Yang Tersisa


Note: Ini FTS lomba bertema aku dan tulisanku yang tidak berhasil lolos untuk dibukukan. Daripada diendapkan di leptop mending saya upload di sini. Happy Reading :)

Mimpiku menyusut.  Bak raksasa yang mengerdil. Gelisah yang dikutuk waktu begitu mengganggu. Mataku bersitatap dengan beningnya obsidian. Aku berkaca, getir. Tak kutemukan keutuhan di sana. Tak lagi kudapati rasa genap yang selama ini kuabaikan. Bisakah aku melanjutkan hidup?
Di tempat yang seharusnya melekat kaki kiri, sekarang  diisi gumpalan udara. Besi menopang sisi kiri tubuhku.  Ah, Tuhan. Lagi-lagi kurasakan sejuta mimpiku mengerdil, menyusut. Sampai lesap. Sampai lumat.
Apa yang terisa kini?
*
Di sanalah kerajaan Tuhan bertakhta. Singgasana tanpa kiap. Tangan-Nya leluasa menggenggam, pun membuang. Kini aku merasa terabaikan. Masih ingatkah kau padaku, Tuhan?
“Jihan... Aku dapat juara satu. Nomor yang seharusnya selalu menjadi...” perkataan Mila ditelan udara.
Milikku. Nomor satu itu harusnya masih menjadi milikku!
Mungkin bibirku bermaksud mencipta senyum.  Namun otak dan hati terlalu sibuk, berebut memilah titah. Antara ingin mencoba kuat atau hanyut dalam sungai kesedihan. Sungai itu terlalu besar, tak mudah untuk diabaikan. Namun egoku juga menggunung. Tak sudi aku merajuk, apalagi di hadapan seorang Mila.
“Selamat.” Serak, sarat ambigu. Senangkah kamu? Aku tak akan pernah lagi mengalahkanmu dalam berenang. Selamanya.
Mila menatap penuh arti padaku. Sebisa  mungkin dihindarkan matanya dari celana panjangku, yang  kosong satu. Aku menebak-nebak kemana pikiran Mila dilarikan. Bertopengkah wajah sedihmu? Bersorakkah hati kecilmu?
Dua tiga detik mengkristal. Menghisap lamat-lamat udara tipis ruangan, mengantarkannya menuju titik terendah. Aku siap memeluk hipotermia jika terkunci di situasi seperti ini beberapa detik lagi.
Kenapa kamu tidak segera pulang, Mila?
*
Benda kotak yang lebih sering kugunakan untuk merampungkan makalah, membaca komik online, atau mengunduh film, kini memiliki fungsi baru. Jemariku mengetik sesuatu di sana. Kutumpahkan segala kabut yang menghitami hariku.
Kabutku mulai terurai di titik sana. Di panggangan siang yang menghanguskan gairah. Aku berdiri di tepian jalan.  Alunan musik mengalun pelan dari earphone yang kusematkan. Lalu tiba-tiba memori membeku. Sekon berikutnya pandanganku tertuju pada satu titik. Aroma kematian terendus dari tempatku berdiri kini.
Motor dan Bus itu. Aku tidak begitu memperhatikan apa yang terjadi sebelumnya. Yang kutahu, kini dua kendaraan bermesin itu akan segera bertabrakan. Aku panik, berteriak mengingatkan, sambil memejamkan mata. Pengguna motor itu cukup cekatan, ia membanting arah ke kiri. Menghindari bus. Ya, tepat ke arahku.
Kini orang lain yang berteriak. Motor itu terpelanting ke arahku, si pengguna jalan yang  sedang diam. Tidak puas menindih, motor itu juga menyeretku hingga beberapa meter sebelum akhirnya benar-benar berhenti.
Kesadaranku timbul tenggelam.
Bus terus berjalan tanpa menoleh.
Si pengguna motor tak tergores sedikitpun.
Timingnya saat melompat, patut dianugerahi piala.
Sedang,
Kaki si pengguna jalan yang tidak tahu apa-apa, kini hancur terseret-seret...
Berdarah-darah...
*
                Ah, kenapa dia datang lagi? Begitu gembira dengan kakinya yang lengkap. Kulitnya yang gelap akibat terlalu sering bermain matahari dan kaporit. Ia begitu membuatku iri. Juara apalagi yang akan kau pamerkan?
“Baca.” Mila tersenyum.
Aku menoleh malas. Jadi, sekarang dia diliput majalah? Benar-benar prestasi!
*
                Beberapa buah lagi, maka genap menjadi seratus. Tulisanku menyebar. Mereka lahir satu demi satu. Hinggap di majalah, koran, buku antologi. Mulai dari bacaan anak-anak, remaja, dan dewasa. Mila yang mulai mengirimkan tulisan-tulisan isengku ke media, tanpa aku tahu.
Terima kasih. Kini aku bebas berlarian di dunia imaji. Walau dengan satu kaki, kini semua profesi bisa kulakoni. Dokter, artis, koruptor, burung yang terluka, koki, bahkan peri jahat penunggu hutan. Mimpiku mewujud kembali.
Dan, meski kaki tak lagi sepasang, kini aku masih bisa menjadi perenang. Bila kini ada yang bertanya, apa yang tersisa dari seorang Jihan? Aku bisa menjawab: tekad, semangat, dan tangan Tuhan yang tak pernah diam.
***
Fulki Ilmi, dipilihnya sebagai nama pena sejak mulai gemar tulis-menulis. Penulis yang lahir di Bandung 21 tahun yang lalu, kini mulai mencari celah-celah di dunia kepenulisan. Beberapa kali sempat merasa tak mempunyai kesempatan untuk mengejar apa yang diinginkan, but I ever heard, not getting what I want is a wonderful stroke of luck.
Note: Ini FTS lomba bertema aku dan tulisanku yang tidak berhasil lolos untuk dibukukan. Daripada diendapkan di leptop mending saya upload di sini. Happy Reading :)

Mimpiku menyusut.  Bak raksasa yang mengerdil. Gelisah yang dikutuk waktu begitu mengganggu. Mataku bersitatap dengan beningnya obsidian. Aku berkaca, getir. Tak kutemukan keutuhan di sana. Tak lagi kudapati rasa genap yang selama ini kuabaikan. Bisakah aku melanjutkan hidup?
Di tempat yang seharusnya melekat kaki kiri, sekarang  diisi gumpalan udara. Besi menopang sisi kiri tubuhku.  Ah, Tuhan. Lagi-lagi kurasakan sejuta mimpiku mengerdil, menyusut. Sampai lesap. Sampai lumat.
Apa yang terisa kini?
*
Di sanalah kerajaan Tuhan bertakhta. Singgasana tanpa kiap. Tangan-Nya leluasa menggenggam, pun membuang. Kini aku merasa terabaikan. Masih ingatkah kau padaku, Tuhan?
“Jihan... Aku dapat juara satu. Nomor yang seharusnya selalu menjadi...” perkataan Mila ditelan udara.
Milikku. Nomor satu itu harusnya masih menjadi milikku!
Mungkin bibirku bermaksud mencipta senyum.  Namun otak dan hati terlalu sibuk, berebut memilah titah. Antara ingin mencoba kuat atau hanyut dalam sungai kesedihan. Sungai itu terlalu besar, tak mudah untuk diabaikan. Namun egoku juga menggunung. Tak sudi aku merajuk, apalagi di hadapan seorang Mila.
“Selamat.” Serak, sarat ambigu. Senangkah kamu? Aku tak akan pernah lagi mengalahkanmu dalam berenang. Selamanya.
Mila menatap penuh arti padaku. Sebisa  mungkin dihindarkan matanya dari celana panjangku, yang  kosong satu. Aku menebak-nebak kemana pikiran Mila dilarikan. Bertopengkah wajah sedihmu? Bersorakkah hati kecilmu?
Dua tiga detik mengkristal. Menghisap lamat-lamat udara tipis ruangan, mengantarkannya menuju titik terendah. Aku siap memeluk hipotermia jika terkunci di situasi seperti ini beberapa detik lagi.
Kenapa kamu tidak segera pulang, Mila?
*
Benda kotak yang lebih sering kugunakan untuk merampungkan makalah, membaca komik online, atau mengunduh film, kini memiliki fungsi baru. Jemariku mengetik sesuatu di sana. Kutumpahkan segala kabut yang menghitami hariku.
Kabutku mulai terurai di titik sana. Di panggangan siang yang menghanguskan gairah. Aku berdiri di tepian jalan.  Alunan musik mengalun pelan dari earphone yang kusematkan. Lalu tiba-tiba memori membeku. Sekon berikutnya pandanganku tertuju pada satu titik. Aroma kematian terendus dari tempatku berdiri kini.
Motor dan Bus itu. Aku tidak begitu memperhatikan apa yang terjadi sebelumnya. Yang kutahu, kini dua kendaraan bermesin itu akan segera bertabrakan. Aku panik, berteriak mengingatkan, sambil memejamkan mata. Pengguna motor itu cukup cekatan, ia membanting arah ke kiri. Menghindari bus. Ya, tepat ke arahku.
Kini orang lain yang berteriak. Motor itu terpelanting ke arahku, si pengguna jalan yang  sedang diam. Tidak puas menindih, motor itu juga menyeretku hingga beberapa meter sebelum akhirnya benar-benar berhenti.
Kesadaranku timbul tenggelam.
Bus terus berjalan tanpa menoleh.
Si pengguna motor tak tergores sedikitpun.
Timingnya saat melompat, patut dianugerahi piala.
Sedang,
Kaki si pengguna jalan yang tidak tahu apa-apa, kini hancur terseret-seret...
Berdarah-darah...
*
                Ah, kenapa dia datang lagi? Begitu gembira dengan kakinya yang lengkap. Kulitnya yang gelap akibat terlalu sering bermain matahari dan kaporit. Ia begitu membuatku iri. Juara apalagi yang akan kau pamerkan?
“Baca.” Mila tersenyum.
Aku menoleh malas. Jadi, sekarang dia diliput majalah? Benar-benar prestasi!
*
                Beberapa buah lagi, maka genap menjadi seratus. Tulisanku menyebar. Mereka lahir satu demi satu. Hinggap di majalah, koran, buku antologi. Mulai dari bacaan anak-anak, remaja, dan dewasa. Mila yang mulai mengirimkan tulisan-tulisan isengku ke media, tanpa aku tahu.
Terima kasih. Kini aku bebas berlarian di dunia imaji. Walau dengan satu kaki, kini semua profesi bisa kulakoni. Dokter, artis, koruptor, burung yang terluka, koki, bahkan peri jahat penunggu hutan. Mimpiku mewujud kembali.
Dan, meski kaki tak lagi sepasang, kini aku masih bisa menjadi perenang. Bila kini ada yang bertanya, apa yang tersisa dari seorang Jihan? Aku bisa menjawab: tekad, semangat, dan tangan Tuhan yang tak pernah diam.
***
Fulki Ilmi, dipilihnya sebagai nama pena sejak mulai gemar tulis-menulis. Penulis yang lahir di Bandung 21 tahun yang lalu, kini mulai mencari celah-celah di dunia kepenulisan. Beberapa kali sempat merasa tak mempunyai kesempatan untuk mengejar apa yang diinginkan, but I ever heard, not getting what I want is a wonderful stroke of luck.

Read Comments

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men