Donat Cabai
Oleh: Fulki Ilmi
Tidak jauh berbeda dengan hari ini, aku lima tahun lalu adalah
sosok pendiam, tidak menonjolkan diri, dan kutu buku. Saat semua temanku
sedang dalam puncak hormon pubertas dan asyik-asyiknya menyelami lautan remaja,
aku lebih suka membaca buku. Mereka karaoke, aku mengerjakan kumpulan soal
fisika.
Aku bicara seperlunya. Tidak pernah nongkrong sepulang sekolah,
tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler apapun. Kondisi ekonomi yang pas-pasan
membuatku tidak banyak gaya. Mungkin aku orang yang membosankan bagi kebanyakan
teman sekelasku, yang notabene adalah kaum hedonis kaya. Kadang aku merasa
tidak diterima di lingkungan sekolah. Aku minder.
15 November 2007. Hari itu masih kuingat dengan baik. Jam terakhir
adalah mata pelajaran Biologi. Kebetulan gurunya adalah Bu Liza, wali kelasku
di kelas XI IPA 1. Hari itu ada ulangan harian. Seperti biasa, malam harinya
aku belajar, berkutat dengan istilah biologi yang menyita kapasitas memori.
“Hari ini ulangan. Yang kedapatan mencontek teman, nilainya minus
satu. Yang mencontek buku, minus dua.” Bu Liza memberikan intruksi.
Aku mengerjakannya dalam damai. Namun menjelang menit-menit
terakhir, teman sebangkuku, Tian namanya, mulai menginjak-injak sepatuku.
Jarinya membentuk kode-kode. Ia menanyakan jawaban padaku. Aku mengintip Bu
Liza yang nampak asyik di meja guru. Yakin Beliau tidak melihat, aku memberi
tahu Tian. Hal itu terjadi berulang-ulang.
Sepuluh menit lagi bel berbunyi. Bu Liza meminta kami untuk
mengumpulkan hasil ulangan. Setelah kertas ulangan terkumpul, bukannya menutup
pembelajaran, Beliau malah memisahkan beberapa kertas ulangan.
“Prisnia minus satu. Tian minus satu. Fulki minus satu. Fajar
minus satu. Arta minus satu. Fata minus dua.” Ujar beliau sambil mencoret-coret
kertas ulangan yang dipisahkan.
“Yang barusan disebutkan namanya, ke depan!”
Aku berpandangan dengan Tian. Dia terlihat pucat. Aku bersama lima
temanku maju ke depan kelas, diiringi dengan cemoohan teman-temanku.
“Kalian tahu kenapa diminta ke depan?” Bu Liza menatap kami dengan
pandangan kecewa. Kami semua menunduk. Aku merasa malu sekali, gemetar.
Keringat turun membasahi jilbabku. Bu Liza kemudian menasehati kami, sekaligus
mempermalukan kami, betapa tidak baiknya menjadi pelajar yang tidak jujur.
“Fata, kamu nyontek buku, jadi dapat minus dua. Yang lain
bagaimana? Fulki, kamu nyontek atau kasih contekan?”
“Saya kasih contekan, Bu.” Aku menunduk, menatap sepatu.
“Yang lain bagaimana? Prisnia, Tian, Fajar, Arta?”
“Saya nyontek sama Fulki.” Tian menjawab
“Saya juga.” Prisnia menimpali.
Tanpa diduga, semua pencontek itu menuduh saya. Saya merasa
tersudut. Apa karena saya tidak berteman baik dengan mereka, lalu mereka
menyalahkan saya?
“Jadi semuanya nyontek sama Fulki?” pertanyaan Bu Liza ini disusul
oleh anggukan mereka.
Aku gemetar, merasa benci sekali pada mereka yang menuduhku.
Teman-temanku dipersilakan untuk duduk. Sedang aku masih harus berdiri,
sendirian, mendapatkan perpanjangan ceramah.
“Kamu mau merusak pelajaran saya, Fulki?”
Air mataku sudah siap merebak. Aku ingin menjelaskan bahwa yang
kuberi tahu hanya Tian. Tapi suaraku hilang entah kemana.
“Kamu tahu gak kesalahan kamu yang lebih besar dari sekedar
memberikan jawaban?” aku terdiam.
“Kesalahan kamu adalah... Kenapa kamu ulang tahun hari ini,
Sayang...” Kata Bu Liza, sambil memelukku erat sekali. Semua kawanku, yang
ternyata sudah bersekongkol menertawakanku yang menangis di depan kelas. Mereka
menyanyikan lagu happy birthday,
yang tentu saja membuat tangisanku semakin menjadi.
Tian, si tersangka utama, maju dan memelukku. Ia membawa donat
bertabur cokelat yang diatasnya di simpan lilin kecil, bertuliskan angka 17.
“Makan dong...” katanya sambil tersenyum.
Aku menggigit donat itu, lalu berteriak protes. Dalamnya penuh
dengan cabai! Ternyata, walaupun aku tidak bergaul baik dengan mereka, mereka
tetap sayang padaku.
***
0 komentar:
Posting Komentar