Note: Cerpen ini ditolak tiga media, hahaha... Dan saya malas
kalau harus revisi. Mungkin memang tidak layak untuk dimuat. Tapi Blog-ku
selalu baik hati. Ia akan menerima tulisan apapun dari saya :p
Happy reading :)
Layang-layang
Cerpen: Fulki Ilmi
Beberapa langkah lagi gadis itu sampai di rumah. Tapi Ia malah
berhenti. Memandang layang-layang yang berkejaran di langit. Warna-warna yang
terpeta di kertas terbang itu memukaunya. Ia selalu bermain layang-layang saat
masih anak-anak, bersama adik laki-lakinya. Namun entah kenapa memori itu
sekarang terasa sangat jauh. Lebih jauh dari langit itu sendiri. Benang-benang
tak terlihat mengikat layang-layang itu. Gadis itu membayangkan bocah-bocah
yang ada di ujung benang. Mungkin mereka sedang tertawa-tawa. Mungkin
berkeringat. Tapi pasti mereka sedang bergembira. Dalam benak mereka hanya ada
seruan, “Lihat, layang-layangku terbang!”
***
“Bagaimana wawancaranya?” Ayah gadis itu langsung bertanya.
Padahal si gadis belum lagi membuka sepatu.
“Mina gagal lagi, pak.” Wajahnya nampak sangat lesu, menyiratkan
kesedihan dan rasa bosan.
Detik kemudian diisi hening. Mina merasa bersalah. Merasa tidak
mampu. Tapi lain lagi yang ada dibenak Ayahnya. Lelaki tua itu merasa kasihan
pada Mina, namun sudah tidak tahu harus berkata apa. Mina sudah terlalu sering
ditolak kerja. Akhirnya ia memilih untuk diam.
“Galuh mencuri lagi, Mina.” Akhirnya Bapak Mina memecah hening.
Pandangan matanya tampak lelah.
“Astaghfirullah.. Apa sih maunya anak itu? Apa lagi sekarang yang
dicurinya, Pak?”
“Laptop. Galuh menjualnya ke tempat service komputer. Katanya
tukang service-nya itu tidak mau menerima karena laptop yang dibawa Galuh
diproteksi kata sandi. Mereka curiga, lalu Galuh ditahan di sana.”
Mina memijit-mijit keningnya yang terasa memberat. Adik manisnya
sekarang sudah tak bisa Mina kenali lagi. Untung saja pemilik laptop itu baik
hati sehingga Galuh tidak dilaporkan ke polisi. Namun sekarang Galuh sudah
menjadi perhatian warga sekitar. Pak RW dan jajarannya juga sudah mengingatkan.
Kalau Galuh ketahuan beraksi lagi, maka dapat dipastikan ia akan masuk LP.
***
“Lumina! Tolong tissue-tissue itu segera dilipat! Sebentar lagi
makan siang.” Bos Mina bagian dapur mengingatkan.
“Iya, Pak.” Mina bergegas ke meja panjang yang sudah berisi
peralatan makan lengkap.
Pekerjaan Mina saat ini adalah karyawan di sebuah balai pertemuan
milik pemerintah. Ia kerja di bagian dapur. Setiap hari pekerjaannya adalah
menyiapkan peralatan makan siang. Dari mulai mencuci-keringkan alat makan,
sampai melipat tissue. Jumlahnya 200. Tangannya sudah sangat cekatan. Akibat
terlatih selama bertahun-tahun.
“Min, kamu jadi resign?”
suara sahabat baiknya mendekat. Mina menoleh.
“Maunya sih gitu. Tapi aku ditolak lagi.”
Yuli, teman baik Mina itu segera menghibur sahabatnya. Yuli
berbeda dengan Mina. Sebagai tamatan SMA ia sudah cukup puas dengan posisinya
sebagai pembantu dapur seperti sekarang ini. Namun Yuli mengerti, Mina berbeda.
Ia lulusan perguruan tinggi. Walaupun hanya sampai D3, tapi tetap saja kawannya
itu pernah mengecap rasa menjadi mahasiswa. Sudah sepantasnya Mina mendapatkan
pekerjaan yang lebih layak.
Mina sendiri menanggapi hiburan Yuli dengan senyum seadanya. Ia
malas memperpanjang obrolan tentang kegagalan yang lagi-lagi dialaminya. Mina
sudah bosan melipat tissue seperti itu setiap hari. Ia ingin lingkungan baru,
suasana baru, tantangan baru, gaji baru. Ia ingin lebih dihargai, lebih diakui.
Mina asyik berlari-lari ke dunia imaji. Dunia dimana segalanya terlihat lebih
mudah. Lebih menjanjikan senyuman.
***
“Kakak sedang tidak ada uang.” Mina melembutkan suaranya.
“Aku gak peduli. Aku mau beli gitar.” Galuh memandang Mina tajam.
Lumina mundur secara perlahan. Berusaha tak sekentara mungkin. Bau
khas alkohol tercium dari nafas pendek-pendek adiknya. Menguar masuk ke rongga
pernafasannya. Membuat Mina semakin takut, semakin kalap.
“Punya kakak kuliah tapi gak becus apa-apa! Bakar aja ijazahnya!
Gak guna! Kamu masih jadi pembantu dapur!” Galuh mendekat pada Mina. Matanya
merah.
Mina merapatkan dirinya ke tembok yang dingin. Tapi suhu tubuhnya
tidak berkurang. Dadanya berdegup kencang. Mina mencari-cari pisau lipat yang
biasa dibawa adiknya. Ia sedikit menghembuskan nafas lega, tangan adiknya hanya
menggenggam udara kosong.
Mina hanya berdua dengan adiknya. Mina takut jika sedang mabuk
seperti itu, Galuh semakin kalap. Mabuk bukan berarti membuat Galuh tidak
bertenaga.
“Pokoknya aku butuh uang. Hari ini juga. Kalau tidak ada, ijazahmu
yang gak berguna itu aku bakar!” Galuh keluar dari rumah. Seiring dengan
langkah Galuh yang menjauh, nafas Mina mulai mendapatkan ritmenya kembali.
Beberapa jenak ia hanya diam, lalu buliran-buliran bening turun di pipinya.
Mina berusaha mengais-ngais sisa memori yang semakin hari semakin
pudar. Ia mencari-cari sosok adiknya yang dulu, yang sering menerbangkan
layang-layang untuknya. Ah, ia begitu rindu masa kecilnya. Mina rindu adiknya.
Mina rindu almarhum ibunya.
***
“Sudah kamu pertimbangkan?” Laki-laki itu menatap Mina dalam-dalam.
“Aku masih bingung.”
“Bukankah kamu yang selama ini selalu bilang kamu sudah tidak
tahan lagi dengan adik kamu, dan ingin meninggalkan rumah? Mina, kamu berhak
untuk bahagia.”
Ucapan laki-laki itu memang benar. Mina masih muda. Saat jalan di
kehidupannya mulai berbatu tak terkendali, ia selalu punya pilihan. Tapi rupanya Mina harus
memikirkan masak-masak keputusannya. Semenjak kematian ibunya, Mina yang harus
mengurusi Bapak dan Galuh. Ia menjadi istri, ibu, dan kakak sekaligus.
“Tidak bisa diundur, Mas? Di
rumah sedang tidak beres. Galuh sering sekali
mabuk-mabukan. Mina khawatir sama Bapak kalau Mina meninggalkan rumah
sekarang-sekarang.”
Laki-laki itu membuka mulutnya, lalu menutupnya kembali. Tampaknya
ia sedang mencari pilihan kata yang tepat.
“Mina, pilihannya adalah sekarang atau tidak sama
sekali. Ibuku mewanti-wanti sekali. Sebulan lagi aku pergi ke Kalimantan. Ibu
bilang aku harus menikah dulu sebelum
kerja di sana. Kalau tidak, aku tidak akan
diizinkan pergi.”
“Seandainya aku menolak?”
“Aku tetap menikah. Mungkin
dengan pilihan ibuku.” Laki-laki itu menatapnya nanar.
Mina menggelengkan kepala.
Berat sekali rasanya untuk memutuskan sesuatu yang begitu penting dalam tempo
waktu yang sangat singkat. Seandainya saja Ibunya masih hidup. Seandainya ia punya adik perempuan
yang bisa menggantikan tugasnya. Seandainya saja Galuh tidak berubah.
Seandainya saja Mas Ari tidak harus bekerja di Kalimantan. Seandainya saja
ibunya tidak meminta Mas Ari untuk cepat-cepat menikah… Ah, Mina letih sekali
mengurai simpul-simpul yang saling membelit itu.
“Aku akan bilang pada Bapak secepatnya.” Entah mengapa tiba-tiba
kata-kata itu yang keluar dari mulutnya. Mina berusaha memantapkan hatinya.
Laki-laki itupun tersenyum.
***
Langit senja dilukisi jingga. Warna yang lembut melatarbelakangi
awan-awan yang tergantung bebas di langit luas. Mina mencermati langit yang
hanya menyisakan ruang-ruang kosong. Sekosong hatinya saat ini.
“Kamu mau bicara apa, Min?” Mulut lelaki tua itu bicara pada Mina. Tapi mata
dan tangannya sibuk dengan burung kenari kesayangannya.
“Kalau misalnya Mina menikah sekarang-sekarang ini, bagaimana, Pak?”
Kegiatan lelaki itu terhenti. Sekarang seluruh inderanya terfokus pada Mina.
Lalu ia duduk mendekati anaknya.
“Mina sudah mau menikah? Tentu saja boleh. Bapak senang sekali. Siapa orangnya,
Nak?” Matanya yang keriput memancarkan binar yang sangat tulus.
“Mas Ari. Bapak belum mengenalnya.Nanti Mina kenalkan.”
“ Syukurlah… Bapak senang sekali. Rumah ini perlu imam baru, Mina. Bapak sudah
tua, sudah kurang pengaruh. Kalau rumah ini kedatangan suami kamu, pasti suasana
lebih hidup. Adik kamu juga ada yang membimbing.”
Mina terdiam. Hatinya berkecamuk. Ternyata kebahagiaan yang dirasakan oleh ayahnya bukan
sesuatu yang bisa ia berikan. Semua kata-kata
yang telah disusunnya meluruh, seakan terhisap gravitasi.
Bapaknya terus berceloteh. Tentang bagaimana ia yang harus
mengecat tembok rumah untuk mempersiapkan pernikahan, tentang kamar utama bekas
bapak dan ibunya yang bisa segera dipakai Mina dan suaminya setelah pindah,
juga tentang kamar mandi yang sepertinya harus ditambah. Bapaknya berceloteh
seperti anak kecil yang akan dibelikan mainan baru.
Semua
ketulusan dan kebahagiaan Bapaknya itu tidak tega untuk dirusak oleh fakta yang
akan ia beberkan. Haruskah ia berkata bahwa jika ia menikah nanti, ia
akan langsung pergi? Tidak tanggung-tanggung, langsung
menyebrang ke pulau Kalimantan. Tegakah
ia meninggalkan Bapaknya dengan adiknya sendirian? Tegakah ia mengahapus senyum
itu?
“Mina, kok diam saja?”
Mina menggigiti bibir bawahnya. Lantai menjadi objek terbaik yang dipilihnya. Kemudian
tanpa ragu, tangannya merogoh telepon genggam, jemarinya lincah mengetik
rangkaian-rangkaian aksara.
Mas, maaf Mina tak bisa menepati janji
Mina tidak bisa ikut menyaksikan rambut Mas memutih
Semoga Mas bahagia dengan pilihan Ibu
Biarkan Mina terbang sebentar lagi
Biarkan angin menampar-nampar Mina lebih lama lagi
Sepertinya, Mas bukan orang yang ada di ujung benang takdirku
Rasa sesak menyergap dirinya. Bahkan bernapaspun rasanya sakit.
Pandangannya dialihkan ke jendela yang terbuka. Di luar sana, layang-layang diterbangkan
anak-anak kecil yang riang gembira. Mereka tertawa-tawa,
menikmati terpaan angin di sekujur tubuhnya. Layang-layang itu mengabarkan berita, ada beribu cara
untuk berbahagia***
0 komentar:
Posting Komentar