Pagi yang Meninggi

Pagi ini, tak perlu melulu tentang mentari. Juga aroma kopi yang aku seduh  sendiri.
Ketika hati tiba-tiba merindu, pada bingkai-bingkai aksara kelabu, sekali lagi aku berucap… “mungkinkah aku terlalu bahagia?” Hingga sastra tak lagi teRasa indahnya.
Mata di sekeliingku masih sama cerahnya. Walaupun sel-sel conus di sana, mungkin meredup. Tapi tak usahlah aku merunut peristiwa itu. Yang penting, kita bahagia.
Seperti waktu yang terus berlari. Aroma kopi itu membuatku terus ingin kembali. Walaupun satu dua detik mengiris hati. Ah, seandainya dapat kuatasi…
Pagi ini sastra kembali menyayat hati. Bukan hanya tentang puisi. Tentang rasa-rasa diri yang kadang mulai lupa kunamai. Padahal  tulisan bisa mengikat sampai mati.
Pada embun-embun pagi aku merebah. Merasakan lagi pilu pada ulu hati yang sempat terlupa.
“Telah kutambahkan lagi air hangat untuk kopimu.” Katamu, sekian menit yang lalu.
Dan aku hanya bisa merenung, sembari melihat cahaya matamu yang meredup.
Lalu aku teringat janji-janjimu, yang membeku namun aku tak rela bila dinamai palsu.
“Terima kasih. Kau tak pernah suka aroma kopi.” Aku mencoba berbicara pada hatimu.
Namun kau hanya diam. Mungkin kita sama-sama faham.
Seiring mentari yang meninggi, waktu kini tak bisa lagi dikata pagi.
Lalu jemari lembut itu menyentuh ujung gelasku,
“Kau hanya sedang rindu.”
Lalu tanpa jeda, aku tergugu. Ah, kau memang selalu tahu.

-37w pregnancy. Stay safe dear...-

Read Comments

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men