Hari Terindah dalam Hidupku

Pixabay.com

"Hari itu adalah hari yang paling membahagiakan dalam hidupku." Pipimu bersemu merah, mungkin, karena di sini terlalu gelap jadi aku tidak bisa melihatnya dengan jelas.
.
Aku ikut tersenyum, merasakan kebahagiaan itu datang kembali. Kenangan itu cukup kuat untuk menghangatkan malam yang dingin ini.
.
Kamu menatap langit di atas kita. Bulan yang indah tiada cela. Bintang yang seakan dilemparkan seenaknya sampai terserak di mana saja. Jalanan yang lengang, dan udara seakan rela dihirup sampai tandas. Karena malam ini, hanya ada kita berdua. Bagaimana tidak? Ini pukul dua dini hari. Dan kita masih berbincang di teras depan rumah. Seakan dua kekasih yang baru bertemu dan akan kembali berpisah esok hari.
.
"Aku kira, mereka akan malu." Kamu tersenyum lagi. Lampu redup teras membasuh wajah teduhmu.
Aku merapatkan retseling jaket sampai tidak bisa ditarik kemana-mana lagi. Angin mulai bertaring rupanya.
"Tapi nyatanya tidak, kan? Mereka bangga memiliki Ayah sepertimu."
Lalu hening. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.
"Terima kasih, kamu telah membesarkan mereka dengan baik."
.
Dan kamu pun menggenggam punggung tanganku. Sebentar saja. Aku tahu kamu memang begitu. Tidak bisa romantis. Tidak pandai mengumbar cinta. Baik verbal ataupun sekedar genggaman tangan di muka umum, jarang sekali aku dapatkan. Tapi sorot matamu, sudah cukup jelas berbicara segalanya. Rasa hangat dengan seketika merambat. Entah sumber panas terbesarnya berasal dari tanganku yang kamu sentuh, ataukah hatiku yang tengah bahagia.
.
Kita tidak lagi muda. Di hitamnya rambutmu kini ada helai-helai putih yang mencuat. Di kekarnya lenganmu kini mulai muncul urat-urat. Dan aku, sama sepertimu. Kita menua bersama.
.
"Kamu ingat saat mereka baru lahir ke dunia? Rasanya baru kemarin." Ada jeda sejenak, sepertinya kamu mulai menahan bulir air di matamu yang akan segera turun.
.
Kamu mereguk sisa kopi yang pasti sudah dingin dengan satu tegukan, lalu melanjutkan, "aku bahkan masih ingat seringai kesakitanmu di hari mereka dilahirkan. Kebahagiaan berganda-ganda karena aku langsung mendapat dua putra yang sehat."
.
"Ya, dan jangan lupa, lenganmu yang membiru karena aku terus menerus mencengkramnya."
Kamu tertawa. Gigi putihmu terlihat kontras dengan pekat malam.
.
"Dan esok salah satu putra kembar kita akan menemukan tulang rusuknya. Ia akan meninggalkan sarang ini, demi membuat sarang baru dengan kekasih hatinya. Betapa waktu begitu tega mencuri anak mungil kita." Kali ini, aku yang menggenggam tanganmu. Saling menguatkan, aku tahu itu yang kita butuhkan.
***
Sepuluh tahun lalu. Seorang lelaki paruh baya tampak berjalan lunglai. Di pundaknya tersampir dua kotak kecil. Entah berisi apa, tidak terlihat. Ia mengenakan baju kumal dan sepatu yang sudah meranggas di sana-sini. Badannya kurus kering, kulitnya hitam, khas kulit yang terlalu sering terpapar matahari.
.
"Sol patu!" Ia berteriak. Berharap pintu-pintu rumah tertutup itu ada yang terbuka untuknya.
Memberi tambahan penghasilan untuk dapurnya.
.
Ia melewati sebuah rumah dengan halaman luas. Tampak lima enam anak berseragam SMA tengah asyik bermain gitar dan tertawa-tawa. Dengan sudut matanya, ia tahu ada kedua putranya di sana. Sepertinya itu rumah salah satu teman mereka.
.
Ia menarik topinya semakin bawah. Berusaha menyembunyikan wajahnya dan berjalan menunduk. Ia berdoa semoga teman-teman putranya tidak ada yang mengenali. Ia takut si kembar merasa malu pada keadaan ayahnya.
.
"Hei, itu Bapak, kan?" Suara si bungsu terdengar olehnya.
"Bapaaaak, sini, Pak!" Sulungnya menimpali. Lalu mereka berdua setengah berlari menujunya. Berebut membuka pagar, mencium tangannya yang kotor dipulas semir sepatu.
"Bro, Bapak gue ikut istirahat boleh ya!" Teriak si bungsu pada kawannya.
"Sekalian minta es teh!" Timpal si sulung.
.
Lelaki yang dipanggil Bapak, mematung. Matanya bersitatap pada teman-teman anaknya yang memandangi mereka bertiga. Ia tersenyum bangga. Seolah ada gumpalan-gumpalan doparmin beterbangan di sekelilingnya. Menggumpal-gumpal, masuk ke kerongkongannya. Menyesakinya dengan rasa bahagia. Bahagia yang dijejalkan paksa, terlalu penuh hingga dadanya terasa berat. Air mata siap merebak, namun ditahannya.
.
Ya, itulah hari paling bahagia dalam hidupnya.

#OneDayOnePost

Read Comments

8 komentar:

Fitriani Nurul Izzati mengatakan...

Mba ... kisahnya menyadarkanku, untuk selalu memuluskan orang tua. Hiks jadi rindu Bapa. 😂

Fitriani Nurul Izzati mengatakan...

*memuliakan

Wiwid Nurwidayati mengatakan...

Ya Allah pengin nangis..Anak Anak sholeh

Musabbiha el Abwa mengatakan...

birrul walidayn. keren mbak.

Unknown mengatakan...

Terima kasih sudah berkunjung teman-teman..

Unknown mengatakan...

Terima kasih sudah berkunjung teman-teman..

Artadhitive mengatakan...

WWah baca cerita ini banyak kata-kata baru yang aku serap...
kosa katanya keren...

Artadhitive mengatakan...

Sepertinya gak ada tombol balas buat komentar ini ya...

Posting Komentar

 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men