Siapa Saya, Siapa Kamu, Siapa Saja


Baru-baru ini saya menghadiri pernikahan saudara. Bayangkan, di zaman Ipad, Iphone, I-ring, Internet, Imunisasi, Intimidasi, Induksi, Imigrasi ini, masih ada yang menikah dini. Well, yang saya maksud dini adalah dini sedini-dininya. Yang perempuan lima belas, yang laki-laki tujuh apa depalan belas, sekitar. Mereka tampak bahagia, tidak ada beban, dan mengalir begitu saja. Saya jadi melihat pada diri sendiri. Apa bisa saya seperti mereka?
Hmm... Saya jadi ingat pada salah seorang kakak kelas di kampus, yang sudah menjadi Asdos, dan mengajar di kelas saya. Rasanya memang sedikit aneh, karena semester-semester sebelumnya, saya—si Kutu Loncat—sudah beberapa kali sekelas dengan Beliau. Dan tiba-tiba, taraaaa... Semester berikutnya, Beliau yang mengajar di kelas saya.
Saya yang terbiasa memanggilnya Akang, harus segera mengganti panggilan menjadi Bapak. Cukup canggung pada awalnya, dan cukup sering lupa. Orangnya pintar dan banyak pengalaman.
Dalam kamus saya, guru memang harusnya seperti Beliau ini. Mumpuni, humoris, good looking—Sst, masih single pula—hehe. Beliau bisa bahasa Inggris dan bahasa Arab sefasih saya bicara bahasa Indonesia. Hafalan ayat dan hadits yang sering dikemukakannya,  sehafal saya pada lagu Balonku Ada Lima. Saya kagum sekali padanya.
            Salah satu guyonannya yang paling saya ingat adalah, dalam menikah, teori yang terpakai ada tiga teori. “Siapa saya, siapa kamu, siapa saja.” Beliau memang sudah kepala tiga, namun belum menikah.
Ia bercerita, “Kalau kalian mau menikah, segerakanlah. Sebelum jadi seperti saya ini, gak laku-laku.” (Dalem ati saya mau tunjuk tangan, saya mau, Pak, saya mau, wkwkwk) Ehm, lanjut.
“Ketika kalian masih di rentang umur delapan-sembilan belas, atau awal dua puluhan, kalian tidak akan mempersulit jodoh. Dalam hal ini, hukum yang berlaku adalah, siapa saya. Yah, yang jadi acuan adalah diri saya. Saya tidak bisa masak, saya masih butuh bimbingan, saya tidak punya apa-apa, saya tidak bisa apa-apa. Jadi, kita tidak akan terlalu fokus pada calon pasangan. Segeralah menikah saat kalian sedang dalam fase tersebut, karena biasanya saat dalam fase seperti ini, kita tidak akan terlalu selektif dan pemilih dalam menentukan pasangan.” Aku manggut-manggut, sok ngerti, padahal ngantuk, hehe.
            Beliau melanjutkan, “Sayang, kalau kalian ternyata sudah melewati fase itu, namun belum menikah, maka bersiaplah memasuki hukum kedua, yaitu Siapa kamu. Fase ini muncul pada usia seperti kalian-kalian ini. Biasanya mahasiswa semester akhir, atau yang sudah lulus kuliah. Mereka mulai mengerti hidup, mulai mempertimbangkan segala hal. Siapa kamu? Itu yang ada dalam pikiran kita. Pada fase seperti inilah, yang kadang membuat seseorang sulit menikah. Ada ketidakcocokan sedikit dengan pasangannya, ia tidak mau menerima.  Apakah dia sudah punya rumah? Apa pekerjaannya? Apa dia bisa mengerti saya? Apa dia bisa jadi pasangan yang baik? Apa dia bla bla bla? Semua terfokus pada dia. Karena pada usia seperti ini, biasanya kita sudah berkutat dengan kehidupan yang real, tidak lagi menjadi penghafal pelajaran.”
            Saya sempat mau protes, rasanya tidak semua seperti itu. Dan beliau juga ternyata melanjutkan, seolah paham apa yang ada di kepala saya. “Tapi tidak semua orang seperti itu. Kita hanya bicara kebanyakan. Itulah mengapa sering kita jumpai, teman-teman kita yang memang sudah cukup umur, sudah waktunya menikah, masih menunda-nunda.”
Saat itu, saya yang masih semester empat, mengangguk-angguk lagi. (Kali ini ngerti beneran, Gan. Masa iya ngantuk terus) dan saya berpikir, saat itu posisi saya masih di siapa saya. Saya memang tidak memikirkan, sudah menikah tinggal dimana, apakah akan cukup penghasilan suami nanti untuk menghidupi saya, saya masih fokus pada diri sendiri, yang tidak bisa dan tidak tau apa-apa.  Bahasa jermannya mah, masih polos.
            Lalu tanpa saya sadari, waktu membawa saya pada hari ini. Hari dimana saya sudah selesai sidang, menunggu wisuda, dan tidak lagi berkutat dengan SKS dan hafalan. Melihat pernikahan saudara saya itu, rasa-rasanya saya mulai menyadari bahwa saya mulai memasuki Fase Siapa Kamu.
Saya tidak munafik. Dan jujur saja, ini membuat saya semakin tidak siap untuk menikah. Kesiapan saya masih nol besar. Terlalu banyak yang saya  pertimbangkan, yang saya takutkan. Saya mulai menilai Si Calon. Mulai pemilih. Saya memang tidak terlalu berorientasi pada materi, namun tetap saja ada sesuatu dalam pikiran saya saat ini. Misalnya, apakah ia bisa membuat saya nyaman nantinya? Memang sederhana. Tapi, tetap saja, saya menyadari bahwa teori dosenku itu benar. Sekarang saya mulai berorientasi pada siapa kamu?
“Dan teori satu lagi berlaku saat Anda memasuki usia kepala tiga seperti saya. Apalagi perempuan. Bila sudah kepala tiga tapi tidak menikah-menikah, luntur semua idealisme kamu. Mau duda, mau janda, diembat aja.” Hihi... gara-gara teori itu, satu kelas berhasil dibuat tertawa olehnya.
*
            Hari itu, usai jam pelajaran, saya duduk di masjid kampus, berbekal buku. Saya punya jam kosong untuk istirahat. Saya keluar dengan Kang Jajang, kawan yang sama-sama kutu loncat, dari satu kelas, ke kelas lain. Kang Jajang duduk agak jauh dari saya. Kami membicarakan sesuatu, entah apa, saya lupa. Saat sedang mengobrol, Si Kakak kelas yang sudah merangkap Dosen itu juga keluar, dan ikut bergabung dengan Kang Jajang. Suasananya sepi, rindang, dan amat nyaman. Saya memang fokus pada buku, tapi pembicaraan mereka tetap saja terdengar.
            “Saya setuju, Kang. Saya sekarang sudah ada dalam fase siapa kamu. Saya pilih-pilih akhwat.” (Kurang lebih seperti itu yang diucapkan Kang Jajang, saya lupa persisnya).
           “Kamu mah mending, masih siapa kamu. saya sudah lewat dari fase itu, sekarang mah prinsip saya, siapa saja, daripada teu payu-payu? Saha we lah, bener teu, Yi?” (daripada gak laku-laku, ya, gak, Dik?) dan kedua bujang itu tertawa. Saya tidak bermaksud untuk mencuri dengar, tapi saya juga ikut tertawa.
Kang Jajang menambahkan obrolan mereka yang sudah semakin melantur, “Setuju, Kang. Siapa saja lah, asal berlubang dan bernapas.” Mereka tertawa terbahak-bahak semakin keras. Sebagai satu-satunya perempuan yang berada di jarak pendengaran mereka, aku protes. “Ih, kok gitu ngomongnya?”
        “Hahaha, iya lah, Teh? Asal berlubang dan bernapas. Kalau gak ada lubang hidungnya mah, gimana mau napas?” Aku mesem-mesem. Merasa kalah. Aku memilih kembali menekur pada buku, berusaha untuk tidak mendengarkan pembicaraan mereka selanjutnya.




                                                                                                                                 

Read Comments

2 komentar:

Anonim mengatakan...

mungkin pilihan tepat beraada dekat di sekitar hari hari itu, atau mungkin pilihan itu tepatnya untuk orang yang tanpa sadar selalu berada di sekitarmu, berbagi gurau, ilmu dan nasehat?

Anonim mengatakan...

who am i? who are you? who are us? just choose the right one and carry on. Tapi aku lelaki bukan tuk dipilih...akhahaha bang iwan fals bersenandung.

Posting Komentar

 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men