sholihah dari Ayah dan Ibunya. Kalaulah aksi dan ucapanku tidak terlalu
berpengaruh pada pembentukan pribadinya kelak, mungkin do’aku (dan kamu) akan
menjadi senjata terakhir kita untuk menjadikannya pribadi yang baik. Tapi aku
harap tidak begitu. Semoga kita bisa menjadi contoh yang baik untuknya kelak.
Tak terlalu banyak yang bisa kukatakan. Biarlah sebagian
kutuliskan dan sebagian lagi kusimpan.
I love you.
Bandung, 9 April 2014
10:35
Hey, laptop putihku
berlumuran tinta pemilu yang berasal dari kelingking :)
0 komentar:
Posting Komentar